Jesi 32 • Sorry, Mas 😔

36.5K 4.8K 305
                                    

Selamat pagi bestieeeee ...
Update part baru seperti janji kemaren

Mau minta maaf buat orang-orang yang komentarnya aku bales kalo up menjelang ganti hari ya 🙏
Si authornya abis ngerjain tugas malah ketiduran wkwk
Jadi baru bisa up sekarang

Jangan lupa follow wp author dan follow Instagram author @coochoci

Selamat membaca dan stay safe semuanyaaaa

***

Citra tubuh adalah persepsi seseorang terhadap tubuhnya sendiri, baik secara internal maupun eksternal. Persepsi ini mencakup perasaan dan sikap yang ditunjukkan sebagai hasil dari pengaruh  pandangan pribadi dan pandangan orang lain tentang karakteristik dan kemampuan fisik sendiri.

Ironisnya, saat masih muda dulu aku sepertinya memiliki citra tubuh yang terlalu baik sehingga konsep diri yang aku tunjukkan benar-benar self center dan  terkesan begitu egois. Hal yang paling aku sesali sekarang karena dampaknya membuatku bersikap sedikit gila di saat masa putih abu-abu. Bersikap semaunya tanpa memikirkan dampaknya sama sekali, dan begitu banyak tingkah hingga tidak punya wajah ketika kembali berhadapan dengan orang-orang dari masa lalu.

"Jeje, kan?" Tanyanya padaku yang padahal sudah menutupi sebagian wajah dengan masker.

Namanya Rion. Hanya Arion dan tanpa ada kelanjutannya lagi. Seorang kakak kelas yang sangat digandrungi oleh para kaum hawa di sekolah, yang gilanya malah aku ghosting tanpa alasan yang jelas.

"Jeje anak SMA 25, kan?" Tanyanya sekali lagi karena aku tak kunjung juga menjawab.

Aku benar-benar tidak menyangka akan bertemu dengannya setelah bertahun-tahun tidak pernah mendengar kabarnya sama sekali. Benar-benar bertemu dalam jarak yang begitu dekat, yang sialnya semakin membuatku merasa bersalah karena telah mempermainkannya di masa lalu.

Aku mengengok ke arah kanan dan kiri untuk memastikan bahwa tidak ada orang yang sedang memperhatikan interaksi kami. Meski sedang hiatus tetap saja aku harus selalu waspada agar wajahku tidak kembali muncul di media. "Iya, Mas." Akhirnya aku mengiyakan pertanyaannya barusan.

Layaknya pepatah nasi sudah menjadi bubur, tidak ada lagi yang bisa aku lakukan selain mengiyakan bahwa aku memang seorang Jeje. Adik kelasnya yang dulu meninggalkannya tiba-tiba saat sehari sebelumnya dia bahkan baru menyatakan cintanya padaku.

"Di dalem aja, Mas." Aku memberitahunya agar mengatakan apa yang ingin dia katakan di dalam bioskop saja. Dalam perspektifku dalam bioskop sepertinya jauh lebih aman dibandingkan di luar seperti ini.

Mas Rion sepertinya memahami kondisiku. Tanpa ada pertanyaan sama sekali dia langsung berbalik dan berjalan menuju penjual tiket untuk membeli dua tiket dengan posisi kursi yang bersebelahan.

Sembari menunggunya yang sedang menunggu dibelakang dua orang dihadapannya, aku mengeluarkan ponsel untuk memberitahu seseorang bahwa aku bertemu seorang teman lama saat berniat menonton setelah bertemu dengan pihak WO.

To: Mas Calon Suami
Mas, aku ketemu temen SMA di mall
Cepetan bales chat aku sebelum Jeje yang kiyowo ini kepincut sama Mas Ganteng lain yang masih available 


Tulisku di bawah pesan singkat yang tadi, yang hingga kini belum juga berubah menjadi centang biru.

***

Aku tidak pernah membayangkan akan berada di situasi super duper canggung seperti ini. Saling diam tanpa ada yang mengatakan sesuatu sama sekali, even basa-basi bertanya kabar karena bertahun-tahun tidak pernah bertemu kembali.

"Je.."

"Mas.." Aku dan Mas Rion malah berucap bersamaan saat kami akhirnya memilih untuk bersuara.

"Lo aja duluan, Je." Ujarnya yang ku balas langsung dengan anggukan mengiyakan.

Oh ayolah, ini bukan kehidupan drama yang masalah sepele seperti ini juga akan membuat tokoh utamanya berdebat karena ingin saling mendahulukan pihak lain. Mas Rion mempersilahkan aku dulu yang berbicara, maka aku juga menerima dan mengatakan maksud ku terlebih dulu padanya.

"Sori!" Tanpa ada pembukaan sama sekali aku langsung to the point mengatakan padanya bahwa aku meminta maaf.

Jujurly ini adalah salah satu hal yang sangat ingin aku lakukan dari dulu, namun tak kunjung juga mendapatkan kesempatan untuk merealisasikannya. Jadi saat ada kejadian tidak terduga seperti ini, aku harus cepat-cepat meminta maaf agar penyesalan di masa mudaku dapat sedikit teratasi.

Kulihat Mas Rion mengerutkan dahi. "For?"

"About the past." Jawabku singkat.

Mas Rion yang duduk di sebelahku hanya tersenyum. "It's okay, Je."

"Gue jahat banget ya, Mas?"

Mas Rion mengangguk, sementara aku melongo. "Iya!"

"Terus kenapa lo langsung maafin gue?"

"Jadi lo nggak mau di maafin?" Alih-alih menjawab pertanyaan dia malah balik melontarkan pertanyaan.

Aku menggeleng. "Ya bukan gitu Mas, maksudnya!"

"Ya udah."

"Udah apa?"

"Ya udah gue maafin, Je." Responnya sembari menoleh ke arahku.

Benar-benar sikap yang tidak berubah dari dulu karena saat kami melakukan pendekatan pun dia akan seperti ini ketika aku meminta maaf setelah membuat kesalahan.

"Gimana Rizal?" Tiba-tiba Mas Rion malah menanyakan Mas Rizal tanpa ada obrolan awal tentangnya sama sekali.

Aku tau mereka dulu cukup dekat meski bukan seorang sahabat. Jadi tidak heran juga Mas Rion menanyakan kabarnya sebagai seorang teman lama.  "Baik." 

Aku tidak perlu menanyakan lagi darimana dia tahu hubunganku dengan salah satu teman satu angkatannya itu. Dia bukanlah orang yang baru keluar dari dalam gua sehingga pasti tahu hubunganku dengan Mas Rizal yang memang baru-baru ini selalu menjadi sorotan di muka publik.

"Udah jadi nikah?"

Astaga!
Dia bahkan tahu sedetail itu perkembangan hubunganku dengan Mas Rizal. "Not yet. Soon, Mas."

Mas Rion terlihat mengangguk-angguk.

Sementara film di layar depan sudah mulai diputar, baik aku dan juga Mas Rion malah tidak memperhatikannya sama sekali. "Masih suka nonton?" Memilih mencari obrolan baru aku akhirnya memilih menanyakan perihal hobinya di masa lalu, apakah sudah berubah atau belum.

Dulu saat kami dekat Mas Rion selalu mengajakku nonton di bioskop karena itu adalah hobinya ketika merasa lelah dengan segala aktivitas padatnya. Dan sebagai gebetannya, tentu saja aku adalah korban pertama yang selalu menemaninya nonton setelah latihan basket sehabis sekolah.

"Tempat duduknya bahkan belum berubah, Je." Ujarnya yang langsung membuatku mneoleh ke nomor kursi yang aku duduki. 

Melotot tidak percaya karena setelah ratusan minggu berlalu tempat favoritnya tidak berubah sama sekali. Aku dan dia selalu nonton di tempat yang sama dengan no kursi yang juga sama seperti ini.

Kenapa rasanya jadi kaya nostalgia gini?
Maafin aku Mas Rizal.

BackstreetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang