"Buka bajumu." Yoongi menghela napas. "Lukanya harus segera dikompres."
Ekspresi tersebut jelas terlihat berkerut tak nyaman, sepasang netra sabit si pemuda menatap sulit seraya menggenggam selembar handuk yang baru saja dicelupkan ke dalam air dingin. Namun tetap saja, rasa takut, mual, serta pahitnya mendadak kembali datang. Begitu cepat, nyaris meluap-luap tak terkendali, tanpa diminta memenuhi kerongkongan dan menggelegak penuh.
Stagnan di tempat, Kanna bisa merasakan jemarinya bergetar saat dikepalkan kuat-kuat. Ia seolah baru saja dipaku ke dalam udara tatkala berbisik lirih, "Jika kau tidak keberatan—" Ia menjeda sesaat, tersenyum kosong. "Kurasa, aku bisa melakukannya sendiri."
Sepersekian detik di sana, Yoongi tak bisa menahan ekspresi sesalnya untuk tak mencuat ke permukaan. Tanpa mengatakan apa-apa, ia lantas mengangguk perlahan, meletakkan kembali handuk di tangan dan beringsut pergi meninggalkan kamar. Rasanya hampir seperti mimpi yang menelisik. Kanna kira, kehangatan tersebut sudah lama menghilang, menguap, dan lenyap tanpa jejak. Namun pada faktanya mereka masih ada di sana, berpendar tipis sebagaimana damar di tengah badai yang melepaskan angkara.
Kini, apa yang Yoongi katakan beberapa jam yang lalu masih berdentum-dentum samar di dalam kepala. Perutnya masih terasa nyeri, namun setidaknya memang sedikit membaik. Kanna tak yakin pada detik selanjutnya apakah ia benar mendengar suara pintu kamarnya yang terbuka perlahan selepas malam merangsek lebih dalam atau tidak. Jam masih menunjuk pada pukul empat pagi. Separuh terlelap dan terjaga karena ngilu yang meretih membuat tidur jadi berlipat-lipat lebih sulit digapai. Namun aroma tersebut, jemari yang mengusap keningnya tersebut, mereka terasa kelewat nyata untuk diabaikan.
Yoongi?
Si gadis memutuskan untuk tetap diam, kaku, dalam kegelapan total enggan untuk membuka mata. Salah satu suara paranoid di dalam kepala seolah menjerit—tetap tidur, jangan membuka mata! Kau tidak tahu apa yang akan terjadi!
Tetapi jemari sang abang nyatanya tak mencoba membuka bajunya. Pemuda itu tak mencoba menundukkan tubuh, memaksakan kehendak. Ia hanya diam di sana, bernapas dengan perlahan. Satu-satunya hal yang Yoongi lakukan hanyalah mengusap pelipis sang adik, menarik napas, kemudian kendati sulit dipercaya, hal tersebut sukses membuat Kanna yakin bahwa itu memang benar kakaknya. Bahkan pagi-pagi sekali sebelum kesadaran benar-benar menghantam kepala, Kanna sudah tahu bahwa pemuda tersebut telah kembali meninggalkan rumah dan takkan kembali untuk sementara waktu.
"Apa-apaan?" bisiknya. Memandang langit-langit ruangan, mengusap surai, dan tertawa getir, Kanna nyaris menyemburkan tawa. "Jadi semalam bukan mimpi? Apa-apaan itu?"
Menegakkan tubuh, bangkit dalam hitungan detik, Kanna lantas melirik jam digital di atas meja yang menunjukkan pukul satu siang. Sudah terlalu terlambat untuk bangkit dan menyeret diri pergi ke sekolah. Dadanya menggeliat tak nyaman. Tetapi bahkan memori mengenai apa yang terjadi semalam serta rasa nyeri yang tetap meradang jelas tak membuatnya merasa lebih baik. Kerongkongan Kanna seperti baru saja dijejali sebongkah besi hidup-hidup, memaksanya untuk mereka-ulang setiap senti konversasi, mengingat kembali satu percik kalimat tersebut, "Karena aku tahu bagaimana sakitnya mencintai seseorang yang tidak akan pernah bisa kau miliki."
Fakta tersebut kemudian datang menghantam bertubi-tubi: Yoongi menyukai seseorang. Yoongi mengetahui apa yang ibunya kerjakan. Yoongi mengenal siapa Kim Taehyung dan teman-temannya. Yoongi juga memintanya berhenti berhubungan dengan mereka. Tapi ... serius? Setelah semua ini? Melangkah dengan perlahan menuju kamar mandi, mengguyur diri sendiri di bawah hujaman air, Kanna tak bisa untuk tak tersenyum kecut dan nyaris tertawa terbahak-bahak. Ayolah. Min Yoongi—kakak tersayangnya yang selama ini menghilang serta datang hanya disaat membutuhkan ... mendadak bersikap peduli?

KAMU SEDANG MEMBACA
Lifted & Fracted
Fiksi PenggemarPada musim panas kali itu, Min Kanna mengenal Kim Taehyung dengan seribu satu rahasia, obsesi, serta rencana gila. Pada musim panas kali itu, Min Kanna tak tahu bahwa seberkas cahaya dari neraka baru saja dibidikkan tepat pada kepala. Ah, memang sia...