Bagian Sembilan Belas

21.4K 605 9
                                        

Happy Reading !!!

***

Pagi-pagi sekali Rhea kembali ke tenda. Trika masih tertidur bersama dua temannya yang lain. Keadaan sekitar pun masih cukup sepi. Sepertinya semua orang masih tertidur. Sementara bekas barbeque semalam masih berserakan, membuat Rhea berpikir hingga jam berapa sekiranya pesta barbeque berlangsung? Tapi dari pada memikirkan hal itu Rhea memilih membereskan kekacauan di sana. Memunguti sampah-sampah dan membereskan pemanggang. Sampai akhirnya satu per satu orang keluar dari tendanya masing-masing dan membantu Rhea merapikan tempat kemah.

Untuk sarapan sendiri mereka dipersilahkan sarapan sesuka hati, karena pihak panitia hanya menyediakan makan siang dan malam. Alasannya karena tidak semua orang suka sarapan, jadi mereka bebas mau makan apa saja pagi ini.

Rhea sendiri sudah membeli sandwich dari salah satu café yang letaknya tak jauh dari villa Xyan. Tadi selesai mandi Rhea dan Xyan memutuskan untuk sarapan di sana. Dan tak lupa membeli untuk Trika, Elard juga dua teman setendanya

Pertanyaan mengenai ke mana dirinya semalam tentu saja menjadi hal yang Trika lontarkan begitu perempuan itu bangun, dan Rhea menjawab sesuai dengan yang sudah dirinya pikirkan. Beruntung Trika dan yang lain tidak banyak bertanya lagi. Mereka terlihat percaya-percaya saja sebab Rhea tentu lah memberi alasan yang logis. Mereka hanya menggerutu sebentar, setelahnya sibuk pada sarapannya masing-masing. Dan segera bersiap untuk mendaki. Lebih tepatnya jalan-jalan menyusuri hamparan kebun teh yang luas membentang, dilanjutkan dengan game yang membuat acara semakin seru.

Mereka yang awalnya hanya kenal sekilas karena berada di lingkungan yang sama, kini terasa lebih dekat. Mereka yang semula tak saling kenal pun berakhir akrab. Hal itu berlaku juga pada Rhea yang semula tak begitu banyak mengenal orang, kini merasa senang berbaur dengan orang-orang. Mengobrol, becanda, dan tertawa. Membuat acara kemah ini benar-benar sempurna. Sayangnya ada saja gangguan yang menghampiri Rhea. Dan itu bersumber dari Tristan. Setelah semalam laki-laki itu membuatnya muak dengan godaan-godaannya yang menyebalkan, sekarang Rhea justru di tarik dari kesenangan dengan teman-temannya.

“Lo apa-apaan sih, Tristan!” seru Rhea seraya menyentak tangannya dari genggaman Tristan yang sudah berhasil menariknya ke tempat yang lebih sepi.

“Semalam lo sama siapa?” pertanyaan itu membuat Rhea mengerutkan kening, tak paham dengan maksud Tristan. “Lo pergi diam-diam dari tenda ke villa yang di sana ‘kan?” lanjutnya seraya menunjuk ke arah Villa yang tak jauh dari tempat kemah mereka. “Lo udah nemuin siapa?”

Meskipun cukup terkejut karena Tristan mengetahuinya, Rhea tak lantas menampilkan raut wajah tegangnya. Ia masih bersikap tenang meski dalam hati cukup ketakutan.

“Bukan urusan lo!”

“Kenapa? Karena gue bukan lagi pacar lo?” tebak Tristan, yang tentu saja Rhea benarkan. Toh memang iya ‘kan? Tristan tak lagi memiliki hak untuk tahu urusan Rhea. Hubungan mereka sudah berakhir.

“Gue gak pernah setuju, Rhe. Gu—”

“Lo bukan yang menyetujui, tapi lo yang mengakhirinya, Tristan!”

“Rhe …!” Tristan tak melanjutkan kalimatnya, laki-laki itu meraup wajahnya dengan tangan kosong, terlihat frustrasi, namun sama sekali Rhea tak memedulikan itu. Sejak awal Tristan memutuskan hubungan mereka melalui telepon, sejak itu pula Rhea menganggap bahwa hubungan mereka memang berakhir. Tidak peduli kalimat itu hanya sebuah game yang sedang dimainkan Tristan dengan teman-temannya. Tidak peduli kalimat itu serius dikatakan atau tidak.

“Aku gak mau putus, Rhe!”

“Itu urusan lo. Karena bagi gue hubungan kita sudah berakhir.” Tatapan Rhea tajam sarat akan sebuah ketegasan.

“Apa karena laki-laki semalam?” katanya menghentikan langkah Rhea yang semula akan pergi meninggalkan Tristan. “Lo punya cowok lain ‘kan, Rhe?”

“Kalau iya memangnya kenapa?” tantang Rhea membalik kembali tubuhnya, menatap Tristan yang masih berdiri di posisi sebelumnya.

“Dan dia yang ngasih lo ini,” ucap Tristan seraya menurunkan sedikit kerah baju Rhea hingga menampilkan tanda kemerahan yang semalam Xyan tinggalkan.

Terkejut dengan tindakan Tristan, Rhea dengan cepat menepis tangan mantan kekasihnya itu dan menutupi dadanya dengan kedua tangan. Lalu menatap Tristan dengan marah. Laki-laki itu benar-benar lancang.

“Kenapa? Gue kira lo sengaja memperlihatkan itu,” ucapnya tanpa sama sekali merasa bersalah. “Dulu gue juga pernah bikin yang kayak gitu ‘kan Rhe? Cuma posisinya di sini, bukan di sini,” tunjuknya pada leher dan area dekat dada Rhea yang tadi sempat terekspos sebab kancing blus Rhea terlepas hingga memperlihatkan kissmark yang Xyan tinggalkan.

“Apa mungkin di bagian lainnya pun ada?” lanjutnya seraya melirik tubuh Rhea dari atas hingga bawah, lalu kembali menatap mata Rhea yang menyorot tajam dengan kegelisahan yang tak dapat di sembunyikan. Membuat Tristan mengulas senyum kecil. “Kenapa waktu itu lo nolak gue, sementara sekarang …” jeda, Tristan kembali menatap Rhea dari atas sampai bawah, dan kembali naik ke atas. “Sepertinya lo suka, ya, sampai semalaman lo gak balik ke tenda.”

Rhea tak menyangka bahwa Tristan akan mengetahui hal itu. Semalam Rhea memastikan sendiri bahwa tidak ada siapa pun yang tahu kepergiaannya. Tidak ada juga yang mengikutinya ke villa. Tapi ternyata Rhea salah. Buktinya Tristan tahu kepergiaannya, meskipun laki-laki itu tidak mengetahui siapa pria yang Rhea hampiri semalam.

“Gue gak yakin sekarang lo masih perawan, Rhe. Cowok itu hebat berarti, ya, bisa bikin lo akhirnya mau menyerahkan apa yang selama ini lo jaga. Bahkan untuk gue yang katanya lo cinta aja gak bisa buat lo rela memberikannya. Padahal saat itu gue janji akan tanggung jawab,” ada kegetiran dari nada Tristan, dan itu membuat ingatan Rhea terlempar pada kejadian satu tahun lalu. Dimana saat itu Tristan mengajaknya bercinta setelah melakukan ciuman yang cukup panjang.

Janji sebuah pertanggung jawaban memang Tristan ucapkan bersama keyakinan-keyakinan lainnya. Tapi Rhea tak lantas setuju. Banyak ketakutan yang menghampiri, banyak pikiran yang memenuhi kepalanya. Membuat Rhea akhirnya menggeleng, menolak ajakan Tristan. Beruntung Tristan tidak memaksanya. Hal yang membuat Rhea semakin memuja laki-laki itu dan tetap melanjutkan hubungan hingga beberapa bulan yang lalu. Meski tahu di belakangnya Tristan bermain gila dengan perempuan lain.

“Gue jadi penasaran sama laki-laki beruntung itu, Rhe. Apa dia anak kampus kita?”

“Bukan urusan lo!” sinis Rhea.

“Sayangnya itu akan menjadi urusan gue karena dia udah berani mengambil apa yang seharusnya jadi milik gue. Lo … lo gak bisa lepas gitu aja dari gue, Rhe. Gue pastikan lo akan jadi milik gue lagi.”

In your dream!”

“Kita lihat aja nanti,” ucapnya seraya mengedip genit dengan raut wajah yang sudah kembali tenang. “Gue bukan laki-laki yang menjungjung tinggi sebuah keperawanan, kok, Rhe. Jadi meskipun lo udah tidur sama laki-laki lain. Gue akan tetap terima lo. Lagi pula gue juga penasaran gimana rasanya main sama lo.”

Setelah mengucapkan kalimat itu Tristan pergi, meninggalkan Rhea yang wajahnya sudah benar-benar merah, merasa dilecehkan oleh mantan kekasihnya yang memang bajingan. Rhea semakin tak mengerti kenapa dulu ia bisa sebegitu cintanya pada Tristan yang sudah jelas-jelas merupakan laki-laki berengsek.

***

See you next part!!

Hot DaddyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang