13. Sebuah Rasa

57.5K 2.5K 33
                                    

PLEASE VOTE, KOMEN, FOLLOW!!!

tolong jangan jadi silent reader. tinggalin jejak vote dan komennya dong.

setiap kali komennya rame, gue selalu punya semangat buat lanjut nulis. hehehe.. kita saling mengapresiasi yah..
.
.
.
.
.
.
.
.
.

Sampai sekarang gue masih terguncang dengan kata-kata Reya tadi. Katanya, Pak Johnny mau nikah. Sudah pasti pria itu akan menikah dengan Zifra. Pantas saja dia ingin menyudahi kontrak kami.

Miris sekali rasanya. Gue menertawakan diri sendiri yang berani jatuh cinta dengan sugar daddy gue sendiri.

Pikiran gue kacau. Sekedar berkonsentrasi saat kuliah berlangsung pun tidak bisa. Otak gue masih konsisten memikirkan pernikahan itu.

"Shane, lo kenapa?" Acha menyikut gue. "Sakit ya lo?" Tebaknya.

Gue menggeleng. "Nggak papa kok."

Dari raut wajahnya, Acha terlihat sangat khawatir. Ia ingin bertanya lebih lanjut. Akan tetapi, mengingat kami masih di kelas dan ada dosen di depan, maka ia mengurungkan niatnya.

Selesai kelas, Acha mulai bertanya lagi. Sayangnya, gue memilih untuk berkata kalau gue baik-baik aja.

"Shane, gue tau lo lagi nggak baik-baik aja. Tapi, gue nggak bakalan maksa lo buat cerita semuanya. Gue cuman mau ingatin, lo jangan simpan semuanya sendiri. Lo punya gue, lo punya Reya juga. Jadi lo bisa cerita apa aja." Nasihat Acha. Rasanya bersyukur sekali punya seseorang yang ada di samping gue dan peka dengan keadaan gue. Orang itu nggak memaksa gue bercerita, akan tetapi mau menunggu sampai gue siap bercerita. "Makasih ya Cha."

Acha menggangguk sambil tersenyum. "Sekarang kita makan yuk." Ajaknya.

"Jangan ke kantin, Cha." Alasan gue nggak mau ke kantin adalah karena jalan menuju kantin melewati ruang dosen. Saat ini gue malas banget ketemu sama salah satu penghuni ruangan tersebut. Nggak usah disebut siapa namanya. Gue lagi kemusuhan sama dia!

"Lalu mau ke mana?"

"Warung deket Indomaret aja yuk."

Ada sebuah warung di dekat Indomaret. Jaraknya memang lumayan jauh dari fakultas kami. Tidak heran Acha nggak mau ke sana. "Jauh ah, Shane."

"Tapi gue mau makan di sana." Tiba-tiba gue jadi ngotot.

"Buset, udah kayak orang hamil lo." Cibir Acha.

Sepersekian detik kemudian kita berdua saling pandang. Dari raut wajahnya, gue tau apa yang ada dalam pikiran Acha sama persis dengan yang ada dalam pikiran gue.

"Nggaklah! Ngaco lo!" Bantah gue.

"Beneran kan Shane? Lo main aman kan? Lo rajin ngecek juga kan?" Acha jadi panik sendiri. Ya, wajar saja, sebagai sugar baby, kita sudah bersepakat untuk tidak hamil. Bisa runyam kalau sampai hamil.

"Aman kok. Pokoknya gue nggak hamil Acha!" Tekan gue.

Acha bernapas lega. "Yaudah kalau lo nggak hamil berarti makannya di kantin aja."

"Eh apaan?! Nggak mau gue!" Tolak gue mentah-mentah. "Pokoknya gue mau makan di warung dekat Indomaret." Seru gue dengan penuh penekanan.

"Jauh kali ke sana." Sungut Acha. "Mending ke kantin. Cacing-cacing di perut gue butuh nutrisi sekarang."

"Kalo gitu lo sendiri aja yang ke sana. Gue mah ogah ke sana."

Acha menatap gue datar. "Tumben-tumbennya lo kayak gini." Kesalnya. "Makan di kantin kenapa sih?" Ia jadi heran.

My Lecturer My Sugar DaddyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang