Bagian Tiga Puluh Lima

16.6K 653 16
                                        

Happy Reading !!!

***

Satu minggu berlalu sejak kepulangannya dari rumah sakit, Rhea tetap memutuskan untuk tinggal bersama ayahnya meskipun sang mama memintanya untuk kembali ikut bersamanya.

Rengekan Trika tidak Rhea hiraukan, sementara Xyan tidak sama sekali Rhea pandang. Masih ada kecewa yang dirasakan, dan sepertinya Xyan paham. Pria itu tidak memaksa Rhea untuk percaya pada apa yang dijelaskan. Laki-laki itu terlihat pasrah. Sementara Rhea semakin tidak karuan. Di tinggalkan Xyan menjadi hal yang membuat Rhea ragu untuk tinggal di tempat ayahnya. Namun tidak bisa jika harus menerima begitu saja pengakuan Xyan.

Sang ayah sudah mengizinkan Rhea untuk pulang bersama ibunya, namun Rhea menggeleng, berkata bahwa ia masih ingin di sini, meskipun tujuannya adalah untuk menenangkan diri dari kelumit mengenai perasaannya untuk Xyan, juga kecewanya pada pria itu.

Pembatalan perjodohan sudah Rhea dengar dan itu sedikit banyaknya membuat Rhea menghela napas lega, karena sejujurnya Rhea tidak siap. Bukan karena hal yang Vendra katakan saja, tapi juga karena ternyata mentalnya belum sekuat itu. Terlebih kejadian kemarin kembali membuat Rhea tidak percaya diri.

Namun sekarang bukan Vendra yang ingin Rhea tanggapi, karena laki-laki itu pun sudah tidak lagi menampakkan diri setelah hari dimana Rhea melemparinya dengan apa pun yang ada di dekatnya.

Rhea sadar hari itu dirinya sudah berlebihan. Tidak ada yang Vendra lakukan hingga harus membuatnya ketakutan. Tapi jujur saja, Rhea memang setakut itu saat melihat laki-laki itu.

Wajah Vendra selalu berubah menjadi sosok mengerikan Tristan saat akan melecehkannya, membuat Rhea refleks berteriak meminta sosok itu pergi. Namun sekarang Rhea menyadari bahwa bukan Vendra yang bersalah. Dirinya yang belum bisa melepaskan bayang mengerikan tentang Tristan. Dirinya yang belum mampu melupakan kebejatan mantannya. Dan sekarang traumanya malah berimbas pada orang lain.

“Rhe, kamu serius gak mau pulang?” Tama masuk setelah beberapa kali mengetuk pintu hingga Rhea mengizinkannya masuk.

“Kenapa memangnya? Papa gak senang aku di sini?” sahut Rhea terdengar tak suka. Membuat Tama cepat-cepat menggelengkan kepalanya.

“Bukan gitu, Rhe. Cuma ‘kan sebentar lagi kamu masuk kuliah,” itu alasan utamanya. Dan alasan lain adalah Tama tidak tega melihat sang putri yang terus mengurung diri.

Sekembalinya dari rumah sakit, Rhea tidak sama sekali melakukan apa-apa. Bahkan untuk sekadar makan saja Rhea tidak akan melakukannya jika tidak ada yang mengantarkan. Membuat Vanya menyindirnya setiap hari. Dan tak jarang mengatakan Rhea tidak berguna. Sayangnya Rhea tidak memiliki selera untuk meladeni ibu tirinya itu.

“Rhea pindah kuliah ke sini aja gimana? Di sini ada kampus yang bagus ‘kan? Lagi pula Rhea mau memastikan bahwa Papa menjamin biaya Rhea. Cukup selama ini kami ditelantarkan. Aku pengen menuntut keadilan. Aku anak papa ‘kan?”

“Apa maksud kamu?” kebingungan nampak jelas di wajah pria paruh baya itu, namun Rhea hanya memutar bola mata, menganggap bahwa ayahnya tengah pura-pura tidak paham. Padahal nyatanya Tama memang tidak paham sungguhan. “Meskipun Papa bercerai dengan Mama kamu, Papa tidak pernah menelantarkan kalian.”

“Nyatanya memang seperti itu, Papa bahkan menghentikan biaya kuliah dan uang bulananku. Mama harus bekerja keras demi membiayai sekolah Ryan. Dan aku tidak tega menambah beban Mama. Tabunganku habis di gunakan untuk membayar tunggakan. Bahkan aku sampai meminjam uang pada Trika untuk melunasinya. Aku tidak mau berhenti kuliah, tapi aku tidak mau membuat Mama susah,” tersenyum miris, Rhea palingkan wajah dari ayahnya, terlalu sakit mengingat pria itu hilang dan melupakan tanggung jawabnya. Lalu datang tiba-tiba membawa sengsara. Meskipun sekarang perjodohan itu sudah dibatalkan. Tanpa Rhea tahu alasannya.

“Papa gak pernah menghentikan biaya kamu, Rhe,”

“Nyatanya Papa memang melalukan itu!” sela Rhea cepat dengan air mata juga kemarahan yang selama ini di pendam. “Papa kenapa tega sama Rhea? Sama Mama, sama Ryan. Kenapa?”

“Rhe—”

“Kenapa harus kami yang terbuang? Kenapa harus kami yang menderita? Mama yang menemani Papa berjuang hingga berada di titik kesuksesan. Tapi kenapa Papa malah memilih perempuan itu? Apa kurangnya Mama, Pa?”

“Rhea, tidak seperti itu,” Tama berusaha membantah dan menjelaskan, tapi Rhea segera menggelengkan kepala, menolak pembelaan sang ayah, yang nyatanya tidak berguna sebab dirinya sudah terlanjur kecewa.

“Rhea pengen banget benci Papa, tapi Rhea gak bisa,” ucapnya dalam isak tangis dan sorot penuh luka. “Rhea pengen banget ngebiarin Papa dengan masalah yang sedang Papa hadapi. Tapi Rhea gak bisa.” Sekecewa apa pun dirinya pada sang papa Rhea tidak bisa mengelak rasa sayangnya.

“Jangan benci Papa, Rhea. Jangan lakuin itu. Papa mohon. Maafin Papa, Rhe. Papa tidak bermaksud mengecewakan kalian, menyakiti Mama—”

“Sayangnya Papa sudah terlanjur melakukan itu,” dan kini Rhea tersenyum kecut. Teringat kembali bagaimana sang papa membawa perempuan itu kehadapan mereka.

“Papa minta maaf,”

“Dan Rhea selalu maafin Papa,” senyumnya Rhea paksakan. Memilih tidak semakin memperpanjang masalah yang sudah dilewatkan. Karena nyatanya itu percuma saja. Ayah dan ibunya sudah berpisah. Ibunya sudah cukup bahagia dengan keadaan mereka saat ini. Sementara ayahnya … entahlah, Rhea tidak ingin terlalu memikirkannya.

“Jadi gimana, apa Rhea boleh kuliah di sini saja?”

“Jika memang kamu menginginkannya. Papa akan segera mengurus kepindahan kamu. Tapi … apa kamu serius tidak ingin kembali?”

“Kenapa memangnya?” satu alis Rhea terangkat, menatap bingung sang papa.

“Pacar kamu gimana?”

“Rhea gak punya pacar,” sahutnya cepat.

“Tapi, laki-laki kemarin?”

“Itu ayahnya temanku,” pada kenyataannya memang seperti itu.

“Dia bilang kalian memiliki hubungan. Dia mencintai kamu. Begitu pula sebaliknya.”

“Gak usah ngaco. Aku sama Om Xyan gak ada hubungan apa-apa. Dia cuma ayah dari teman baikku,” bantah Rhea sembari memalingkan wajah. Tidak ingin ayahnya tahu apa yang sebenarnya dirasakan.

“Kamu yakin?” dan Rhea hanya mengangguk saja, tanpa menoleh pada ayahnya. “Jadi cuma dia yang menyukai kamu?”

“Mana ada. Om Xyan gak mungkin suka sama aku,” karena yang pria itu lihat hanya sosok mendiang istrinya dari Rhea.

“Lalu kenapa dia rela membantu Papa membatalkan perjodohan kamu dengan, Vendra?”

Dan sontak hal itu membuat Rhea menoleh ke arah ayahnya. “Maksud Papa?” tanya Rhea tak paham.

“Om Juna menolak membatalkan perjodohan kalian,” Rhea tahu. “Dia ingin pernikahan berlangsung sesuai yang sudah direncanakan, meskipun keadaan kamu yang seperti ini. Papa gak bisa berbuat apa-apa karena perjanjian tetaplah perjanjian. Tapi tiba-tiba Xyan datang dan bersedia mengganti rugi semua yang sudah Om Juan keluarkan untuk membantu perusahaan Papa,”

“Jadi, maksud Papa ….” Rhea tak mampu melanjutkan kalimatnya, tangannya refleks terangkat menutup mulutnya yang sedikit terbuka akibat keterkejutan dari apa yang baru saja dirinya dengar.

Di saat ia ingin melupakan Xyan, keadaan malah mengharuskannya semakin dekat dengan pria itu. Rhea tidak tahu apa yang harus menjadi respons-nya sekarang. Namun yang jelas Rhea tidak mungkin menjadi tidak tahu diri setelah apa yang dilakukan Xyan untuk ayahnya. Bantuan itu Rhea yakin tidak dalam jumlah sedikit. Dan sekarang haruskah Rhea menyimpulkan bahwa Xyan telah membelinya?

***

See you next part !!!

Hot DaddyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang