Aku benar-benar tidak pernah membayangkan akan ada kejadian semacam ini. Kejadian langka di mana aku bertemu Mas Rizal dalam sebuah acara namun tidak bisa saling menyapa karena keadaan yang memaksanya. Benar-benar harus bersikap seperti orang asing yang tidak mengenal satu sama lain.
From: Mas Pacar
Kok bisa di sini, Mbak?
Terus bareng siapa itu? 😡Aku mendongak dan mengedarkan pandangan untuk mencari keberadaan si pengirim pesan. Menarik sudut bibir sedikit karena wajah Mas Rizal sudah terlihat masam ketika menatapku barusan.
To: Mas Pacar
Jangan ngeliatin aku mulu kalo nggak mau ketahuan 😂From: Mas Pacar
Mbak... siapa itu yang bareng kamu? 😤Aku benar-benar ingin tertawa karena orang yang satu ini. Aku tahu jika menjadi seorang menteri itu memang begitu sibuk dan tidak ada waktu luang untuk sekadar menonton berita, tapi ia tidak tahu seorang Aldino Mahendra? Aku menggeleng karena mengetahui dia yang terlalu kudet hingga tidak tahu aktor muda tampan yang sedang naik daun setahun terakhir ini.
Anyway, aku ingin memberitahu kenapa Mas Rizal memanggilku dengan sebutan 'mbak', sebuah panggilan yang biasanya disematkan kepada saudara perempuan yang lebih tua, padahal aku sebenarnya lebih muda darinya.
Dalam lingkungan keluarga, aku memang lebih sering dipanggil Mbak Jeje dibandingkan Jesi yang merupakan nama asliku. Setelah aku memberitahunya soal fakta itu, dia bersikeras untuk memanggilku 'mbak' agar terkesan lebih intim karena sudah seperti keluarga. Dan ya, akhirnya embel-embel 'mbak' yang keluar dari mulutnya menjadi semacam panggilan sayang yang dia sematkan padaku.
To: Mas Pacar
Pacar sewaan
Soalnya yang beneran nggak mau diajak gandengan di depan orang 🤭Aku menengok ke arah Mas Rizal yang sudah tidak melihat ponselnya. Saat ini dia terlihat sibuk berbicara dengan seorang laki-laki paruh baya, jika aku tidak salah ingat laki-laki itu adalah salah satu rekannya di kementerian.
"Mbak, lo liatin siapa?" Tiba-tiba entah datang dari mana Aldi berbisik di telingaku.
Aku bahkan sampai merinding karena terkejut akan perbuatannya barusan. Sementara Aldi? Dia tetap bersikap tenang meski sekarang aku tengah memelototinya.
"Santai, Mbak. Abisnya lo sih dari tadi ngeliatin apaan dah gue panggil gak nyaut-nyaut."
Aku menautkan kedua alis. "Kapan lo manggil gue?"
"Nah kan ... gue bohong aja, lo masih percaya. Kebukti banget kalo lagi nggak merhatiin sekitar," jelasnya yang ternyata hanya menjailiku saja.
Aku mendengkus dan mengalihkan pandangan dari bocah ini. Memberitahu diri sendiri bahwa aku harus banyak bersabar karena sudah terlanjur berurusan dengannya.
"Mbak...." ucapnya sembari menoel-noel lenganku.
"Apa?" jawabku sembari menoleh ke arahnya.
Saat ini kami berdua memang sudah duduk di salah satu bangku yang tersedia sehingga Aldi bisa dengan bebas menggangguku untuk memperoleh atensi.
"Lo ngerasa beda nggak, sih?"
"Beda gimana?" tanyaku karena tidak paham dengan maksudnya.
"Biasanya kita di spotlight gitu kan kalo di acara party . Tapi ini, kok, kita kaya orang biasa, ya, jatohnya?" tanyanya dengan mimik wajah penuh keheranan. "Malah kayaknya pada nggak kenal gue masa, Mbak," lanjutnya menambahkan.
Alih-alih bersimpati terhadapnya, aku malah tertawa. Memang menurutnya selebritis punya kekuatan apa jika dibandingkan dengan para pejabat tinggi yang ada di sini?
"Sebelumnya lo udah pernah ikutan private party kaya gini?" tanyaku yang dibalasnya dengan gelengan. "Menurut lo siapa aja yang mungkin diundang di acara eksklusif kaya gini?"
"Aristokrat? Borjuis?"
Aku mengangguk. "Exactly yes! Para petinggi di pemerintahan, pengusaha besar yang kita nggak pernah lihat sama sekali di media karena wewenangnya udah didelegasikan ke bawahannya atau para orang-orang kaya a.k.a sultan yang memiliki koneksi dengan orang-orang macam mereka." Aku menarik napas dalam. "Sementara kita ..." ucapku sedikit memberikan jeda, "hanya seorang pekerja seni yang mungkin terkenal di luaran sana tapi tidak pernah dikenal di lingkungan seperti ini."
Aldi terlihat mengangguk-angguk mendengar penjelasanku. "Jadi kasarnya kita di sini sama aja kaya rakyat jelata, ya?"
Aku benar-benar terdiam mendengar perumpamaan yang diberikannya itu. Aku tahu pasti keberadaan kami berdua di sini tidaklah penting. Namun mendengarnya menyamakan dengan rakyat jelata, kenapa terdengar begitu menyedihkan, ya?
***
"Jesi." Aku memperkenalkan diriku padanya. Mas Pacar yang tidak diketahui satu pun orang yang ada di sini.
Tadi saat aku sedang mengobrol dengan Aldi, temannya yang memberikan undangan mengajak kami untuk berkenalan dengan seseorang yang menjadi idolanya. Dan siapa yang menyangka jika orang tersebut adalah Muhammad Leonardo Rizal.
"Rizal." Mas Rizal membalas ucapan perkenalanku.
Dibandingkan dengan aku yang cukup bisa mengendalikan ekspresi di situasi tidak terduga semacam ini, Mas Rizal justru memperlihatkan wajah kakunya. Mungkin karena dia bukan seorang aktris sepertiku, jadi cukup sulit mengendalikan mimik wajahnya agar terlihat biasa saja.
Aku tersenyum sembari memandanginya, sebuah senyum ramah dengan sejuta arti di dalamnya yang sengaja aku berikan agar ia merasa nyaman.
"Salam kenal Pak Rizal..."
Mati-matian aku menahan tawa saat memanggilnya dengan sebutan 'pak'.
Jika Mas Dimas mendengar panggilan ini, dia mungkin tidak akan bisa mempertahankan wajah lempengnya lagi. Bahkan sang pemilik panggilan yang terlihat begitu syok hingga tak kunjung juga membalas pernyataanku.
"Untunglah di sini nggak ada wartawan, Mas. At least, ekspresi kamu barusan yang sangat memeable itu tidak berseliweran menjadi stiker Whatsapp," batinku pada diri sendiri yang tentu saja tidak berani kusuarakan.
***
"Gimana Mbak, menurut lo?" Aldi tiba-tiba berbisik di telingaku untuk menanyakan pendapat mengenai Mas Rizal.
Usut punya usut ternyata dia juga mengidolakan Mas Rizal sama seperti temannya yang merupakan adik dari pemilik acara ini. That's why tidak ada angin tidak ada hujan aku malah diajak ikut berkenalan untuk menemaninya—ternyata dia sangat ingin menjabat tangan sang menteri sosial.
Definisi seorang fans yang bertemu biasnya.
"Ganteng," jawabku.
Sebenarnya aku tidak terlalu mengerti jawaban apa yang diharapkan Aldi keluar dari mulutku. As a stranger, mungkin memang kesan ganteng yang seringkali disematkan orang ketika pertama kali bertemu dengan Mas Rizal.
"Banget ya .."
Aku langsung menoleh tidak percaya setelah dia mengatakan hal tersebut. Otakku langsung berlari ke mana-mana karena beberapa waktu terakhir ini aku menonton BL series ketika sedang libur syuting. Mendadak aku menjadi was-was setelah melihat ekspresi Aldi yang terlihat sangat bahagia setelah kami mulai membicarakan Mas Rizal.
"Di...," panggilku yang membuatnya melihat ke arahku —lagi.
"Lo... normal, kan?" tanyaku begitu hati-hati.
Greget nggak greget nggak?
Normalnya sih iya ya 🤭Anyway jangan lupa follow aku di @coochoci
Kalo komen tembus 10 aku bakalan kasih bocoran chapter di bagian setelah ini
Sehat-sehat semuanya ❤️
KAMU SEDANG MEMBACA
Backstreet
ChickLit"Kok belum punya pacar kak?" "Kak, kriteria pacarnya yang kaya gimana?" "Spill tipe idealnya dong kak ..." Aku sudah terlalu lelah untuk menjawab pertanyaan semacam ini. Pertanyaan yang harusnya tidak lagi ditanyakan, yang sayangnya malah terus ter...