Kalau saja ia diperkenankan untuk meminta satu hal saja, perkara terakhir yang ingin Kanna temui untuk hari ini adalah presensi atau kemunculan tamu tak diundang. Namun tentu saja, mengguncangkan tubuhnya, berbisik begitu resah, si gadis mampu mendengar sang ibu berkata, "Kanna, ada yang ingin bertemu denganmu hari ini. Bagaimana perasaanmu?"
Bagaimana perasaannya bukanlah hal penting. Di sana, memandang ibunya yang masih memiliki sepasang netra membengkak, Kanna menggeleng perlahan. Nyonya Min jelas nampak gelisah. Tak nyaman. Berdebar. Ekspresinya mengingatkan Kanna pada memori kelam yang ia harap mampu lupakan. Namun mereka masih ada di sana—mengindikasikan bahwa ada hal buruk lain yang tengah menunggunya dengan cakar terbentang.
Jam dinding masih berdetak pada pukul sembilan pagi. Rasanya terlalu cepat untuk mengulurkan tangan pada jenis kegilaan baru. Suara yang menyambar kedua telinga tersebut membuat si gadis mengerjapkan netra berulang kali, berusaha mengusir pening yang bersemayam di dalam kepala. Ia sebenarnya memang sudah terbangun sejak tadi, bahkan rasa-rasanya hanya terlelap selama kurang dari empat jam sebelum terbangun karena kilasan mimpi buruk malam itu dengan keringat dingin dan jantung berdegup takut setengah mati. Repetisinya masih hidup dan bernapas di dalam sana. Jadi jelas, berharap mendapatkan istirahat yang cukup seperti ucapan dokter merupakan hal yang mahal baginya.
Sekarang, apalagi?
Merasakan gelisah menggelora kembali, Kanna mengatupkan bibir. Ia begitu ingin melarikan diri dari tempat ini, semata-mata untuk menemui Yoongi dan memastikan bahwa pemuda itu baik-baik saja. Namun mengingat petugas yang tak meninggalkan pintu ruangan serta memahami bagaimana rumitnya situasi sekarang, rasanya mereka menjadi bunga tidur yang takkan mampu digenggam. Bukan dan tidak. Memang tidak seperti itu cara bermainnya.
Menatap putrinya yang masih belum sepenuhnya pulih dari serangan shock serta luka-luka memar dan sayatan di sekujur tubuh, Nyonya Min lantas melangkah mendekat ke sisi ranjang—perlahan membantu Kanna bangun dan bersandar pada headboard ranjang sebelum menghela napas dan melanjutkan perlahan, "Kau mau bicara dengannya sekarang atau haruskah Ibu menundanya terlebih dulu? Wajahmu masih pucat sekali."
Kanna meneguk salivanya getir. Dia tahu siapa yang datang. Kendati kepalanya terasa seperti akan meledak dan berubah menjadi potongan tipis, gadis itu tetap mengangguk sekali, berkata serak, "Tidak apa-apa. Aku akan baik-baik saja. Biarkan aku bicara dengannya, Bu."
"Kau yakin?"
Kanna memaksakan seulas senyum. "Well, berbicara takkan membunuhku."
Menatap ibunya yang menghela napas begitu berat, Kanna tahu bahwa sang lawan bicara juga tengah terhimpit. Posisi sulit. Namun memalingkan wajah begitu saja atas penawaran yang diberikan semalam rasanya kelewat sulit—terlebih lagi saat menyadari risiko macam apa yang dihadapi nanti. Meski ibunya juga memang tidak mengatakan apa-apa lebih jauh dan hanya berkata bahwa Kanna bisa mengambil keputusan apapun yang menurutnya benar, gadis tersebut tahu bahwa ibunya berharap cukup banyak.
Itu berat. Beban yang benar-benar berat. Bagaimana dia meletakkan keputusan? Mencari keadilan bagi diri sendiri atau menyelamatkan kakaknya? Sebab tak peduli seberapa banyak Kanna berusaha untuk terlihat teguh dengan kalimat-kalimat tersebut, ia sendiri juga gamang dengan pilihannya—apalagi saat melihat punggung sang ibu kembali keluar dari ruangan dan seorang pria dengan setelan formal bergantian masuk lalu menutup pintu. Presensinya sukses membuat seluruh inci dari tubuh Kanna meremang sempurna.
Dia di sini. Di sini.
"Selamat pagi, Min Kanna. Bagaimana kabarmu?" Seulas senyum disunggingkan hangat, si gadis membalas dengan sepasang netra menelisik curiga. Setengah baya. Membawa sebuah map berwarna hitam gelap. Tuksedo yang dikenakan terlihat mahal. Caranya berbicara jelas melemparkan fakta bahwa ia tak datang untuk sekadar menyapa. Melangkah mendekat dan mendudukkan diri di kursi di sisi ranjang, pria tersebut melanjutkan dengan iris familiar yang menukik dada. "Kau sudah terlihat lebih baik sekarang. Bagaimana rasanya tinggal di rumah sakit?"
![](https://img.wattpad.com/cover/296815643-288-k455914.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Lifted & Fracted
FanfictionPada musim panas kali itu, Min Kanna mengenal Kim Taehyung dengan seribu satu rahasia, obsesi, serta rencana gila. Pada musim panas kali itu, Min Kanna tak tahu bahwa seberkas cahaya dari neraka baru saja dibidikkan tepat pada kepala. Ah, memang sia...