Jesi 19 • One Step Closer

40.6K 5.3K 220
                                    

"I never feel ready to do something like now, Mbak!".

"Good. I really appreciate your effort."

"But are you really to do it now, Mas?" tanyaku untuk menyakinkan, apakah dia sungguh-sunggu dengan perkataannya atau hanya sekadar candaan untuk menjailiku?

Kulihat Mas Rizal mengangguk. "Aku punya cara, Mbak, to get out of here, I ." Dia menjeda kalimatnya dan memajukan wajahnya di depanku. "Of course, tanpa ada yang tau!" lanjutnya yang berhasil membuatku terdiam sebentar.

"Kamu serius?" Dia mengangguk yakin, lalu tidak lama kembali mendekatkan wajahnya - kali ini mendekati telinga kiriku dan membisikkan rencana yang dipikirkannya.

Aku mendengkus mendengar informasi darinya. "Kamu nggak korupsi, kan, Mas?" tanyaku menyelidik.

Mas Rizal yang sedang membenarkan kemejanya mendongak ke arahku dan memelotot, seolah tidak percaya jika pertanyaan itu akan keluar dari mulutku.

Tapi mau bagaimana lagi? Aku benar-benar penasaran dari mana dia bisa sepintar itu, bahkan hingga mendekati licik. Otaknya selalu bisa memikirkan cara keluar dari setiap masalah, jadi wajar kalau aku curiga kepintarannya itu disalahgunakan. 

Jadi menteri duitnya udah banyak, kan? Dia nggak perlu peke otaknya buat korupsi dan jadi orang kaya, kan?

"Kamu serius tanya itu, Mbak?"

Aku mengangguk yakin. "Gaji jadi menteri emang udah gede kan, Mas?"

Mas Rizal menggeleng dan tersenyum. "Kamu nggak pernah cari informasi soal aku ya, Mbak?" Aku menggeleng.

"Aku nggak dapet gaji dari jadi menteri."

Alisku mungkin sudah menyatu karena heran. "Kok?"

"Aku sumbangin semuanya ke yayasan kanker anak-anak, Mbak." Jawabnya sembari memasangkan jam tangan di pergelangan tangan kirinya.

Sementara aku? Aku hanya melihatnya dan melongo tidak percaya.

Fyi aku memang sengaja tidak bersiap karena hanya akan pulang. Sedangkan laki-laki di hadapanku benar-benar tampil rapih seperti akan sungguhan melamar anak gadis orang.

"Kok kamu dermawan banget?"

Dia menoleh ke arahku dan mengacak rambut panjang ku yang aku biarkan terurai. "Kamu lucu banget deh." Ucapnya yang membuat jantungku langsung berdebar dua kali lebih cepat.

"Kalo dermawan aku nggak bakal ceritain kebaikan aku ke kamu gini, Mbak. Apalagi katanya kan kalo ikhlas tangan kanan ngasih tangan kirinya nggak boleh sampe tau..." Lanjutnya masih dengan memandang ke arahku.

Aku memandangnya sambil terus berusaha menormalkan detak jantungku yang menjadi abnormal karena perbuatan singkatnya itu. "Tapi?" Tanyaku mencoba mencari tahu maksudnya.

"Tapi karena sekarang aku lagi pencitraan di depan kamu biar cepet di acc jadi calon suami, makannya aku kasih tau kalo semua gajiku jadi dari menteri aku sumbangin semua." Aku benar-benar di buat melongo oleh perkataannya.

"Terus kamu dapet duit darimana?"

Mas Rizal mengambil dompetnya yang tergelatak manis di atas meja, membuka dan mengambil sebuah kartu yang kemudian dia julurkan padaku.

"Kamu CEO, Mas?" Tanyaku tidak percaya karena yang tertulis dari kartu nama yang diberikannya adalah bahwa seorang Muhammad Leonardo Rizal itu seorang CEO di sebuah perusahaan yang aku tahu bukanlah perusahaan abal-abal.

Sebuah company yang memiliki banyak cabang di Indonesia, dan bahkan salah satu bisnisnya yang menyediakan jasa pengiriman pernah menjadikan aku dan Aldi sebagai brand ambasador- nya.

Mas Rizal mengedipkan satu matanya padaku. "Makin yakin kan buat jadiin aku imam setelah tahu kalo aku sultan?" Godanya sembari mencium keningku singkat dan berlalu pergi ke kamar tamu aka kamarnya di apartemen ini untuk mengambil kunci mobil.

JEJE LO ABIS KETIBAN DURIAN YAAAAAA

Gimana-gimana?
Sengaja aku bikin singkat biar makin gereget wkwk

Jangan lupa follow wp dan ig aku di @coochoci

Terima kasih bestie

BackstreetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang