PROLOGUE

48 2 0
                                    

Singapura

Ledakkan keras terjadi di sebuah gedung terbengkalai. Dua tubuh itu terlempar dan berguling-guling ke jurang. Salah satu dari mereka yaitu seorang pria berhasil meraih akar pohon. Dia memegang kaki gadis yang tadi terlempar bersamanya akibat ledakan tersebut.

Mereka berdua bergelantungan di tepi jurang yang curam.

"Bertahanlah, Gitta," kata pria itu.

Gadis bernama Gitta melihat ke bawah. Ada sungai besar yang mengalir di bawah mereka.

"Sebaiknya kita lompat ke bawah, Devan," ucap Gitta.

"Kau gila? Kita bisa mati!" Gerutu Devan.

"Kita tidak akan mati, ada sungai di bawah kita."

Devan tampak bimbang. "Aku takut ketinggian."

Tanpa diduga, Gitta mengayunkan tubuhnya yang tampak begitu ringan. Dia menarik tangan Devan yang mati-matian memegang akar sekuat mungkin.

"Lepaskan tanganmu! Kita harus segera lompat ke bawah!" Gitta terus berusaha melepaskan tangan pria itu.

"Bagaimana jika kita mati? Kau lupa kita sudah merencanakan pernikahan?" Devan memohon agar Gitta tidak menariknya loncat ke bawah.

Tiba-tiba seseorang datang dengan pistol di tangannya. Mereka berdua terbelalak. Pria bersenjata itu menembaki mereka berdua.

Devan dan Gitta berayun seperti Tarzan untuk menghindari tembakan tersebut, tapi satu tembakan mengenai lengan Gitta. Pegangan gadis itu terlepas dari akar sehingga dia jatuh ke sungai.

"Gitta!" Devan terpaksa membiarkan dirinya juga jatuh ke sungai tersebut. "Aku akan mati bersamamu, Sayang."

Si penembak menuruni jurang dengan hati-hati. Tampaknya dia sudah hafal dengan tempat itu. Dia sampai di tepi sungai lalu menembaki air sungai, karena dia yakin dua orang tadi masih hidup.

Gitta dan Devan memang tidak mati. Mereka berenang menghindari tembakan tersebut.

Devan membawa pistol dari tas kecil yang dipasang di pahanya. Gitta melihat Devan yang memberikan kode agar Gitta harus tetap berada di dalam air.

Tiba-tiba Devan muncul ke permukaan air dan menembak pria itu tepat di dadanya. Pria itu pun tersungkur dan tewas seketika. Gitta juga muncul dari dalam air. Napasnya terengah-engah.

"Ah, apa misi kita sudah selesai?" Tanya Gitta sambil menyandarkan punggungnya ke tepi sungai.

Devan melihat darah mengalir dari lengan Gitta yang merupakan pacarnya. "Kau tertembak, aku akan mencari ramuan obat-obatan. Pasti ada di sekitar sini."

Ketika Devan akan pergi, Gitta menahan lengan pria itu sambil mendesis dan meletakkan telunjuknya di depan bibir.

Terdengar suara dari arah jurang. Suara derap langkah kaki.

Tiba-tiba ada perintah dari alat komunikasi di telinga mereka, "Misi dibatalkan. Mereka bukan gangster, mereka teroris. Misi akan diambil alih oleh tim khusus teroris."

Devan dan Gitta membeku untuk sejenak. Mereka saling pandang, sementara orang-orang itu semakin dekat.

"Kami tidak bisa mundur lagi," ucap Devan.

"Devan, Gitta, kalian tidak bisa melanjutkannya. Misi ini bukan untuk kalian...."

Devan dan Gitta mematikan alat komunikasi di telinga mereka. Para penjahat itu sudah mengepung Devan dan Gitta. Terpaksa mereka berdua angkat tangan.

Keduanya diikat di kursi yang saling memunggungi alhasil mereka terikat satu sama lain.

"Kalian polisi?" Tanya pria berkumis yang tidak lain adalah ketua para penjahat di sana.

Devan dan Gitta tidak menjawab. Pria berkumis memiringkan kepalanya lalu berbicara dengan bahasa Indonesia, "Kalian agen khusus yang dibentuk untuk menangkap kami, kan?"

"Kembalilah ke Indonesia, kau akan mendapatkan ganjarannya di sana," ucap Devan dengan tatapan tertuju pada pria itu.

Pria berkumis itu menggeleng. "Kewarganegaraanku tidak ada urusannya dengan semua ini."

Anak buahnya memasangkan bom ke tubuh Devan dan Gitta.

"Seperti agen mata-mata lainnya. Kalian juga akan berakhir seperti ini jika berurusan dengan kami," ucap pria berkumis itu.

Waktu di bom tersebut mulai berjalan mundur. Devan dan Gitta masih memasang wajah tenang, padahal jantung mereka berdetak dua kali lebih cepat karena ketakutan.

"Kalian terlihat berbeda dari agen kebanyakan. Apa kalian berpacaran? Oh, akan lebih indah jika kalian mati bersama-sama."

Tiba-tiba atap bangunan tersebut meledak. Devan dan Gitta terkejut, begitu pun dengan orang-orang di dalam ruangan tersebut.

Beberapa helikopter mengepung bangunan yang berada di pulau terpencil itu. Dalam kesempatan tersebut, Devan yang sudah berhasil memutuskan tali yang mengikat tubuhnya segera lari bersama Gitta.

"AKPT sudah mengepung lokasi. Semuanya keluar dari bangunan dengan kedua tangan di belakang kepala!" Suara perintah dari luar terdengar.

Beberapa orang berseragam yang sudah mengepung, mengarahkan senjata mereka ke bangunan terbengkalai tersebut.

Tiba-tiba ledakkan dasyat terjadi hingga bangunan itu hancur. Para anggota AKPT melindungi diri mereka dengan perisai masing-masing.

"Dengar, kita harus mencari dua orang ARN di dalam sana. Mereka pasti terjebak di antara reruntuhan bangunan," ucap pemimpin tim AKPT lewat alat komunikasi yang terpasang di kerah bajunya.

Asap mengepul dan membumbung ke langit. Terlihat bayangan orang dari sisa reruntuhan itu. AKPT tampak siaga. Mereka mengarahkan senjata pada dua orang itu.

Ternyata orang itu adalah Devan yang menggendong Gitta. Pemimpin AKPT langsung memberikan perintah. "Mereka anggota ARN, cepat tolong mereka!"

Beberapa anggota AKPT segera berlari untuk menolong Devan dan Gitta. Tapi, mereka kaget melihat bom di tubuh kedua orang itu.

"Pak Rizal, ada bom di tubuh mereka!" Lapor salah seorang anggota.

"Aku sudah menjinakkan bomnya. Gadis ini membutuhkan pertolongan, dia tertembak di lengan," kata Devan.

Para AKPT pun menghela napas lega. Mereka segera menolong Gitta dan Devan.

Setelah diperiksa, ternyata orang-orang itu melakukan bom bunuh diri sehingga mereka semua mati, terkecuali Devan dan Gitta.

Peluru yang bersarang di lengan Gitta berhasil dikeluarkan. Devan menghampirinya sambil berjalan pincang. "Aku senang kau baik-baik saja."

Rizal, pemimpin tim AKPT menghampiri mereka berdua. "Halo, aku Afrizal Dhiaz Ramadhan, pemimpin tim ini."

Devan dan Rizal bersalaman. Saat Rizal mengulurkan tangannya pada Gitta, Devan menerima uluran tangannya sehingga mereka bersalaman lagi. Afrizal merasa bingung dengan sikap Devan.

"Aku terkesan, kalian bisa menjinakkan bom di tubuh kalian. Padahal jika tidak, kalian akan ikut meledak bersama mereka," kata Rizal.

Gitta menyanggah ucapan Rizal, "Bukan kami, Devan yang menjinakkan bomnya. Dia mantan AKPT."

Rizal menoleh pada Devan.

🌹🌹🌹

11.08 | 12 Maret 2021
By Ucu Irna Marhamah

H-12 : CATCHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang