"Jadi, apa pembelaan kamu soal ini, Mbak?"
Aku menguap sembari menahan kantuk yang benar-benar berat. "Kamu beneran minta penjelasan sekarang banget, Mas?" Aku berujar karena tidak habis pikir dengan laki-laki yang kini duduk di sebelahku.
Tadi saat aku sudah bersiap tidur, Mas Rizal tiba-tiba menghubungi dan mengatakan jika dia sudah berada di depan pintu apartemenku.
Meski dia sudah hafal pin untuk masuk, dia tetap meminta izin terlebih dahulu apakah mau menerimanya bertamu atau tidak. Dan tentunya walau agak merasa sedikit kesal aku akhirnya membiarkannya masuk karena dia masih memiliki sopan santun dengan tidak asal nyelonong masuk sebelum aku persilakan.
"Bercanda aja itu ...," jawabku sembari menjatuhkan tubuh di sofa.
Kedatangan Mas Rizal ke sini ternyata untuk menuntut penjelasan terkait pesan singkatku yang terakhir—yang sebenarnya hanya aku maksudkan untuk bercanda.
Sebuah balasan iseng yang mengatakan jika Aldi adalah pacar sewaanku, ternyata dianggap serius oleh Pacar Sungguhan, hingga ia menyusulku ke apartemen di jam tiga pagi ini.
"Ayolah, Mas... aku bener-bener cuma bercanda." Sekali lagi aku mengatakan pada Mas Rizal yang masih menatapku dengan mata elangnya.
Kadang-kadang aku masih begitu heran kenapa orang yang terlihat sangat berwibawa di luar sana, malah sering kali bersikap childish di hadapanku ketika sedang cemburu. Bahkan tidak jarang dia sering mogok bicara jika aku baru saja digosipkan kencan dengan laki-laki lain yang bahkan di real life-nya pun hanya sebatas kenal dengan mereka.
Ayolah ... jika seperti ini bukankah lebih baik go public saja?
"Kamu boleh tanya Mas Bisma deh siapa itu Aldi. Lagian ya kamu ini masa nggak tau dia sih?" Kini aku sudah menegakkan posisi dudukku kembali karena bapak yang satu ini masih belum puas dengan segala kalimat yang aku katakan padanya.
Mas Rizal mengangguk. Bukannya membalas perkataanku, dia malah justru meminta izin untuk merebahkan tubuhnya dengan pahaku sebagai bantalannya.
"Bentar, Mas, aku geseran dulu. Biar kamu bisa selonjoran." Aku mengatakan padanya untuk menunggu sebentar agar aku bisa bergeser ke ujung sofa supaya ada ruang yang cukup untuk tubuhnya.
Jika situasinya semacam ini, Mas Rizal sepertinya sedang sangat lelah sehingga pikirannya sedikit kalut. Setelah menjalin hubungan hampir dua tahun, secara tidak sadar aku jadi tahu kebiasaan-kebiasaannya saat pekerjaannya begitu berat. Biasanya jika dia sedang ada masalah yang cukup serius, mendadak Mas Rizal memang menjadi lebih sensitif dan ingin dimanja.
"Kenapa, hm? Capek, ya?" Dengan cepat atmosfer di antara kami berdua sudah berubah total.
Masih dengan mengusap-usap kepalanya, aku bertanya tentang apa yang sebenarnya sedang terjadi.
"Aku besok ke Nusa Tenggara, Mbak." Satu kalimat yang keluar dari mulutnya berhasil membuatku menghentikan gerakan tangan yang mengusap kepalanya.
"Kamu pasti bisa nyelesain masalahnya kok, Mas."
Alih-alih menanyakan untuk urusan apa dia pergi atau masalah apa yang sebenarnya terjadi, aku lebih memilih untuk menyemangati dan meyakinkannya bahwa dia pasti bisa menyelesaikan masalah yang sedang terjadi.
Meski aku tidak pernah bersentuhan secara langsung dengan dunia politik, aku tidak sepolos itu untuk tahu kebusukan-kebusukan apa yang ada di dalamnya. Dari cerita-cerita Mas Rizal yang dia ceritakan lewat telepon; saat kami berkencan tengah malam, aku bisa menyimpulkan bahwa banyak permasalahan yang di hadapinya datang dari sulitnya birokrasi dan kecurangan-kecurangan oknum di dalamnya.
"Aku nginep di sini, ya?"
Bukannya membahas permasalahannya, dia malah meminta izin untuk menginap di sini.
"Penerbangannya jam berapa?"
"Tujuh."
Aku mengangguk mengerti. "Udah kasih tau Mas Dimas dan yang lainnya?"
Kini gantian Mas Rizal yang mengangguk.
"Ya udah," balasku akhirnya.
"Ya udah apa?" tanyanya sembari menatap ke arahku.
"Ya udah kalo mau nginep sini."
Aku tahu pasti jika dia sedang meledekku dengan berpura-pura tidak paham. Aku yakin, permintaan izinnya hanya sebuah formalitas, karena tanpa aku izinkan, di tetap tidak akan pulang.
"Temenin..." ucapnya manja dengan memiringkan kepalanya dan mendusel padaku
Astaga, ini Mas Rizal yang sama dengan yang dikenal banyak orang bukan, sih?
***
"Rencananya Bapak berapa lama di sana, Mas?" Aku bertanya kepada Mas Dimas yang sudah tiba di apartemenku sejak pukul lima tadi.
Dia bahkan sudah bersiap bersama tiga teman lainnya untuk menjemput Mas Rizal dan mengawalnya ke bandara. Hanya saja, karena Mas Rizal baru tertidur sekitar pukul setengah empat, aku akhirnya meminta kepada Mas Dimas untuk membiarkannya sedikit tidur lebih lama karena merasa kasihan.
"Kalau sesuai yang Bapak katakan kemaren, satu minggu, Bu." Aku mengangguk mengerti dengan informasi yang diberikan Mas Dimas.
Tapi sebentar ... bukankah ada hal yang aneh barusan?
"Kamu panggil saya Ibu?"
Mas Dimas mengangguk.
"Sejak kapan?" seingatku terakhir kali kami berkomunikasi Mas Dimas masih memanggil aku dengan sebutan 'mbak'
"Kemaren Bapak yang minta secara khusus, Bu, untuk mengganti panggilan," jelasnya yang kini membuatku mengerti.
Ada-ada saja orang yang satu itu. Perkara panggilan saja harus menyesuaikan dengan dia yang dipanggil 'bapak' oleh para ajudannya. Anyway, jika kepergiannya kali ini membutuhkan waktu selama itu, it means permasalahannya tidak sesederhana yang aku bayangkan, biasanya Mas Rizal hanya membutuhkan waktu dua sampai tiga hari, sedangkan sekarang malah hampir tiga kali lipat lebih lama dari biasanya.
"Vitamin nggak ketinggalan, kan?" Aku memastikan kepada Mas Dimas tentang vitamin yang dikonsumsi Mas Rizal.
"Aman, Bu."
"Nanti tolong kalo di sana Bapak terlalu memforsir diri saat bekerja, kamu hubungi saya ya, Mas." Aku memberitahunya agar menghubungiku jika Mas Rizal kelewatan saat bekerja.
Mengetahui sifatnya yang workaholic itu maka tidak sembarang orang dapat mengingatkannya untuk berhenti bekerja sebentar dan istirahat. Alih-alih berterima kasih pada yang mengingkatkan, Mas Rizal mungkin hanya abai atau justru mengomel.
"Jangan bilang apa-apa sama Bapak kalo saya minta tolong ke kamu buat perhatiin kegiatan-kegiatannya di sana," pesanku yang langsung diiakan oleh Mas Dimas.
Aku bernapas lega. Lalu melirik ke arah pergelanganku dan berniat masuk untuk membangunkan Mas Rizal di dalam.
"Saya bangunin Bapak dulu ya ke dalam. Kamu sama yang lainnya bisa istirahat dulu sambil nungguin Bapak siap-siap." Aku memberitahu Mas Dimas agar bersikap santai di tempatku selagi menunggu Mas Rizal bangun dan bersiap-siap.

KAMU SEDANG MEMBACA
Backstreet
ChickLit"Kok belum punya pacar kak?" "Kak, kriteria pacarnya yang kaya gimana?" "Spill tipe idealnya dong kak ..." Aku sudah terlalu lelah untuk menjawab pertanyaan semacam ini. Pertanyaan yang harusnya tidak lagi ditanyakan, yang sayangnya malah terus ter...