Pada umumnya, tempat pertama yang disuguhkan oleh kedua orangtua tatkala bayi-bayi kecil terlahir ke dalam dunia adalah sebuah rumah. Entah apakah itu rumah yang benar-benar rumah, rumah yang disediakan untuk mereka yang tak punya rumah, atau rumah asing berdinding angin serta beratap langit yang berbintang. Untuk siapa saja yang hidup dalam lingkaran semesta ini, sebuah rumah harusnya bisa menjadi bagian terindah dalam kehidupan individual makhluknya.
Ada yang pernah berkata pula bahwa tempat itu takkan luruh dimakan kenangan, takkan habis dibabat memori. Ia juga memiliki semua hal yang diharapkan, bergulung menjadi satu; entah apakah itu menyerupai lantunan syair, bagian mutlak dalam diri seseorang, percikan cahaya, sudut gelap, keping-keping harapan. Tergantung dari perspektif mana kau akan melihatnya. Tergantung seberapa banyak hal yang sudah kau miliki dalam genggaman tangan. Iya, memang. Tempat tersebut akan selalu menjadi tempat untuk memulai titik awal sebelum bayi-bayi dapat menghirup dan memakan lebih banyak nasi serta udara, dibekali pengetahuan dasar, tas, sepatu, serta alat-alat tulis untuk menuju tempat-tempat selanjutnya—sekolah, misalnya.
Bangunan monoton yang barangkali sudah kau sumpah serapahi setengah mati setiap hari itu kerap diagung-agungkan oleh banyak umat manusia. Tak sedikit yang berkata semakin tinggi jenjang yang kau gapai, semakin tinggi pula derajat yang kau punya. Kebanyakan orang memang berpikir sedemikian rupa. Barangkali itu kenapa kau menyimpan murka; mungkin juga karena teman-teman yang tak kau sukai, aromanya yang aneh, bisingnya suara yang menyakiti telinga, tumpukan kertas-kertas berisi persoalan pelik yang meminta diselesesaikan, kalimat-kalimat jahat, atau bahkan pengajarnya yang menyebalkan.
Semua orang pernah memiliki fase yang sama. Sama seperti sekarang.
Untuk beberapa alasan, kelas di taman kanak-kanak ini selalu beraroma agak aneh setiap Kamis siang. Mungkin karena jam kudapan dimulai tepat setelah kelas sebelah selesai menggambar, atau karena mereka memang tidak menutup pintu sama sekali. Baunya mirip seperti kue kering cokelat yang baru selesai dipanggang lalu sedikit bercampur dengan bau cat aklirik. Kelas sebelah pasti tidak begitu menyukai aromanya karena lumayan memusingkan. Beberapa kali protes terdengar dikumandangkan, mendesak untuk segera diatasi sebab anak-anak kecil rewel jelas bukan favorit siapa pun di dunia. Seseorang harus mengubah jadwal kegiatan, sepertinya. Pekerjaan tambahan.
Di luar sana, salju sedang turun lumayan lebat sejak semalam. Bunga-bunga tulip tertutupi salju, tanahnya berwarna putih bersih, langitnya kelabu. Kendati begitu, Desember tetap sanggup memberikan kegembiraan yang sedikit meletup-letup. Mereka tidak bisa keluar untuk bermain di taman. Jadi salah satu anak kecil berbaju oranye-biru cerah yang tadinya sibuk mengunyah kue, kini lantas memalingkan pandangan acak, terhenti pada anak perempuan yang tengah duduk di dekat jendela—sedang sibuk bermain balok kayu warna-warni guna membangun sebuah rumah kecil.
Tepat! Ah, ini waktunya!
Bibir anak lelaki berpipi kemerahan tersebut semerta-merta lantas mengulum seulas senyum tipis. Kepalanya mencari-cari presensi teman lain yang tak ditemukan sebelum tergopoh menghampiri—menatap dengan mata sedikit melebar. Iris sebulat bulan purnama tersebut jelas nampak berkilau penuh rasa ingin tahu. Ia bahkan memekik penuh semangat, "Wah! Kau sungguh punya bentuk mata yang sama dengan kakakmu!"
Yang disambar telinganya dengan suara semelengking itu jelas saja terlonjak di tempat. Si gadis cilik baru berada di sini selama dua hari, belum ada yang benar-benar bicara padanya. Ia tidak pandai bersosialisasi. Ia tidak tahu bagaimana cara membangun kubah pertemanan. Jadi bocah perempuan mungil dengan surai hitam diikat satu itu memalingkan pandangan terkejut, bibir kecilnya terbuka sedikit dan nampak agak tergagap saat menyahut, "Kami?"
Si bocah lelaki mengangguk yakin. "Iya. Mirip sekali. Kau dan kakakmu."
"Mataku tidak seindah seperti milik Yoongi," katanya, menggeleng yakin. Kening si gadis kecil berkerut dalam. Ia mendadak membayangkan bola mata sang abang yang terlihat menawan, lalu memalingkan pandangan pada jendela yang memantulkan wajahnya. Menggerakkan kepala ke kanan dan ke kiri dua kali lagi, ia melanjutkan tak ragu, "Tidakkah kau lihat kalau punyaku malah mirip bola bisbol? Ini tidak bagus."
Dalam hitungan detik, anak lelaki itu mendadak terbahak. Pipinya semakin memerah dan membuat si gadis memiringkan kepala tidak mengerti. Anak ini aneh. Sangat aneh, malah. Ucapannya bahkan tidak lucu, tetapi ia tertawa sebegitu kerasnya. Rasa heran yang bercokol dalam kepalanya agak sedikit pecah saat sang lawan berhenti terkekeh-kekeh, mengusap sudut mata lalu ikut mendudukkan diri di depan si gadis cilik sebelum berkata dengan riang gembira—begitu hangat, "Salam kenal, ya, Kanna," ucapnya, tersenyum lembut sembari menyodorkan kantung kue. "Aku punya dua buah untukmu dan kakakmu. Milikmu sudah habis, bukan? Kalau mau, kalian bisa memakannya bersama-sama. Saudara itu sudah seharusnya berbagi, bukan?"
Berbagi?
"Memangnya tidak apa-apa?"
"Tentu saja tidak apa-apa!"
"Tapi aku bisa dimarahi kalau memakan makanan milik orang lain."
Sang lawan bicara malah menampilkan cengiran persegi, terkekeh manis. "Tidak apa-apa, kok! Tidak akan dimarahi kalau tidak ketahuan. Kau bisa menjaga rahasia, bukan? Jadi psst, ini rahasia kita, ya?"
Rahasia? Sungguh?
Kanna menatap heran. Anak ini mungkin memang aneh, tapi dia baik. Baik sekali. Tentu saja. Untuk ukuran gadis cilik yang bahkan tak memiliki teman, seseorang yang datang menghampirinya dan memberikan cemilan adalah orang paling baik yang bisa ia temui. Kue buatan taman kanak-kanak juga barangkali tidak selezat seperti apa yang ada di toko kue. Tetapi tetap saja bisa menggelitik perut. Jadi tak heran kalau sepasang netra anak perempuan itu mengedip sekali ketika membalas penasaran, "Akan kujaga rahasianya kalau kau mengatakan siapa namamu," ujarnya, menatap serius. "Kau punya nama, bukan?"
Bocah lelaki tersebut tidak menyahut dengan cepat. Iris cerahnya seperti dipenuhi kilauan, begitu gemerlap menawan tatkala tersenyum bangga. Bibir lantas merekah ke dalam senyuman tatkala ia berkata, "Tentu saja. Namaku..."
Siapa?
Suara pintu yang dibanting tertutup dalam sentakan kasar mendadak membuat semua mimpinya melebur ke dalam cahaya putih yang membutakan. Perasaan mengerikan itu kembali datang, rasa takut bercampur putus asa, tekanan berat yang menyerang kepala. Suaranya berdentum, tubuh ringkih terbalut selimut itu jatuh ke lantai. Sekujur fisik lantas bergetar, tangis harus tetap teredam. Cahaya lampu rumah sebelah menampilkan figur seseorang di jendela lalu seseorang membuka pintu kamar bersama aroma alkohol yang menyeruak hebat.
Kepalanya berkedut pening luar biasa.
Ah, sepertinya mimpi buruk memang tidak akan pernah mati. []
KAMU SEDANG MEMBACA
Lifted & Fracted
ФанфикPada musim panas kali itu, Min Kanna mengenal Kim Taehyung dengan seribu satu rahasia, obsesi, serta rencana gila. Pada musim panas kali itu, Min Kanna tak tahu bahwa seberkas cahaya dari neraka baru saja dibidikkan tepat pada kepala. Ah, memang sia...