Jesi 21 • Childish

42.3K 5K 82
                                    

Annyeong yorobun!

Jadi hari ini adalah hari pertama kuliah luring dan punggung ternyata pegel-pegel banget karena harus duduk dan nggak bisa sambil tiduran lagi wkwk

Tapi karena aku tau banyak yang nungguin Mas Rizal (nggak papa ya author nya ke-pede-an gini), makannya aku update satu chapter khusus buat kalian

Selamat membaca dan jangan lupa tinggalin tapak digitalnya pake vote dan komen ya

Stay safe and stay healthy bestie ❤️

***

"Ngapain?" Aku meletakkan ponselku pada holder dan kembali fokus mengeringkan rambut dengan hair dryer.

Gerakan tanganku terhenti saat Mas Rizal tiba-tiba mengatakan satu hal yang membuatku langsung meraih ponselku—kembali—dan mengetikkan beberapa kata di kolom pencarian google.

Gila!
Ini benar-benar gila.

Sepertinya istilah internet of things harus segera diubah menjadi internet of everything karena dengan cepat segala hal bisa langsung masuk dalam internet. Cepatnya penyebaran informasi semakin masif dan juga sudah tidak terbatas lagi. Bahkan saking cepatnya informasi tersebar, kabar kedatangan Mas Rizal dan keluarganya malam tadi sudah beredar luas dan menjadi headline di mana-mana.

"Kok udah bocor, Mas?" tanyaku pada Mas Rizal yang sepertinya sedang berada di ruangannya.

Memang tiga hari setelah kedatangan Mas Rizal yang super dadakan itu, dia kembali datang bersama keluarganya untuk membicarakan hal terkait pertunangan dan pernikahan kami. Dia benar-benar tidak mau membuang waktu sama sekali dan bergerak sangat cepat hingga membuatku harus menggeleng ketika mengingatnya.

"Fans kamu, Mbak, itu yang jadi informan pertamanya," jawabnya sembari menggerak-gerakkan kursi ke kanan dan kiri.

Aku mengangguk mengerti atas informasi yang diberikannya barusan. Informasi dari Mas Rizal berhasil mematahkan pemikiranku atas kejadian ini. Awalnya aku dan Mas Rizal mengira bahwa pihak media tidak akan ada yang tahu karena baik pihakku atau pihaknya tidak ada yang mengabari orang media sama sekali. Bahkan Mas Rizal juga sudah mewanti-wanti Mas Dimas dan timnya agar tidak terjadi kebocoran soal perkembangan hubungan kami yang sudah selangkah lebih serius.

Namun sayang seribu sayang, kami justru melupakan hal yang sangat kecil. Kami benar-benar tidak mengingat pepatah bahwa dinding punya banyak mata dan telinga sehingga kejadian ini mudah tersebar dan bukan lagi jadi rahasia umum bagi publik.

"Kamu nggak apa-apa, Mas?" tanyaku karena khawatir pemberitaan yang kemarin-kemarin mempengaruhi pekerjaannya.

Sebagai seorang politikus, aku tahu pasti bahwa ada banyak sekali cela yang bisa saja menjatuhkannya. Bahkan sedikit informasi yang kurang baik saja bisa berdampak sangat besar bagi citra dan posisinya.

"It's okay, Mbak," jawabnya yang membuatku lega. "Malah jadi populer, loh, aku ini ... jadi kamu harus hati-hati," lanjutnya yang berhasil membuatku mengerutkan dahi.

"Populer?" tanyaku yang diikuti anggukan oleh laki-laki di seberang telepon sana.

"Iya, Mbak," jawabnya begitu semangat.

"Kata Rani—sekretaris Mas Rizal—di kantor, anak-anak jadi pada suka ngomongin calon suami kamu ini, Mbak. Katanya husband material banget ...," candanya sembari mendekatkan wajah pada layar dan menaik turunkan alisnya. Benar-benar seperti anak kecil yang sedang menyombongkan barang baru kepada teman-temannya.

Aku tergelak tidak percaya dengan penuturannya. Meski aku tahu dia termasuk ke dalam laki-laki kualitas premium yang sulit ditemukan, tetap saja jika mendengar dia memuji-muji diri sendiri seperti ini, aku jadi geli dibuatnya.

"Kamu kenapa bisa pede gitu, sih, Mas?" tanyaku setelah mendengar dia membanggakan diri sendiri, "Bener-bener kayak Aldi."

"Aldi? Yang kemaren mampir ke apartemen kamu pas aku ada di sana?"

Aku mengangguk. "Iya. Dia pedenya sebelas dua belas sama kamu ..."

"Bagus dong ...," responnya singkat.

"Dari pada jadi orang yang suka insecure mending jadi orang percaya diri, kan, Mbak?"

"Kalo kamu ... lebih ke sombong dan suka pamer sih, Mas," jawabku sembari memakai sunscreen karena setelah ini aku akan keluar, ada agenda pemotretan untuk sebuah produk kecantikan.

Kulirik Mas Rizal di seberang yang sedang tertawa. "Ini bukan sombong, Mbak. Ini namanya tidak menyia-nyiakan pemberian Tuhan."

Aku mendengkus.

Terdengar suaranya kembali di seberang sana. "Makannya aku ngasih tau kamu kelebihan-kelebihan aku sebagai tanda syukur ...," lanjutnya masih dengan senyum manisnya.

ASTAGA MAS RIZAL ...

INI KAMU YANG PINTER NGELES ATAU AKU YANG UDAH KEHABISAN ARGUMEN?

BackstreetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang