Rasa-rasanya otakku ingin meledak memikirkan masalah ini. Masalah yang berkaitan dengan Mas Rizal yang belum juga bisa dihubungi dan juga mak lampir satu yang selalu saja membuatku emosi. Benar-benar masalah beruntun yang begitu menguras tenaga. Dan tidak beruntungnya di saat pikiran yang masih ruwet ini, aku malah sudah terlanjur janji untuk bertemu pihak WO guna membicarakan masalah terkait pernikahanku dengan Mas Rizal yang kurang dari dua bulan lagi.
Aku memandang wajahku di cermin atas wastafel. Masih terlihat tidak begitu bersemangat meski sebenarnya baru saja mencuci muka.
Mas Dimas is voice calling
Suara dering ponsel yang aku letakkan di sampingku berhasil membuat atensi ku pada cermin berpindah. Mengambil benda pipih persegi itu, lalu sedikit mengerutkan dahi karena tidak biasa-biasanya Mas Dimas menghubungiku seperti ini.
"Hallo, Bu. Assalamu'alaikum..." Sapanya di seberang telepon sana.
"Wa'alaikumsalam, Mas." Responku sembari membenarkan posisi sabun cuci muka yang baru saja aku gunakan, lalu berjalan ke arah kamar dan duduk di kursi meja rias.
"Mohon maaf, Bu. Ini saya dapet titipan dari bapak katanya nggak bisa nganter ibu ke tempat WO. Jadi saya yang harus nganter." Ujarnya memberitahu bahwa dia di utus oleh Mas Rizal untuk mengantarkan ku ke restoran tempat janjian dengan Mbak Dina aka perwakilan WO karena si pemilik janji tidak bisa menepatinya.
Aku mengetuk-ngetukkan kaki di atas lantai. "Emang bapak ada urusan apa, Mas?" Entah kenapa aku melontarkan pertanyaan semacam itu pada Mas Dimas.
Padahal biasanya jika ada kejadian semacam ini aku hanya akan mengiyakan tanpa penasaran atau bertanya ingin tahu seperti ini. Namun karena beberapa foto yang dikirimkan Tasya itu, rasanya aku langsung ingin tahu apa kegiatan bapak mentri yang satu itu hingga dia mengingkari janji yang di buatnya sendiri.
Mas Dimas di seberang sana masih saja diam. Tidak terdengar mengatakan sesuatu, bahkan hingga lima detik telah berlalu. "Bapak ada pertemuan penting yang nggak bisa di wakilkan, Bu." Akhirnya satu kalimat penjelas meluncur dari mulutnya.
"Pertemuan dari kantor?" Aku kembali bertanya karena kalimat 'pertemuan penting yang tidak bisa diwakilkan' justru malah membuatku semakin penasaran.
"Iya, Bu." Hanya kata itu yang dikatakan oleh Mas Dimas untuk menjawab pertanyaanku.
Aku menghela napas. Meski sedikit tidak percaya, aku juga tidak mungkin mencerca Mas Dimas dan memaksanya untuk berkata jujur. Aku tidak akan menyeret orang lain dalam permasalahan ku agar orang yang tidak terlibat tidak akan mendapat imbas.
"Saya sendiri aja, Mas. Kamu ikut bapak aja." Aku memutuskan untuk pergi sendiri dan menolak tawaran Mas Dimas untuk menemani.
Sepertinya aku membutuhkan me time untuk mengembalikan pikiran dan juga menenangkan diri.
"Tapi, Bu...." Aku tahu Pasti Mas Dimas mungkin tidak ingin aku pergi sendiri karena dia nanti bisa dimarahi oleh Mas Rizal.
Tapi jika aku tidak menolak tawarannya, aku mungkin tidak bisa menikmati acara keluar ini karena setiap melihat Mas Dimas aku akan langsung teringat juga dengan Mas Rizal.
"Nggak papa, Mas. Nanti saya pake supir kok."
"Nanti saya juga yang bakal ngehubungin bapak buat ngejelasin." Lanjutku untuk meyakinkan agar Mas Dimas tidak perlu khawatir akan dimarahi.
"Saya aja yang nganter, Bu." Aku menggeleng, meski sesungguhnya orang di seberang sana tidak bisa melihatnya.
"Saya sama supir mama aja, Mas. Kamu temenin bapak aja!" Putus ku final hingga akhirnya dengan setengah hati Mas Dimas mau mengiyakannya.
To: Mas Pacar
Mas, aku ketemu WO dianter supir mama
Jangan marahin Mas Dimas karena aku yang minta sendiri
Tulis ku pada roomchat paling atas yang sudah aku pin bersama dengan grup chat keluarga.Centang dua, namun tidak juga berubah warna hingga aku selesai bersiap pergi.
***
Masih dengan menenteng cup frappucino, aku berjalan mengitari mall untuk menghibur diri. Dengan penampilan super biasa dan masker yang melekat manis menutupi wajah, semoga tidak ada orang yang mengenaliku sebagai aktris yang sedang hiatus untuk waktu yang belum ditentukan.
Memang selepas bertemu Mbak Dina tadi, aku tidak langsung pulang dan memilih berkeliling untuk mencuci mata dan menyegarkan pikiran. Sekedar melihat-lihat orang berlalu lalang atau membeli beberapa barang lucu yang nantinya akan aku sumbangkan karena sebenarnya tidak aku butuhkan.
Langkahku terhenti tepat di depan pintu bioskop. Aku yang sedari awal berniat me time dengan menonton film, kini langsung merasa menyesal karena justru bertemu dengan orang yang paling tidak aku harapkan untuk kembali bertemu. Seorang yang menjadi salah satu dari beberapa daftar nama yang tidak ingin aku temui dalam waktu dekat ini.
"Please. Jangan notice aku, Mas!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Backstreet
ChickLit"Kok belum punya pacar kak?" "Kak, kriteria pacarnya yang kaya gimana?" "Spill tipe idealnya dong kak ..." Aku sudah terlalu lelah untuk menjawab pertanyaan semacam ini. Pertanyaan yang harusnya tidak lagi ditanyakan, yang sayangnya malah terus ter...