40. Antara Shane dan Ardias

49.4K 2.1K 69
                                    

JANGAN LUPA VOTE, KOMEN, FOLLOW !!!!
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

udah doble up nih. komennya jangan lupa!

Surabaya menjadi tempat gue pulang. Di tempat ini ada Bunda yang masih harus gue perjuangkan. Di tempat ini juga gue akan membangun hidup baru.

"Makasih lho Yan, udah antarin gue." Gue berterima kasih pada Adiyan yang sudah mau gue repotkan untuk jauh-jauh mengemudi dari Jakarta ke Surabaya.

"Apaan sih lo?" Adiyan membalas dengan nada jenaka. "Santai ae kali," sambungnya.

Walaupun gue sering menyebutnya tengil karena dia banyak ngomong dan ketawa, nyatanya, di saat seperti ini, Adiyan nggak bertanya sama sekali. Agaknya dia memahami kondisi gue saat ini. Bahkan saat gue membawanya ke dalam ruangan Bunda, dia hanya mendengarkan cerita gue.

"Bunda gue kecelakaan beberapa tahun lalu." Memori buruk itu gue buka kembali dan membaginya dengan Adiyan.

Reaksi pertama yang gue pikir dia bakalan lakukan adalah menyemangati gue dengan kata-kata motivasi. Seperti kata-kata, kamu yang sabar ya, kamu harus kuat, Bunda kamu pasti sembuh kok, dan sejenisnya. Tetapi dia nggak melakukan hal itu. Seolah Bunda gue sadar, Adiyan mengajaknya ngobrol. Persis seperti yang sering gue lakukan kalau hanya berdua dengan Bunda.

"Tante, tau nggak Shane ini jutek banget anaknya. Galak lho dia. Suka panggil aku anjing Tan." Adunya pada Bunda.

Spontan gue tertawa kecil. Perlakuan Adiyan membuat gue senang dengan keberadaannya. Dia nggak banyak ngomong seperti biasanya, nggak kepo gue, tapi dia nggak berusaha juga menjadi orang lain. Justru sisi lainnya yang bisa gue lihat sekarang.

"Kalau ada yang galakin temen-temennya, pasti digalakin balik sama dia Tante. Malah lebih galak. Aduhh, anak Tante ini titisan siapa sih?" Gue memukul pelan lengannya.

"Selain galak, dia juga hobi mukul nih Tante. Lengan aku jadi sasarannya." Keberadaan Adiyan membuat ruangan sepi ini terasa lebih hidup. Tawa lebar yang tak pernah gue uraikan di sini terlepas begitu saja.

"Apaan sih lo?"

"Stt.. diem, gue lagi ngaduin sikap lo nih." Jawabnya dengan wajah serius. Makin membuat tawa gue melebar.

"Nah gitu dong, ketawa." Gue mendapatinya sedang menatap gue teduh. Ah, tatapan itu membuat gue jadi salah tingkah.

"Berat yah Shan?" Adiyan mungkin terkesan anak yang ribut dan nggak peduli dengan sekitarnya. Namun, sebenarnya dia adalah orang yang perhatian.

Gue mengangguk pelan sebagai respon dari pertanyaannya.

"Gue pernah bilang, kalau gue bakalan jadi happy little pill buat lo. Jadi nggak usah sungkan buat berbagi berat yang ada di pundak lo itu sama gue." Hati gue tersentuh dengan ucapannya itu. Sayangnya, gue nggak bisa semudah itu buat berbagi berat yang ada di pundak gue dengan orang lain. Apa mungkin karena gue sudah terbiasa menanggung berat itu sendirian? Nampaknya Adiyan memahami itu. Sehingga ia tidak bertanya lagi.

•••

Acha dan Reya barusan menelepon gue, katanya Om Johnny nyariin gue. Kata mereka, pria tersebut mengaku jatuh cinta sama gue. Apa telinga gue nggak salah dengar? Nggak mungkin banget dia cinta sama gue. Cuman asal ngomong aja palingan.

Mencoba untuk menyingkirkan semua pemikiran terkaiat Om Johnny, gue pun berjalan-jalan sebentar di taman rumah sakit. Nggak ada yang menarik di sini. Apa sih yang gue harapkan dari rumah sakit? Tapi seenggaknya udara di sini cukup membuat gue merasa nyaman.

My Lecturer My Sugar DaddyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang