Bahu gadis itu menegang sempurna. Ekspresinya mengeras dan rahangnya kaku. Taehyung mengerti benar bahwa Kanna tak menyukai ide yang ia cetuskan mendadak untuk berkumpul dengan dua pemuda yang bahkan nyaris tak pernah berbicara padanya. Namun pada titik yang sama, Taehyung jelas mengerti dengan apa yang tengah coba ia lakukan.
Merasakan genggaman si pemuda menguat pada jemarinya, Kanna melirik sekilas, berusaha tak menghela napas keras-keras dan berpikir dalam benak sebetulnya apa yang ia lakukan dengan mengangguk lalu membiarkan diri sendiri diseret pergi kemari. Melangkah mendekat pada sebuah meja di sudut dekat jendela, gadis tersebut juga menyadari bahwa cafe hari itu tidak terlalu padat—yang mana bagus, sebab semakin sedikit orang, maka semakin tipis pula kemungkinan ia akan tertangkap mata dan menjadi bulan-bulanan gosip kelas di sekolah besok. Namun kendati suasananya manis, alunan musik bergaung lembut, dan sepenuhnya mudah dinikmati, Kanna hanya bisa berpikir: ah, sial. Aku pasti akan mendapatkan masalah.
Terlebih lagi tatkala netranya menemukan presensi dua pemuda sedang duduk di kursi panjang yang saling menghadap dengan meja berwarna merah gelap. Tetapi di sisinya, bahkan sudah tersenyum lebar, Taehyung menyapa kalem, "Hei, Bung. Maaf kami datang terlambat."
Dua kepala, dua pasang mata, mereka semua lantas dipalingkan nyaris bersamaan. Senyum Park Jimin hampir terasa seperti robot. Secara otomatis menggurat cekung manis sementara kedua irisnya menyipit menawan. Kanna bisa mendengar bagaimana Jungkook mendecakkan lidah jengkel—tetapi justru untuk beberapa alasan, si gadis malah lebih menyukai reaksinya yang terang-terangan bersikap kesal. Memperhatikan bagaimana Jimin memandangnya, Kanna yakin ia mendadak ingin meloloskan diri dan bernapas lebih keras daripada yang seharusnya.
Jungkook tertawa kesal. "Terlambat, katamu? Kau tahu berapa lama kami menunggu? Hampir satu jam, Kim. Gila, ya?"
Taehyung tersenyum tipis. "Ya sudah, kalau begitu biar aku yang membayar tagihan nanti," balasnya. "Puas?"
Jungkook terdengar menggerutu, ekspresinya masih terlihat sebal, tetapi dia lantas menutup mulut. Jimin memalingkan pandangan, melirik bagaimana Taehyung menggenggam jemari Kanna, namun tidak mengatakan apa-apa. Gadis itu berpura-pura tak melihatnya, berpura-pura tak tersadar, serta berpura-pura tak mengetahui bahwa Park Jimin memandangnya seolah ia merupakan seekor kelinci yang tersesat ke dalam rumah serigala.
Jimin tersenyum miring. "Santai sedikit, Jeon. Lagipula ini tidak seperti kau mengalami banyak kerugian. Satu jam berada di sini saja sudah mendapatkan tiga nomor telepon gadis cantik."
Taehyung terkekeh. "Sungguh? Wah bagus, dong. Kau jadi memiliki sedikit gambaran untuk mahakaryamu selanjutnya."
Kanna menaikkan satu alisnya. Mahakarya?
Jungkook mendengus. "Tidak tertarik pada mereka."
"Setidaknya mereka berdua sudah datang," sahut Jimin lembut dan Jungkook mengalah, ekspresinya segaris melunak kalem. Si Park tersebut menepuk kursi di sisinya, tersenyum manis. "Kemarilah, Kanna. Duduk di sini. Taehyung akan pergi memesan makanan dulu, bukan?"
Oh, tidak. Tolong.
Tetapi Taehyung memalingkan pandangan, tersenyum tipis, dan dengan begitu saja melepaskan genggaman. Kanna merasa bahwa pemuda itu seolah tengah mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja yang mana sebetulnya agak terasa menggemaskan sebab Kanna sama sekali tidak merasa baik-baik saja. Kendati tetap saja, demi menjaga sopan santunnya, si gadis akhirnya hanya menghela napas, tetap bergerak mengambil tempat di sisi Jungkook alih-alih Jimin. Jungkook sendiri lantas menggeser duduknya, menciptakan jarak kecil di antara keduanya.
Taehyung tersenyum, sejurus kemudian bergerak memutar langkah menuju kasir untuk memesan. Kanna seolah baru menyadari atmosfer diantara mereka bertiga ini kelewat ganjil. Bagaimana menjelasakannya, ya? Seolah mereka begitu dekat namun di sisi lain, ada dinding besar yang membatasi interaksi masing-masing? Mungkin semacam itu?

KAMU SEDANG MEMBACA
Lifted & Fracted
FanfictionPada musim panas kali itu, Min Kanna mengenal Kim Taehyung dengan seribu satu rahasia, obsesi, serta rencana gila. Pada musim panas kali itu, Min Kanna tak tahu bahwa seberkas cahaya dari neraka baru saja dibidikkan tepat pada kepala. Ah, memang sia...