29. Redemption

299 59 4
                                        

"Kau bisa menemui kakakmu di taman kota hari ini."

Gadis itu mencengkeram ujung pakaiannya, menatap tidak mengerti. "Aku tidak akan menemuinya di penjara?"

Tuan Park tersenyum tipis, menggeleng sekali. "Yoongi meminta padaku agar bisa bertemu denganmu di luar sana. Aku tidak tahu kenapa, tetapi kukira itu bukan ide yang buruk. Barangkali udara segar di luar rumah sakit bisa membuatmu berpikir lebih jernih."

Kanna mendongak memandang ranting pepohonan yang bergerak lambat. Meluruskan kakinya, si gadis menarik napas panjang. Langitnya biru. Cuacanya cerah. Dunia masih tetap berputar sebagai mana mestinya. Mendengar kekeh tawa anak-anak yang bergema, suara gesek pedal, embusan angin yang menyapu wajahnya—rasanya terasa aneh. Seolah apa yang dialaminya beberapa waktu yang lalu hanya sekadar bunga tidur yang mencekik. Hanya sekadar imajinasi yang mudah dilupakan. Teror itu tak nyata. Rasa takutnya tak pernah ada.

Namun tatkala menunduk, kembali memusatkan atensi pada bekas luka yang menghiasi pergelangan tangan, si gadis mengatupkan bibir. Jangan bermimpi. Semuanya memang benar terjadi.

Jantung si gadis kembali berdegup. Gelisah. Gugup. Namun, tidak, jangan merasa begitu. Ini pasti keputusan yang benar, pikirnya. Dia jelas perlu membicarakan beberapa hal dengan Yoongi terlepas bahwa pertemuan mereka kali ini benar-benar berada di bawah rancangan Tuan Park. Ia tidak melihat jalan lain. Hanya pria itulah yang bisa mengeluarkan Yoongi agar mereka bisa bertemu secara langsung, setidaknya untuk sekarang.

Kanna perlu menceritakan segalanya, berharap ia akan menemukan pemuda tersebut berada di pihaknya—mendorong Kanna untuk tetap melanjutkan tuntutan atau setidaknya mengambil solusi benar selain menyerah pada rencana yang bahkan tak ingin ia dengar lagi tersebut. Namun sekarang, berada di salah satu bangku, menanti kapan Yoongi akan muncul, tanpa bisa dicegah kepala gadis itu kembali memutar ulang ucapan Tuan Park sebelum ia pergi.

Harus berpikir jernih. Ia tersenyum kecut. Apanya yang bisa dipikirkan dengan jernih? Semua seperti jalan buntu baginya. Tuan Park bahkan memerintahkan salah satu pengawalnya untuk mengawasi Kanna dari kejauhan, tepat di seberang taman, menanti dengan tenang. Rasanya seolah seseorang baru saja meletakkan tali kekang padamu. Kapan semua rasa sakit ini akan berakhir? Malah, mungkinkah hari menakjubkan tersebut benar-benar dapat ia miliki?

"Kanna."

Nyaris terasa seperti dikejutkan dengan ribuan volt listrik, si gadis sontak tersentak dari lamunannya. Ia memalingkan pandangan begitu cepat, menangkap sebuah presensi yang tahu-tahu berada di sisinya. Min Yoongi. Itu benar Min Yoongi. Pemuda tersebut tengah berdiri dengan seulas senyum cekung dan sepasang mata lelah—hatinya nyeri. Ah, dia di sini. Benar-benar ada di sini.

Tanpa membalas, tanpa membuka bibir yang kini malah saling dikatupkan rapat, Kanna segera bangkit. Kedua kakinya terasa seperti kehilangan keseimbangan, nyaris limbung dan tak memutus kontak mata. Tubuh gadis tersebut seolah tengah mencari-cari kepastian, menekankan keraguan dalam kepala bahwa ia sedang berhalusinasi. Tapi tidak, syukurlah, tidak. Jadi menghempaskan raganya, melingkarkan lengan pada pinggang, menenggelamkan wajah pada dada hingga sang lawan mengambil dua langkah mundur karena terkejut—Yoongi lantas membalas dan mencium puncak kepala adiknya yang mulai tergugu.

Jangan, jangan menangis. Namun tidak peduli seberapa ingin pemuda itu mengatakannya, kerongkongannya seperti baru saja diganjal dengan batu besar. Kanna lupa. Ia tidak ingat kapan terakhir kali dirinya pernah memeluk Yoongi seerat itu—seolah pemuda tersebut akan lenyap ke dalam udara begitu saja.

"Hei," Yoongi berbisik, tertawa pelan dengan suara berat yang serak sementara jemarinya mengusap surai gadis itu, merasakan rasa sakit menjalar saat tak sengaja melihat bekas biru yang sang adik sembunyikan di bawah kerah baju. "Apa? Kenapa malah menangis?" Ia terkekeh lucu. "Kepalamu terbentur pintu lagi? Atau terjatuh dari sepeda roda dua lagi?"

Lifted & FractedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang