Special Part

10.4K 300 18
                                    

"Mas, lagi sibuk gak?" tanyaku ketika melihat Mas Rizal hanya duduk-duduk sembari menonton televisi.

Si yang dipanggil menoleh, lalu tersenyum. "Nggak, Bee. Kenapa?"

"Beli bakso yuk!" Entah kenapa aku tiba-tiba pengen makan daging bulat tersebut. Sudah lama sejak terakhir kali aku menikmatinya, jadi ada sedikit rasa kangen dengan masakan tersebut.

"Boleh." Jawabnya mengiyakan. Membuat senyumku langsung merekah karena dia benar-benar seperti Mas Rizal. Laki-laki yang selalu menuruti perkataanku tanpa pertanyaan. "Mas ambil kunci mobil dulu ya."

Aku menggeleng. "Naik motor aja yuk! sekalian jalan-jalan malem."

Sejak kemarin aku ingin berkeliling menggunakan sepeda motor. Namun karena tidak terlalu mahir menggunakannya, aku tidak memiliki cukup keberanian untuk pergi sendiri. Makanya ketika Mas Rizal setuju untuk membeli bakso, aku sudah kepikiran untuk pergi menggunakan motor matic yang sudah terlalu lama nganggur di garasi.

"Tapi dingin loh, Bee. Yakin gapapa?"

Aku mengangguk. "Kan bisa pake jaket, Mas."

"Ya udah, sana ambil jaket dulu."

Lagi-lagi aku mengangguk. Berbalik, lalu berjalan dengan semangat untuk mengambil jaket. Let's go!

"Sebelum makan bakso, muter-muter dulu boleh?" setelah menerima uluran helm darinya, aku berujar. Memintanya untuk berkeliling dan jalan-jalan malam.

Mas Rizal tersenyum, lalu mengangguk. "Sumpek ya di rumah terus?"

Sejak berhenti menjadi artis, sebagian waktuku memang aku habiskan di rumah. Jadi aku tidak mengelak, sebab apa yang dia katakan memang benar. "Iya, makannya pengen jalan-jalan."

"Ya udah, ayo kita jalan-jalan." Jawabnya sembari menstarterkan motor nya.

Aku melingkarkan kedua tanganku di pinggangnya. Merapatkan tubuh karena udara semakin dingin, padahal aku sudah menggunakan jaket. "Beneran dingin ternyata, Mas."

Baru satu kalimat yang aku katakan, Mas Rizal langsung memelankan motor. "Sekarang gimana?"

"Better," jawabku berbisik di dekat telinganya. Takut jika jalanan yang ramai membuatnya tidak terlalu jelas mendengar apa yang aku katakan.

"Mau beli jajan dulu gak?" tanyanya.

"Mau, tapi bingung mau beli apa." Seperti perempuan pada umumnya, aku juga sering bingung jika diberikan pertanyaan semacam itu. Aku tahu betul bahwa aku ingin jajan, tetapi aku tidak tahu jajan apa yang ingin aku beli.

"Cilor?" tawarnya. Membuatku sedikit kaget karena tidak menyangka laki-laki seperti Mas Rizal mengetahui jajanan yang terbuat dari campuran Aci dan telur tersebut.

"Nggak mau,"

"Cireng?"

"Nggak mau juga."

"Siomay?" ternyata referensi jajanannya cukup banyak. Tidak ku sangka, mantan Mentri sepertinya mengetahui banyak jenis jajanan kaki lima.

"Gak kepengen siomay,"

Mas Rizal menghela napas. "Terus mau apa? katanya tadi mau jajan."

Saat ini, kami sudah cukup jauh dari komplek perumahan. Bahkan sudah tiga lampu merah kami lewati, tetapi aku tak kunjung juga punya keputusan atas jajan apa yang ingin dibeli.

"Gimana kalau martabak?" takut membuatnya kesal, aku akhirnya menyebutkan salah satu jajanan. Bukan karena ingin, tetapi karena otakku hanya bisa memikirkan satu jenis makanan itu.

"Boleh,"

"Mas tau dimana penjual martabak yang enak." Lanjutnya.

Aku hanya mengiyakan, lalu mengeratkan pelukan. Sebenarnya yang Jeje pengen cuma jalan-jalan malem naik motor bareng kamu, Mas.


***


Tiba di tempat penjual martabak, Mas Rizal lekas memarkirkan motornya. Menerima helm yang aku berikan, dan menaruhnya di atas spion. "Ayo!" Ajaknya sembari menggandeng tanganku. Membuatku diam-diam tersenyum karena dia sangat perhatian.

"Mau yang manis atau yang telur?" tanyanya di perjalanan. Kebetulan tempat kami memarkir motor dengan penjual cukup jauh, karena parkiran di dekat si bapak sudah penuh.

"Kalau dua-duanya boleh gak?"

Mas Rizal menoleh, lalu mengangguk. "Boleh,"

"Mau beli semua rasa juga boleh, asal dimakan."

Aku tau Mas Rizal adalah pasangan yang sangat royal. Dia tidak masalah aku meminta jajan banyak. Namun aku juga tau bahwa dia bukan tipe orang yang suka membuang-buang makanan. Makanya aku suka bagaimana caranya menasehati ku. Alih-alih langsung melarang membeli jajan berlebihan, dia malah menyelipkan nasihat diantara jawaban-jawabannya atas pertanyaanku.

"Nggak lah, mubazir nanti." Aku melepaskan tautan tangan kami. Selain karena sudah sampai, aku juga ingin mencari kursi untuk duduk. "Mas yang pesen ya? Jeje mau martabak rasa coklat." Mas Rizal mengangguk. Lalu mengacak-acak pelan ujung depan rambutku. Sederhana, tapi bikin melting.

Aku mengambil sebuah masker dari balik saku jaket yang aku kenakan. Menggunakannya untuk mencegah orang mengenalku — karena meski sudah lama tak tampil di layar kaca, aku yakin bahwa masih banyak orang yang cukup kenal denganku.

Untuk membunuh rasa bosan, aku memilih bermain ponsel. Saking fokusnya, aku sampai tidak sadar bahwa seseorang sudah menduduki kursi yang ada di sebelahku. "Mau ditunggu, atau mau ditinggal jalan-jalan?"

Aku menoleh ke arah kiri. Menemukan Mas Rizal yang ternyata juga sudah memakai masker, dengan alasan yang sepertinya sama denganku. Bukan bermaksud sombong, tetapi keberadaan kami memang cukup mampu untuk menarik perhatian.

"Jalan-jalan di sekitar sini aja. Motornya ditinggal." Belum juga aku menjawab, dia sudah kembali berbicara.

"Boleh, ayo!" Jawabku semangat. Saatnya jalan-jalan sambil gandengan tangan.

BackstreetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang