Suara ketel yang mendekik nyaring tersebut nyaris terdengar layaknya sirine yang berteriak melengking. Bergerak mematikan kompor dalam satu gerakan, menyambar lap sewarna bunga daffodil di atas keran wastafel lalu memindahkan air panas dengan perlahan ke dalam gelas berisi satu kantong teh kamomil, Kanna sejenak menegang mendengar pintu depan yang terbuka. Melirik jam dinding yang berdetak pada angka empat sore, gadis itu seolah baru saja terlempar ke dalam realita tatkala mendengar pertanyaan kosong diajukan, "Apa yang sedang kau buat?"
Ah, tentu saja. Tak ada aroma alkohol. Tak ada ekspresi yang ditekuk murka. Tak ada tangan yang hendak dilayangkan—setidaknya begitu untuk malam ini. Hanya dalam kurang dari sekian sekon, Kanna sudah bisa menebak bahwa ada hal bagus terjadi hari ini.
"Teh kamomil," sahutnya serak.
"Teh?" Nyonya Min mendengus perlahan, menggelengkan kepala tak percaya seraya mengisi gelas dengan air dingin. "Ibu tak tahu itu. Sejak kapan kau menyukai teh?"
"Tidak suka." Kanna melirik dingin. "Tetapi membantuku lebih berkonsentrasi dalam belajar."
Ibunya bergumam perlahan, tak mengatakan apa-apa dan hanya beranjak mendudukkan diri di kursi meja makan. Hening merangkak, kecanggungan seolah terpatri pada setiap inci dinding. Untuk beberapa alasan yang seharusnya sudah lenyap, Kanna bisa memutar memori usang di dalam kepala sekali lagi.
Ibu dulunya pasti—dan hampir selalu tersenyum hangat, bersiap di dapur menyambut ayahnya kembali dan mereka akan selalu memiliki acara makan malam menyenangkan bersama-sama. Saat itu Yoongi juga masih berada dalam tim sepak bola sekolah, sangat bersinar seperti bintang di malam hari sebelum semua berubah begitu saja layaknya kertas yang baru saja dicabik menjadi kepingan kecil.
Hanya dalam hitungan detik, Kanna memandang keluar jendela dapur, merindu, berharap dapat memiliki semuanya kembali. Namun rindu jelas tidak akan memperbaiki apa pun selain membuat keadaan jadi lebih menyedihkan, jadi si gadis menahan napas tatkala berusaha menepisnya jauh-jauh.
"Kanna," Ibu mendadak memanggil dan si gadis buru-buru memalingkan wajah dengan sepercik ngeri merayap kelewat gesit. Oh, tidak—pikirnya. Apa yang sudah kulakukan? Sebuah kesalahan? Ibu marah? Ibu akan memukul, lagi bukan? Namun alih-alih sedemikian rupa, Nyonya Min malah bertanya, "Uang yang Ibu berikan kemarin masih ada?"
Si gadis hanya menatapnya setengah kosong. "Kurasa," balasnya. "Masih ada."
"Apa kau membutuhkan uang tambahan?"
"Tidak. Mengapa Ibu berpikir—"
"Karena ini," tukas ibunya cepat. Kanna mengikuti arah telunjuk lawan bicaranya yang mengetuk lembaran surat kabar di atas meja—setengah mengutuk diri sendiri karena tak sempat membereskan mereka sepulang sekolah dan sukses mematung sejenak. "Mengapa kau berencana mencari pekerjaan? Uang yang Ibu berikan masih kurang?"
Kanna yakin sekali untuk beberapa sekon di sana, ekspresinya jatuh. Bahunya melorot dan ia bisa merasakan jantungnya berdegup kencang. Mencengkeram meja di belakang tubuhnya sesaat, gadis itu menggeleng perlahan. Ia jelas tidak bisa mengatakan alasannya tanpa menyulut pertengkaran baru. Mengingat ibunya tak selalu memberikan uang pada tanggal-tanggal tertentu, Kanna tahu bahwa tabungannya pasti akan menipis—cepat ataupun lambat.
"Aku hanya—" ia meneguk saliva kaku. "Aku hanya berpikir barangkali aku bisa menambah uang tabunganku dengan berkerja paruh waktu di satu atau dua tempat."
"Bukankah sekolahmu melarang siswanya untuk bekerja?"
"Benar. Tetapi bukan berarti mereka harus tahu."
Nyonya Min mendesah pelan. Ia mengangkat gelasnya, menenggak air di sana dengan cepat. "Kau jelas masih belum mengerti bagaimana dunia ini bekerja, Kanna. Tidak peduli seberapa baik kau menyembunyikan sesuatu, pada akhirnya mereka akan merangkak keluar dengan cepat. Entah karenamu atau karena digali oleh orang lain." Ibu mengorek isi tasnya, mengeluarkan sebuah amplop cokelat tebal sementara si gadis menatap lurus. "Seseorang akan melaporkanmu jika kau bekerja. Sekolahmu akan terganggu. Hentikan saja niat itu."

KAMU SEDANG MEMBACA
Lifted & Fracted
FanfictionPada musim panas kali itu, Min Kanna mengenal Kim Taehyung dengan seribu satu rahasia, obsesi, serta rencana gila. Pada musim panas kali itu, Min Kanna tak tahu bahwa seberkas cahaya dari neraka baru saja dibidikkan tepat pada kepala. Ah, memang sia...