Part 21

11.7K 759 0
                                    

Rentetan huruf yang tertera di atas kertas-kertas putih sejak tadi menjadi pemandangan bagi seorang Ify. Tidak ada yang ia lakukan dengan kertas itu hanya memandangnya tanpa minat. Sebelah tangannya menampung dagu. Layaknya orang yang sedang berfikir keras.

Sudah setengah jam wanita itu melakukan aksi mematung nya dengan tidak melakukan apa-apa selain melamun dengan mata terarah pada kertas putih didepannya. Entah apa yang wanita itu pikirkan. Ketukan pintu membuyarkan lamunan Ify.

"Masuk."

Seorang wanita muda dengan senyum sopan menghampirinya. Ia Kara, sekretarisnya yang sudah bekerja lama di Perusahaan ini.

"Buk. Ini ada berkas yang harus ibu tanda tangani."

Kara meletakkan map berisi berkas yang ia maksud diatas meja tepat dihadapan Ify. Menutup kembali map itu setelah Ify membaca dan menandatangani nya. Lantas memberikannya pada Kara.

"Ini. Kara setelah ini saya ada urusan di luar jadi tolong kamu handle dulu ya masalah kantor."

Perintahnya pada sang sekretaris. Kara mengangguk.

"Iya buk. Ibuk mau pulang sekarang?"

Tanyanya penasaran.

"Iya. Ini saya mau jalan."

Ify mengambil tas dan memasukkan hpnya kesana.

"Baiklah buk. kalo gitu saya keluar ya buk."

Ify mengangguk membiarkan Kara keluar dari ruangannya. Baru setelah itu ia pun keluar untuk pergi ke suatu tempat.

"Taksi mana sih?"

Ify celingak celinguk mencari taksi yang biasanya berlalu lintas. Tadi ia datang dengan Rio jadi harus nunggu taksi kalau mau kemana-mana. Melihat ada satu taksi yang mengarah padanya Ify dengan cepat menyetop dan seketika taksi pun berhenti.

"Ke mana Buk?"

Tanya sang sopir yang ternyata seorang wanita. Sempat kaget namun dengan cepat Ify menguasai dirinya.

"Jalan dulu aja ya Buk."

Katanya. Ibu itu mengangguk dan menjalankan mobilnya. Sesekali mata Ify melihat pada ibu sopir taksi itu lewat kaca yang ada di depannya. Ada rasa kasihan di hatinya pada ibu itu. Wanita, tapi bekerja sebagai sopir taksi, apa tidak ada pekerjaan lain yang bisa ibu itu lakukan? ya meskipun jadi sopir bukanlah pekerjaan yang buruk apalagi hina tapi tetap saja itu bukan pekerjaan mudah bagi seorang wanita.

Dalam hati Ify bersyukur ia diberi nikmat yang lebih oleh Sang Khalik. Walaupun hidupnya penuh cobaan tapi setidaknya ia mudah dalam urusan ekonomi. Ya mungkin begitulah hidup, ada orang yang hidupnya bergelimang dengan harta tapi bermasalah dalam urusan hati, ada juga yang hidupnya pas-pasan tapi hatinya bahagia. Intinya tidak ada yang sempurna di dunia ini termasuk hidup.

"Kenapa liatin saya kaya gitu Mbak?"

Ify tersentak tak enak karena ketahuan memperhatikan gerak gerik ibu itu. Tersenyum tipis ia lantas membalas tatapan ibu itu melalui kaca.

"Eh enggak buk. Saya-"

"Heran sama saya? karena saya wanita dan jadi sopir taksi?"

Ify menganggukan kepalanya mengiyakan tebakan ibu itu yang benar sekali menurut hatinya.
Ibu itu tersenyum padanya, senyum yang bukan di buat untuk menutupi sesuatu tapi senyum tulus yang terlihat tidak dipaksakan sama sekali.

"Saya boleh cerita sedikit tentang saya sama mbak?"

Dengan senyum yang mengembang Ify mengangguk lagi. Ia bukan orang yang sombong jadi apa salahnya mendengar kisah orang lain yang bahkan masih belum ia kenal.

"Saya punya seorang anak yang masih kecil, suami saya udah meninggal setahun yang lalu. Kami orang yang jauh dari kata kaya mbak. Hidup kami serba kekurangan jadi daripada saya gak bisa membesarkan anak saya lebih baik saya bekerja sebagai sopir yang penghasilannya lumayan walaupun beresiko."

Ify tertegun mendengarnya. Ternyata ibu ini seorang janda yang hidupnya susah. Tapi demi bulan hatinya ia rela menjadi sopir taksi seperti ini.

"Emm maaf Buk. Ibuk gak punya keluarga lain? maksudnya, seperti ayah atau ibu?"

"Kami hanya hidup bertiga sebelumnya Mba, dan kami juga tidak punya keluarga lain karena memang kami pindahan."

Ify mengerti sekarang.

"Anak ibu udah usia berapa?"

Tanyanya.

"Baru usia dua tahun mlMbak."

"Masih kecil ya. Dia tinggal sama siapa kalau ibu kerja?

"Sama tetangga saya Mbak. Tetangga saya itu punya anak seumuran anak saya jadi mereka yang nyuruh anak saya buat titipin sama mereka aja kalau saya mau kerja."

Ify tidak bisa membayangkan jika itu terjadi pada dirinya. Apa dia bisa atau tidak. Membayangkannya saja sudah menyedihkan apalagi merasakan.

Cerita ibuk tadi membuat ia teringat pada putranya, Gio. Wajar jika ibu ini rela melakukan apapun untuk anaknya. Karena ia juga akan seperti itu jika ia dan Gio ada di posisi yang sama. 

"Kita ke alamat ini ya Buk."

Ify menyodorkan hpnya pada ibu itu. Menunjukkan lokasi yang harus mereka datangi.

"Emm Buk. Maaf ya bukannya saya ada niat merendahkan atau sejenisnya tapi ini dari hati saya yang paling dalam, saya mau nawarin ibu sesuatu. Itu juga kalau ibu gak keberatan."

Sopir taksi itu menoleh padanya. Ia tersenyum.

"Tawaran apa toh mbak, gak sama sekali saya gak keberatan kok. Jelas terlihat Mbak itu orangnya gak ada niat merendahkannya sama sekali."

"Gini Buk. Saya juga ada anak laki-laki masih kecil dan umurnya masih tiga tahun, jadi di rumah saya itu ada banyak mainan dan baju yang masih bagus bahkan ada yang belum dipake sama sekali. Kalau ibu berkenan untuk menerimanya saya akan kasih untuk anak ibu."

Ibu itu tersenyum.

"Saya sama sekali enggak keberatan Mbak untuk menerimanya. Bahkan saya bersyukur. Mbak yang baru pertama kali bertemu dengan saya tapi sudah menawarkan pakaian untuk anak saya."

"Alhamdulillah kalo Ibu mau. Yaudah kita ke rumah aku dulu kalo gitu Buk Habis dari sana baru kita ke alamat yang saya kasih tadi."

"Baik Mbak."

Sopir taksi itu pun mengarahkan mobilnya kearah rumah Ify. Semua barang yang kira-kira masih layak pakai tapi sudah lama tidak di pakai oleh Gio, Ify kumpulkan bersama pembantunya untuk diberikan pada anak sopir taksi tadi. 

Bukan cuma barang yang bekas tapi juga ada beberapa pakaian dan sepatu Gio masih belum pernah di pakai pun Ify berikan, karena pasti ukurannya sudah tidak muat lagi untuk Gio.

"Ya ampun mbak, ini gak kebanyakan? serius Mbak kasih ini semua untuk saya?"

Tanya sopir taksi itu takjub melihat semua barang yang mereka masukkan kedalam kardus berukuran besar.
Ify menggeleng,

"Ini serius Buk. Dan ini ada sedikit uang untuk keperluan ibu dan anak Ibuk. Semoga bermanfaat ya Buk."

"Eh ini  gak usah Mbak. Saya di kasih ini aja udah alhamdulillah, jadi gak udah pake uang lagi."

Ibu itu berusaha menolak uang yang diberikan Ify dalam amplop.

"Gak papa Buk. Ini untuk anak Ibuk, jangan ditolak ya."

Ify terus memaksa untuk ibu itu menerima pemberiannya. Dengan sangat enggan akhirnya sang sopir taksi pun menerima amplop berisi uang dari Ify.

"Terima kasih banyak kalau begitu Mbak."

"Iya. Udah dimasukin semua ke mobil kan? kalo gitu sekarang kita ke alamat yang tadi yuk Buk."

Ify masuk lagi ke dalam taksi dan pergi dari pekarangan rumahnya.

Masih Ada Cinta (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang