Aaaaa mau bilang makasih buat kalian yang udah kasih feedback untuk part sebelumnya ❤️
Aku juga mau minta maaf karena nggak bisa balesin chat kalian satu-satu 🥺
Tapi aku baca kok tenang aja, jadi kalian jangan bosen-bosen komen ya bestie 👌
Semangat, selamat membaca, dan stay safe dimana pun kalian berada, ok?***
Menjadi dewasa adalah hal yang ternyata cukup sulit untuk dilakukan. Mencoba bersikap sesuai dengan seharusnya, namun dengan kondisi lingkungan yang sebenarnya sangat tidak mendukung untuk merealisasikannya.
In other side, bagiku sendiri menjadi dewasa adalah soal perspektif. Bukan perihal umur apalagi status, karena kondisi perkembangan emosi setiap orang berbeda. Dan tentunya, ini menjadi tidak relevan lagi untuk dijadikan sebagai parameter karena sifatnya yang masih terlalu abstrak.
"Aku pulang, bee." Mas Rizal berujar setelah aku berhasil meredakan emosi.
Meski tadinya tidak ingin mengantarnya keluar, aku merubah keputusan di saat-saat terakhir seperti sekarang.
Jika menilik dari perspektifnya, i means mencoba memposisikan diri sebagai Mas Rizal pasti saat ini dia juga sama kacaunya denganku. Merasa struggle dan kecewa pada dirinya sendiri, karena mungkin baru sadar bahwa semudah itu digoyahkan oleh kedatangan orang masa lalu.
Untungnya dari kejadian ini masih saja ada yang aku syukuri. Masa lalu kami datang sebelum pernikahan sehingga penyelesaiannya sedikit tidak lebih rumit dibandingkan jika sudah menjadi pasangan yang sah.
Aku mengikutinya berjalan ke pintu depan dengan diam. Masih menyayangkan kenapa dia tidak berbicara jujur jika ingin menemui Mbak Arin. Padahal jika dia mengatakannya, aku tidak akan melarang dan bahkan akan menemaninya jika dia memang membutuhkanku untuk dijadikan tameng bertemu masa lalu yang kisahnya belum usai.
Tapi apa boleh dikata, dengan dia yang tidak memilih jujur dan bahkan memeluk Mbak Arin di belakangku maka aku harus memberikannya sedikit pelajaran agar tau dimana letak kesalahannya yang sebenarnya.
I know it's painfull untuk ketemu lagi sama cinta pertama. Terlebih cinta pertama yang berakhir dengan tidak jelas karena masih ada batas abu-abu antara rasa yang masih ada atau tidak. Tapi jika sudah menemukan cinta yang baru, bukankah seharusnya cinta yang terakhir itu yang lebih di prioritaskan?
"Hati-hati, Mas." Hanya kata itu yang aku katakan saat Mas Rizal berbalik dan menoleh ke arahku.
Bahkan dengan tidak sadar aku mundur satu langkah saat dia ingin mencium kening ku untuk berpamitan. Benar-benar gerak refleks yang berhasil membuat tatapan matanya padaku begitu sendu.
Jujur aku juga merasa kasihan, tapi sepertinya itu adalah respon yang paling tepat aku berikan karena dia sendiri masih ragu dengan perasaannya yang sebenarnya untuk siapa.
"Beee..." Panggilnya akan syarat penyesalan.
Mati-matian aku mencoba sedikit menarik sudut bibirku ke samping. "Tolong jangan hubungi aku kalo kamu belum yakin sama diri kamu sendiri, Mas." Lagi-lagi aku berusaha agar air mataku yang sudah di ujung tidak jatuh membasahi pipi.
Aku tidak boleh terlihat lemah dan membuat Mas Rizal merasa bahwa keberadaannya begitu penting sehingga aku pasti akan memaafkan. Ya, meski nyatanya posisinya memang begitu penting aku tetap akan menyisakan logika ku untuk membuat keputusan dalam sebuah hubungan yang aku jalani ini.
"Aku masuk dulu, Mas." Tanpa menunggunya masuk mobil, aku langsung berbalik dan menutup pintu untuk masuk ke dalam kamar. Benar-benar masuk dan meninggalkannya sendiri di balik pintu.
"Lo pasti bisa ngelewatin masalah ini, Je!"
***
"Bye, Mah..." Aku mencium pipi sebelah kanan beliau sebelum pergi.
Aku tidak mengatakan apa pun perihal permasalahan ku dengan Mas Rizal kepada keluarga, dan memilih menggunakan alasan liburan terakhir sebagai jomblo agar diperbolehkan oleh nyonya rumah untuk pergi Yogyakarta. Sebuah tempat yang cukup jauh dari kampung halaman, yang entah kenapa tiba-tiba aku pikirkan dalam otakku sebagai tempat yang paling cocok untuk healing.
"Kok Pak Rizal belum dateng? Kamu udah ngabarin belum?" Mama kembali bertanya untuk ketiga kalinya dalam lima menit terakhir ini.
"Lagi sibuk, Mah. Jadi nggak bisa nganter." Terpaksa aku berbohong karena tidak mungkin juga jujur akan apa yang sebenarnya terjadi diantara kami.
Kulihat mama mengangguk. Mungkin memahami pekerjaan calon mantunya yang memang begitu sibuk hingga tidak bisa mengantarkan calon istrinya pergi ke bandara. Meski sebenarnya, aku memang tidak memberitahunya sama sekali atas rencana kepergian ku ini.
"Jadinya mau berapa hari, Mbak?" Papa yang sedari tadi hanya berdiri di sebelah mama menanyakan tentang seberapa lama aku ingin berlibur ke kota budaya sekaligus kota pendidikan itu.
"Seminggu, Pah."
Papa terlihat mengangguk. "Kalo gitu hati-hati ya. Jangan lupa kabarin mama dan papa kalo udah sampe." Petuah beliau kepada anak gadis semata wayangnya.
Aku mengangguk. Lalu mengangkat ibu jari ku dan menggoyang-goyangkannya ke kanan kiri sebagai respon mengiyakan atas wejangannya barusan. "Siap bosku..." Jawabku dengan nada bercanda.
"Aw!" Aku mengaduh karena mama menepuk lengan atasku.
"Kamu ya, Mbak. Udah mau nikah aja masih kekanakan gini!"
Aku hanya meringis. Meski diam-diam di dalam sana merasa sedikit miris karena tidak yakin apakah pernikahanku akan benar-benar terjadi atau tidak.
"Kan baru mau, Mah.. jadi nggak papa dong kalo masih kata anak kecil?" Aku meledek mama yang kini sudah mulai melotot dengan tingkahku yang kadangkala memang seperti remaja labil.
Mama tertawa kemudian aku langsung memelukku dari samping. Diam-diam mengelap air mata yang jatuh ke pipi karena merasa bersalah telah membohonginya. "Selagi mbak di sana, mama nggak boleh kangen-kangen ya? Nanti liburan aku jadi nggak enak karena kepikiran mama mulu." Ucapku lagi-lagi dengan nada bercanda.
Mama menepuk-nepuk pelan punggungku. Dan usapan lembutnya pada bahuku ternyata juga bebarengan dengan pengumuman dari pihak bandara kepada seluruh penumpang tujuan Yogyakarta untuk bersiap-siap.
Aku langsung melepaskan pelukan kami, lalu beranjak untuk memeluk papa yang sedari tadi menyaksikan ke-alay-an kami berdua.
"Hati-hati, Mbak. Sebentar lagi semuanya pasti baik-baik aja!" Pesan yang sangat singkat, namun sangat bermakna banyak bagi aku yang menerimanya.
Bahkan mataku yang sejak tadi memanas kini tidak bisa lagi menghalau air matanya untuk turun. "Amin, Pah"
Aku melepaskan pelukan dan membenarkan posisi ransel di bahu. Sengaja tidak membawa begitu banyak barang karena liburan kali ini sedikit banyak berbeda dari liburan biasanya. Lalu setelah dirasa benar, aku melambaikan tangan untuk berpamitan.
"Healing sebentar ya, Je!"
Gimana?
Buat part selanjutnya sampai akhir ada di KK ya gengTerima kasih ❤️
KAMU SEDANG MEMBACA
Backstreet
ChickLit"Kok belum punya pacar kak?" "Kak, kriteria pacarnya yang kaya gimana?" "Spill tipe idealnya dong kak ..." Aku sudah terlalu lelah untuk menjawab pertanyaan semacam ini. Pertanyaan yang harusnya tidak lagi ditanyakan, yang sayangnya malah terus ter...