Jesi 33 • U or Me

34.4K 4.7K 195
                                    

Selamat pagi teman
Selamat hari Jumat ya
Semoga hari ini berjalan dengan baik dan membahagiakan 😊

Nggak bosen-bosen aku ingetin buat follow author di wp dan juga di Instagram @coochoci

Jangan lupa juga komen dan kasih insight kalian buat part ini
Ditunggu banget loh feedback-nya

Selamat membaca dan semoga enggak kecewa

***

Salah paham adalah sumber masalah paling umum yang menghampiri setiap pasangan. Entah itu salah paham akan pandangan terhadap sesuatu atau bahkan salah paham terkait keberadaan orang baru yang dianggap salah satu pihak sebagai orang ketiga.

Selama dua tahun menjalin hubungan dengan Mas Rizal, rasanya hampir tidak pernah kami mengalami masalah umum yang satu ini. Baik itu perbedaan yang membawa pertengkaran, maupun isu orang ketiga selain gosip ku dengan beberapa lawan main film semata. Entah karena faktor apa, tapi asumsi ku adalah karena hubungan kami yang masih backstreet sehingga masalah yang kami alami berbeda dengan masalah  kebanyakan pasangan.

Dan ya, aku juga ada sangat berharap masalah seperti kedua hal tersebut tidak menghampiri kami di masa-masa kritis menjelang pernikahan yang tinggal menghitung minggu ini

"Makasih ya, Mas." Aku mengucapkan terima kasih pada Mas Rion yang mengantarkan ku pulang.

Bukan bermaksud bermain di belakang Mas Rizal, hanya saja tadi ada semacam kejadian yang akhirnya membuatku tidak bisa menolak bantuannya untuk diantar pulang. Apalagi setelah mengobrol banyak hal, aku juga kembali menemukan kenyamanan dengannya sehingga kini kami sudah kembali dekat dengan hubungan baru yang bernama bestie.

"No prob, Je!" Jawabnya sembari tersenyum manis ke arahku.

Jika saja aku belum punya Mas Rizal, aku tidak akan denial bahwa aku pun terpesona dengan laki-laki berumur tiga puluh tahun ini. Senyumnya yang sebelas dua belas dengan Mas Rizal benar-benar memiliki daya tarik yang sulit diabaikan begitu saja, dan bahkan semua dari dirinya berada di angka maksimal untuk dapat di definisikan sebagai menantu sempurna jika meminjam istilah yang biasa digunakan mama.

"Gue turun dulu, Mas. Sekali lagi makasih." Ujarku setelah melepaskan sabuk pengaman.

Meski kami sudah menjadi bestie, aku tidak menawarinya mampir bahkan untuk sekedar basa-basi saja. Aku tidak mau menambah masalah jika bapak yang cemburuan itu tau dan berujung menambah beban pikiranku yang sebenarnya dari kemaren saja masih begitu ruwet.

"Bye, Mas. Tiati!" Ucapku sembari menundukkan badan dan melongok ke arah kemudi.

Mas Rion hanya mengangguk, lalu melajukan mobilnya setelah menekan klakson tanda pamit padaku.

Sembari aku melepaskan masker yang tadi aku turunkan ke bawah dagu, aku menghela napas lega. Merasa tidak menyangka bahwa menyelesaikan permasalahan masa lalu ternyata tidak sesulit yang aku bayangkan. Mas Rion sangat kooperatif dan mau memahami kondisiku yang memang sedikit gila, meski katanya dia butuh waktu begitu lama untuk menerima fakta bahwa aku meninggalkannya begitu tiba-tiba.

"Darimana?" Baru saja aku berbalik, seseorang sudah membukakan pintu gerbang dan melontarkan satu pertanyaan dengan tampang judesnya.

Astaga mama!
Kenapa tiba-tiba udah di rumah aja sih...

***

"Jadi, siapa tadi?" Mas Rizal masih duduk di hadapanku dengan wajah es batunya.

Setelah menanyakan kepada Mbak di rumah, mama dan papa ternyata memang sedang pergi ke luar sehingga hanya ada orang ini di sini. "Mas Rion." Jawabku singkat.

Jika Mas Rizal marah perihal pertemuanku dengan Mas Rion yang bahkan sudah aku kabarkan padanya, aku juga bisa membalas dengan bersikap dingin juga padanya karena diam-diam menemui mantannya di belakangku.

Dikira aku tidak bisa balas dendam? Tentu saja itu adalah asumsi yang salah. Seorang Jesika adalah orang yang tidak mau di tindas, terlebih untuk masalah semacam ini.


"Arion?" Tanyanya begitu kaget.

"Hm!"

"Temen SMA aku?" Lagi-lagi aku mengangguk.

Pada masa sekolah dulu, kedua orang ini adalah laki-laki paling most wanted yang sering di bicarakan orang. Dengan jabatan ketua OSIS yang dimiliki Mas Rizal dan ketua tim basket sekolah yang dimiliki Mas Rion, keduanya seringkali di banding-bandingkan tentang siapa yang lebih unggul dari keduanya.

"Kamu kenal dia?" Alisku mungkin menyatu karena heran.

Bagaimana mungkin dia malah menanyakan pertanyaan ini saat ada begitu banyak pertanyaan lain yang harusnya lebih penting dia tanyakan.

"Kamu nggak tau?"

Sebenarnya dulu di sekolah dia bergaul tidak sih sampai tidak tahu gosip bahwa Mas Rion dan aku sempat dekat lebih dari satu tahun.

"Soal apa?"

Aku menggeleng. "He is my close friend."

"Pacar?"

"No!"

"HTS?" Gayanya menggunakan istilah yang bahkan baru diketahuinya beberapa waktu lalu.

"Bukan."

"Terus?"

"Ya kita emang temen deket. Kemana-mana bareng dan hubungan juga jelas."

"Pacaran?"

"Nggak."

"Jadi apa hubungan kalian?" Ujarnya geregetan.

"Ya gitu aja. Deket tapi nggak nyampe pacaran."

Sebenarnya hubunganku dengan Mas Rion tidak jauh berbeda dengan hubungan Mas Rizal dan Mbak Arin. Sayangnya aku tidak mau mengakui jika hubungan kami sama karena aku paling benci untuk di sama-samakan.

"Oke-oke." Mas Rizal akhirnya memilih mengalah seperti biasanya.

"Terus kok kamu bisa keluar bareng dia, bee." Lanjutnya memilih melontarkan pertanyaan lain dan tidak lagi mendebat akan nama hubunganku dan Mas Rion dulu.

"Ketemu di mall."

"Makannya punya hp di pake... Jangan pacaran mulu" Sindir ku karena memang pesanku tidak dibacanya.

Aku tidak tahu pasti dia baru kerja atau malah bertemu mantannya. Makannya aku menyindirnya barusan agar dia sadar bahwa ada yang perlu dijelaskannya juga setelah tidak membalas pesan WhatsApp ku dan bahkan me-reject juga panggilan masukku.

"Pacaran?" Beonya dengan ekspresi wajah yang seolah tidak tahu maksud yang aku utarakan. Entah sungguhan tidak paham atau hanya pura-pura saja aku tidak bisa menduganya karena dalam perspektif ku itu Mas Rizal adalah aktor yang paling baik dalam hal berekspresi.

Aku mengangguk. "Iya." Jawabku sembari mengambil hp yang tergeletak di atas meja dan membuka galeri.

"Maksud kamu?"

"Ini. Mungkin kamu lebih tau siapa yang harusnya menjelaskan dan siapa yang harusnya mendengarkan." Ucapku sembari menunjukkan satu foto terakhir yang dikirimkan oleh Mak Lampir kemaren.

BackstreetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang