25. Poisoned Minds

283 66 2
                                    

Perasaan ini jelas bukan sebuah cinta, sebab Kim Taehyung memang tidak pernah yakin bagaimana rasanya. Namun dalam satu sisi lain—kalau memang ini perasaan yang serupa—ia juga tak mengerti bagaimana cara mengatasinya. Semuanya mendadak terasa tak nyaman dan mencekik. Sulit bernapas.

Taehyung tahu bagaimana rupa manusia yang setiap senti hatinya diliputi luka. Mereka yang selalu bergelung dengan pahit, getir, serta biru yang melingkupi, akan beraroma dan bertingkah menyerupai satu sama lain. Tak peduli setebal atau semahal apa topeng yang dikenakan. Jadi, tak ayal, sejak pertama kali si pemuda menemukan Min Kanna, kepingan tipis nuraninya berbisik, "Ah, yang ini benar-benar menggiurkan."

Keadaan psikis yang berada diluar kendali, rumah yang kacau balau, tubuh kurus, baju berlengan panjang demi menutupi lebam pada kulit pualamnya—semua seperti buket bunga paling sempurna dengan pelengkap sepasang netra mati yang sepi, dingin, nan menusuk. Bibir tipis tersebut sayangnya jarang sekali mengucapkan kalimat. Ia lebih banyak diam, mengasingkan diri secara sengaja, sebab sedang sibuk bergelut dengan iblis di dalam kepala. Taehyung selalu ingin tahu bagaimana jika Kanna berada dalam dekapannya, menginginkannya, lalu secara sederhana meletakkan kepercayaan padanya. Kira-kira, semenakjubkan apa rasanya?

Namun kini, memandang bagaimana Park Jimin merengkuh gadis itu, berlumur darah di rahang dan Kanna hanya menatap kosong akibat benturan realita yang luar biasa, Taehyung mengerti dia sudah kehilangan gadis ini pada opsi ketiga. Mungkin selama sisa hidup mereka, gadis tersebut tidak akan sudi lagi percaya padanya. Tidak sedikit pun. Apalagi pada seorang pemuda gila yang terjebak arus dan tengah mengarahkan pistol pada sahabat baiknya sendiri.

Tunggu. Sahabat?

"Kukira itu tadi Jungkook," Jimin menyahut tak habis pikir. Wajahnya terlihat kelewat kalem untuk ukuran seseorang yang tengah ditodong senjata api tepat pada kepala. Ia masih gencar mengusap pipi Kanna yang bersandar pada dadanya, tidak bergerak sedikit pun, dan meninggalkan bercak darah di kulit wajah gadis tersebut. Bahkan saat Taehyung mengeraskan ekspresi, netra yang memicing kaku lalu melangkah mendekat, Jimin hanya tersenyum manis sebelum melanjutkan, "Jadi kau yang membuka pintunya?"

Taehyung memandang tak berkedip. "Lepaskan dia."

"Sekarang aku tahu siapa yang tidak bisa kupercayai lagi." Jimin menyeringai. "Aku ingin berkata padamu: oh, ambil saja gadis ini, Bung. Tapi sekarang agaknya menjadi sedikit sulit."

"Apa?"

"Sederhananya, sekarang aku mengerti mengapa kau begitu menginginkannya. Dia sosok yang menarik, lho. Lihat apa yang sudah dilakukannya padaku?"

Ini hampir terasa seperti lelucon di awal April yang kelewat mengerikan. Hanya saja tidak akan tawa setelahnya kecuali hanya darah dan isi kepala yang berceceran—itu pun kalau Taehyung benar-benar menarik pelatuk tersebut dan membuat Jimin bungkam selamanya. Tetapi dia tidak melakukan hal tersebut. Satu-satunya hal yang mengisi ruangan bukanlah lecutan senjata melainkan suara Taehyung yang terdengar berat, "Jimin—"

Jimin mendengus. "Aku hanya memintamu melakukan satu hal; satu hal sederhana, Taehyung. Aku memintamu membawa Yoongi dan kita akan melepaskan Kanna. Tapi kau mengacaukannya. Kau tahu seberapa licinnya Yoongi. Jika gadis ini pergi dari tempat sialan ini, kau kira apa rencana kita akan tetap berhasil?"

Taehyung merasakan kedua bahunya perlahan merosot jatuh. Sederhana. Permintaan yang sederhana. Sesuatu dalam batin pemuda tersebut seolah mendadak bergolak luar biasa. Bimbang menyelimuti dirinya secara pekat. Tentu saja. Tentu ia tahu kenapa dia melakukan ini. Perasaan bersalah, godaan nafsu, juga keinginan untuk melakukan hal lama selalu ada di dalam dirinya; menghantui tanpa jeda dan Taehyung sudah lelah menolak. Pandangan pemuda itu lantas berubah begitu sulit meski suaranya masih terdengar sedingin es. "Jim, kau tahu kau sudah melewati batas. Kita memang menyakiti, tetapi kebanyakan gadis itu melakukannya dengan suka rela. Membunuh orang bukan sesuatu yang—"

Lifted & FractedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang