Part 11

19.1K 1.1K 1
                                    

"Kakak yakin Gio aman sama kak Rio?"

Ify menoleh pada Keke. Mereka sedang di dalam mobil menuju kampus Keke. Setelah kepergian Rio yang membawa Gio tadi, Ify juga pergi bersama Keke. Ia ada meeting di kantor jadi tidak mungkin untuk dibatalkan.

"Kenapa gak yakin Ke. Kak Rio kan ayahnya, jadi gak mungkin kalau dia macam-macam sama Gio."

"Tapi kalau kak Rio bawa Gio gimana kak?"

Ify tersenyum melihat wajah lucu Keke yang cemas.

"Ihh kak Ify malah senyum. Keke tanya kakak."

"Iya ih. Kamu gak usah khawatir Ke. Tadi kak Rio udah janji sama kakak kalau dia akan bawa Gio pulang nanti sore."

"Kenapa harus sore sih kak. Kenapa gak siang aja."

"Keke Cantika Hilyatama kalau Rio antar Gio jam siang terus Gio di rumah sama siapa? rumah lagi kosong ini. Si bibik juga tadi pagi pamit pulang kampung bentar kan."

Jelasnya dengan nada gemas pada Keke.

"Hem bener juga ya. O iya kak kayaknya nanti malam Keke gak bisa pulang deh. Temen Keke kan ada yang sakit dan tadi mamanya hubungi Keke buat nemenin dia di rumahnya karena mamanya harus keluar kota. Boleh ya kak."

Keke menatap Ify penuh harap.

"Iya boleh tapi hpnya jangan di kasih mati ya. Kalau ada apa-apa langsung hubungi kakak."

" Siap kakak."

Ify menurunkan Keke tepat di depan kampusnya. Setelah mencium pipi kiri Ify, Keke segera turun. Ify melajukan lagi mobilnya menuju kantornya yang memang searah dengan kampus Keke.

***

"Ayah Gio mau makan es klim ya."

Rio mencium pipi putranya yang sangat mirip dengannya itu.

"Iya sayang. Tapi nanti ya kita antar mainan Gio ke mobil dulu."

Gio hanya menganggukan kepalanya. Saat ini ia tengah di gendong oleh Rio di salah satu toko mainan. Rio menyuruh Gio memilih apa saja jenis mainan yang Gio mau. Tentu saja Gio yang dengan senang hati bersorak dan dengan penuh semangatnya langsung memilih apapun yang ia mau.

Rip tidak peduli dengan berapa pun harga mainan yang dipilih Gio. Baginya yang penting Gio senang. Ada rasa sesak di hati Rio saat melihat keantusiasan Gio terhadap mainan yang berjejer di rak. Sesak karena baru sekarang ia bisa menyenangkan hati putranya.

"Kita bayar dulu habis itu kita ke mobil baru beli es krim ya sayang."

Setelah membayar semuanya Rio menggendong Gio keluar dari toko itu. Menghampiri mobilnya dan memasukan semua mainan Gio kedalam bagasi.

"Itu ada jual es krim, kita beli di sana aja yuk,"

"Ayok ayah. Tapi Gio digendong telus ya. Soalnya kalau sama bunda Gio gak pelnah minta gendong."

"Siap sayang. Kenapa gak minta gendong sama bunda?"

"Kan Gio anak laki-laki. Jadi gak boleh manja sama bunda nanti bunda capek. Kalau sama ayah balu boleh."

Rio tertawa mendengar kalimat terakhir anaknya. Masih kecil tapi sangat pintar Gio ini. Persis seperti Ify. Huft Rio jadi merasa rindu pada wanita itu.

"Ayah kenapa diem. Ayo beli es klimnya."

"Eh iya sayang. Ayo."

Rio menggendong lagi tubuh gempal Gio ke tempat penjualan es krim. Setelah itu baru ia membawa Gio ke kantornya.

Sesampainya di kantor Rio dengan senangnya menggendong Gio yang mengundang tanya bagi setiap karyawan yang melihatnya. Namun, tidak ada yang berani bertanya siapa yang saat ini di gendong oleh Rio.

" Ini tempat kelja ayah ya?"

"Iya sayang. Ini kantor ayah, Gio di sini dulu sama ayah nanti sore kita pulang."

"Iya tapi Gio boleh main ya di sini yah."

Pinta bocah itu. Rio mengangguk setuju.

"Iya sayang boleh. Nah duduk di sini sayang. Ayah kerja ya."

Bocah itu duduk di sofa ruangan Rio, dan mulai memainkan mainan yang tadi sengaja Rio bawa ke sini.
Sementara Rio menduduki kursi kerjanya dan mulai fokus dengan tampilan di laptopnya serta lembaran lembaran kertas diatas mejanya yang memang sudah di siapkan oleh sekretaris nya.

"Ayah itu foto bunda? kenapa ada di sini?"

Rio menoleh pada putranya yang ternyata sudah berdiri di samping kursinya. Gio menatap foto Ify yang memang sengaja ia letakkan di atas meja kerjanya. Rio tersenyum, mengangkat tubuh Gio dan mendudukkannya di atas paha.

"Iya sayang. Ini foto bunda, cantiknya bunda Gio."

"Bunda itu cantik kayak bidadali kan yah?

Rio mengangguk setuju. Benar kata Gio, Ify seperti bidadari dan Rio berharap jika Ify akan benar-benar menjadi bidadari nya lagi sampai menjadi bidadari surganya kelak.

"Gio laper gak. Ayah udah pesen makanan buat kita nanti paling sampe. Sekarang Gio main lagi ya nak. Ayah mau lanjutin lagi kerjanya."

Rio menurunkan Gio dari pangkuannya dan dengan semangatnya anak itu menghampiri mainannya yang berserakan.

Setelah selesai dengan urusan kantor Rio membawa Gio pulang ke rumah Ify. Saat ia dan masuk sudah ada Ify disana. Tersenyum ke arah mereka menumbuhkan rasa bahagia yang tidak terkira bagi Rio.

"Bunda."

Gio berlari dan memeluk leher Ify dengan erat. Tentu saja dihadiahi kecupan di kening dan pipinya oleh Ify.

"Anak bunda mandi dulu ya sayang. Bau acem ini."

"Iya bunda. Tapi sama ayah ya."

Perkataan Gio membuat Rio dan Ify saling tatap. Kemudian Ify beralih menatap menatap Gio dengan senyum.

"Iya sayang boleh. Gio duluan ke kamar ya. nanti ayahnya nyusul."

Rio mendekati Ify setelah Gio pergi kekamarnya.

"Makasih ya untuk kebaikan kamu yang udah ngizinin aku untuk dekat sama anak kita."

Ify hanya menjawab dengan anggukan. Ia mengambil sebuah paper bag dan menyodorkannya pada Rio. Rio menaikkan sebelah alisnya.

"Tadi aku sengaja beli takutnya kamu gak ada persiapan buat ganti. Semoga kamu suka."

Dengan wajah berseri Rio menerima paper bag dari tangan Ift.

"Aku selalu suka apapun yang ada hubungannya dengan kamu Fy."

Lirih Rio.

"Yaudah aku mandi dulu ya sama Gio."

"Iya."

Ify menghembuskan nafasnya setelah Rio memasuki kamar Gio. Hatinya bahagia saat melihat wajah Gio yang berseri di dalam gendongan Rio. Ini yang diinginkan anak itu sejak dulu.

Andai Ify bisa menahan Rio untuk tidak pergi malam ini, ia ingin melihat Gio tertidur pulas di dekapan ayahnya. Tapi Ify tidak akan melakukan itu karena Ia tahu urusan Rio bukan cuma dirinya dan Gio

"Aku masak aja deh. Siapa tahu habis ini Rio dan Gio lapar jadi bisa langsung makan."

Ify memutuskan untuk memasak saja sembari menunggu Rio dan Gio selesai mandi. Memang hari masih menunjukkan jam enam sore tapi apa salahnya masak dijam seperti ini. Mumpung  pembantunya tidak ada juga.

Masih Ada Cinta (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang