03. Cicatrix

657 99 1
                                    

"Kau yakin itu hanya sebuah kecelakaan?"

Suara wanita tersebut seolah mengisi ceruk-ceruk kosong di dalam udara, membuat gadis bertubuh ringkih di hadapannya mendongak lambat. Kanna selalu tahu betapa tajam insting guru konselingnya yang satu ini—agak merepotkan dalam beberapa hal. Namun Ibu Jang bahkan tak repot-repot terlihat menutupi keraguannya atas apa yang baru saja Kanna berikan sebagai alasan; tentang mengenai mengapa dalam empat hari belakangan ia tidak menampakkan batang hidung di sekolah sama sekali. "Ibu berpikir bahwa ada hal berat yang sedang kau lewati, Kanna. Dan kau tahu? Tidak apa-apa untuk bercerita. Tidak apa-apa untuk sedikit terbuka dengan seseorang yang kau percaya."

Nah, masalahnya—Kanna melirik vas bunga di atas meja, terisi empat tangkai mawar kaca yang berkilat-kilat—tidak ada yang gadis itu percayai sama sekali.

"Itu benar, Bu," sahutnya, kalem. Si gadis mengulum seulas kurva bibir tipis sebisa mungkin. "Saya hanya terjatuh dari sepeda saat hendak pergi ke swalayan terdekat lalu terluka. Tidak ada yang perlu dibicarakan, tidak ada masalah apa-apa. Semuanya baik-baik saja. Saya memang seharusnya menghubungi pihak sekolah sebelumnya."

Ibu Jang menghela napas panjang. Pandangannya sejenak berkabut, barangkali masih dirundung keraguan. Lagipula Kanna juga tidak berharap banyak bahwa kalimatnya bisa seratus persen meyakinkan. Mulut manusia bisa bergerak lebih cepat daripada mesin apa pun, barangkali sudah ada satu atau dua selentingan kabar bahwa keluarganya yang terdistorsi tersebut menyambar telinga semua orang.

Tetapi saat wanita di hadapannya menggurat ekspresi menyerah, Kanna perlahan menghela napas lega tatkala mendengar, "Kalau memang seperti itu, mau bagaimana lagi," ujarnya. "Teman sekelasmu sebetulnya sudah memberitahu Ibu, Kanna. Tapi Ibu hanya ingin memastikan bahwa kau memang hanya sedang mengalami cedera dan bukan hal lainnya."

Tunggu, apa? Gadis itu mendadak mengedip dua kali. "Teman ... sekelas?"

"Ah. Siapa, ya, namanya? Siswa transfer itu? Kim Taehyung?" Ibu Jang tersenyum hangat. "Jam istirahat pertama dia datang kemari dan berkata bahwa kau membutuhkan waktu beberapa hari karena kakimu terluka. Karena Ibu sudah mengonfirmasi darimu secara langsung, maka syukurlah, sepertinya kau memang sudah terlihat baik-baik saja sekarang."

Dalam sepersekon detik seolah ada tendangan yang baru saja dilayangkan menghantam ulu hatinya, Kanna membeku di tempat. Gadis itu menatap sang lawan bicara kosong, merasa mual setengah mati. Malam itu, alasan sebenarnya mengapa ia tidak datang ke sekolah setelah dipukuli habis-habisan—Taehyung juga menyaksikan semuanya, bukan?

Ada sesuatu yang terasa janggal, tak benar serta keliru dengan pemuda tersebut. Bagaimana jika Taehyung malah menggunakan hal ini untuk meminta sesuatu yang lebih buruk lagi? Sebab hal terakhir yang Kanna inginkan untuk beredar di sekolah sebagai gosip panas di jam makan siang adalah berita mengenai teman sekelasnya yang menyaksikan bagaimana seorang ibu bisa membabat habis putrinya sendiri karena pengaruh alkohol.

Tidak, tidak. Ini tidak boleh terjadi.

"Kalau begitu," Ibu Jang mendadak memotong. "Kau bisa kembali ke kelasmu, Kanna. Sebentar lagi jam istirahat. Pastikan kau mengisi perutmu dengan benar."

Si gadis bangkit, membungkuk sopan lalu melangkah keluar. Tetapi sial, selera makannya jelas sudah menguap entah kemana. Taehyung. Kim Taehyung—Kanna harus berbicara padanya. Mengapa seseorang yang hanya pernah bicara beberapa kali dengannya mendadak sudi mengulurkan bantuan dengan berbohong sedemikian rupa?

Kanna mengerti benar bahwa manusia selalu melakukan sesuatu demi sebuah imbalan, sesuatu yang menguntungkan tiap individualnya, sesuatu yang akan membuat mereka mereguk kembali perbuatan baik yang sudah dilakukan; setidaknya itu yang ia percaya.

Lifted & FractedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang