01. Square One

1.2K 160 3
                                    

"Tidak," gumamnya, mendesah frustasi. "Tidak dengan klub malam."

Suara denting pemanggang roti terdengar bergema. Rasanya hampir seperti sedang berlomba dengan detik jarum jam yang tengah mengisi hening seluruh penjuru rumah. Memalingkan pandangan dari lembar surat kabar, menghela napas perlahan seraya bangkit dan mengikat surai hitam jelaganya, gadis itu melangkahkan kaki—setengah menyeret, meninggalkan kesan bahwa tiap jengkal langkah kaki yang ia gerakkan sudah menyakiti begitu banyak. Terlampau banyak, barangkali. Ada yang pernah bilang padanya bahwa seseorang bisa terbiasa dengan rasa sakit jika terus dipapar secara kontinu, entah secara fisik atau batin. Itu tidak terdengar cukup masuk akal buatnya. Manusia takkan pernah terbiasa dengan sesuatu yang meninggalkan luka, mereka hanya berusaha menulikan dan mengebaskan diri. Setidaknya begitu yang ia hadapi.

Min Kanna lantas menghirup aroma yang mencuat keluar dari pemanggang roti. Ia suka, namun tidak benar-benar berselera untuk menjejalkan mereka ke dalam kerongkongan. Namun kalau tak ingin berakhir kelaparan sepanjang hari, mulutnya harus mengunyah sesuatu. Gadis tersebut bahkan hanya lambat-lambat memindahkan dua sarapannya ke atas piring dan kembali ke meja makan dengan sebuah tomat buah dari dalam lemari pendingin. Mulutnya pahit seperti baru diisi dengan cairan toksin langsung dari dalam jerigen, jadi ditenggaknya setengah liter air dari dalam botol dan kembali fokus memandangi halaman lowongan pekerjaan di surat kabar.

Ia harus mendapatkan satu jika tidak mau mati kelaparan.

Sepasang netra tajam tersebut terfokus memandangi petak-petak lowongan yang masih dibentangkan di atas meja, terpampang, beberapa kolomnya dilingkari spidol berwarna merah. Namun agaknya tidak ada yang tepat. Kanna sudah mencari sejak sepekan terakhir dan itu sama sekali tidak membuatnya merasa lebih baik.

Kalau perhitungannya memang tepat, jatah uang makan siang hanya bisa digunakan selama kurang dari satu minggu. Barangkali bisa cukup kalau ia membawa botol minum sendiri dari rumah dan membeli beberapa roti cokelat yang hampir kadaluarsa di toko kelontong Paman Nam. Mereka selalu menjualnya dengan setengah harga dan rasanya juga tidak begitu buruk. Isi kabinet sudah hampir kosong melompong. Lemari pendingin hanya berisi dua bungkus kacang polong, roti tawar, dan beberapa toples selai yang isinya kurang dari seperempat. Telur sudah habis. Beras juga. Tagihan listrik menanti. Ibu belum kembali. Lowongan pekerjaan pun tidak ada yang bisa dimasuki. Semuanya menginginkan setidaknya lulusan SMA—ijazah benar-benar diperlukan, agaknya. Musim panas sudah berjalan selama beberapa hari dan gadis itu yakin sekali kalau lowongan pekerjaan paruh waktu di toko-toko pasti sudah banyak yang terisi. Sebab terakhir kali ia datang setidaknya mengunjungi delapan toko, semuanya mengatakan hal yang sama; ia datang terlambat.

Mendesah pelan dan akhirnya menyambar roti untuk dikunyah dengan cepat, Kanna lantas menggerakkan tubuh, merapikan hoodie sejenak sebelum menyambar tas sekolahnya. Gadis itu melirik jam dinding, tepat waktu. Takkan terlambat. Sepulang sekolah ia barangkali akan mencari toko atau restoran keluarga yang jaraknya agak sedikit jauh dari sekolah atau rumah. Ia membutuhkan pekerjaan atau dirinya akan berakhir kehabisan uang secara total. Butuh makanan. Harus bertahan hidup. Tabungannya sekarang takkan membantu banyak.

Ah, sial. Kepalanya sakit.

Menahan napas yang tercekat di kerongkongan, tubuh si gadis lantas bergerak gesit menutup gerbang, memastikan pengait sudah terkunci dengan benar dan melirik rumah yang berdiri tegap di samping rumahnya. Ah, benar. Itu jadi membuatnya teringat akan sesuatu. Kemarin ada truk pengangkut barang berhenti di sana; memindahkan meja, kursi, sofa, kardus-kardus, juga beberapa perabot besar yang memerlukan tenaga ekstra agar bisa dimasukkan melalui pintu depan. Sudah berapa lama sejak pemilik sebelumnya pindah, ya?

Tatkala ada pekerja yang memugar ulang tempat tersebut beberapa waktu yang lalu sekaligus memangkas rumput liar yang tumbuh di halamannya, Kanna sudah menduga kalau ada yang akan menempati lagi. Namun ia tidak tahu mereka siapa atau bagaimana, wajah sang pemilik masih tak terlihat. Dalam satu dua waktu, lampu rumah sebelah memang menyala redup. Tetapi ya sudah, hanya sebatas itu saja. Jadi memutuskan untuk kembali pada realita, si gadis lantas memalingkan pandangan dan melangkah pergi. Ia mengayunkan tungkai menuju halte yang sudah terisi beberapa orang, menanti sejenak dengan satu hela napas panjang.

Lifted & FractedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang