H12 - 07

20 1 0
                                    

Keesokan harinya Gitta bangun lebih awal, karena ada kelas pagi hari ini di mana dosennya terkenal galak. Gitta memasuki kamar mandi dan mulai mandi. Tiba-tiba alat komunikasinya terhubung.

"Aku sudah merancang denah yang akan menjadi kuburan untuk Vionna," kata Xander di seberang sana. Pria itu meneguk kopi.

"Aku akan mengurus sisanya," kata Gitta sambil mandi.

"Kenapa berisik sekali? Apa yang sedang kau lakukan?" Tanya Xander.

"Aku sedang mandi."

Xander memutar bola matanya. "Sore ini kita bertemu di tempat yang sudah ditentukan. Aku menunggu komando dari Royco, tapi dia tidak menyuruh apa-apa."

"Namanya Royce," ucap Gitta.

"Aku akan mematikan alat komunikasinya." Berakhirnya kalimat tersebut, Gitta mendengar suara klik di mana alat komunikasi mereka sudah terputus.

Selesai mandi dan sarapan, Gitta pergi ke kampus. Dia duduk di bangku paling belakang dan mendengarkan penjelasan dosen. Gadis itu merasa bosan di mana dosennya menjelaskan sambil marah-marah tidak jelas.

"Kalian mengerti tidak?!" Teriak dosen bernama John itu.

Tidak ada murid yang berani menjawab mau pun bertanya. Gitta tidak peduli. Dia hanya perlu duduk dan mendengarkan seperti yang tertulis di misi dalam map coklat pudar miliknya.

Karena tidak mendapatkan respon dari mahasiswanya, John berjalan menghampiri mereka dan mendorong kepala mereka satu persatu sambil memaki.

"Dasar tidak berguna!"

"Bodoh, kau!"

"Idot!"

"Tolol!"

Darah Gitta mendidih melihat itu. Dia teringat sesuatu.

** Flashback **

Gitta kecil sering dimarahi dan dipukul ayahnya. Ayahnya mendorong kepala Gitta dan memukul punggungnya.

"Keluarga San apanya?! Ibu dan anak sama-sama bodoh!" Bentak ayahnya Gitta.

** End Flashback **

John tiba di depan meja Gitta. Tangannya bergerak akan mendorong kepala Gitta. Tanpa diduga, gadis itu menarik tangan John ke bawah alhasil wajah pria itu membentur meja.

Semua murid berteriak kaget dengan apa yang dilakukan Gitta, termasuk Elina.

"Tanganmu terlalu kotor menyentuh kepalaku, pecundang," geram Gitta yang tersulut emosi.

Gitta kembali ke rumah Sarah setelah mendapatkan teguran. Gadis itu mendengus kesal sambil melemparkan tasnya ke ranjang.

Alat komunikasinya tersambung dengan Royce. "Gitta, apa John Armstrong menuntutmu? Itu buruk sekali. Jangan sampai kau bermasalah dan dideportasi ke Indonesia."

"Dia pantas mendapatkannya! Dia bajingan sialan yang beraninya pada orang lemah," ucap Gitta.

"Gitta, kau sedang dalam misi. Kau tidak bisa melibatkan perasaan pribadimu." Royce meminum kopi.

"Kau tahu seperti apa ayahku, kan? John tidak jauh berbeda dengannya," kata Gitta.

Di seberang sana Royce terdiam. Dia tidak berani mengatakan apa pun. Saat ini Gitta pasti sedang sangat marah. Meskipun tidak terlalu dekat, Royce tentunya sedikit mengenal sifat tetangganya itu. Terlebih lagi dia mengetahui seluk beluk kehidupan Gitta.

"Jika kau sudah selesai, aku mau pergi ke luar," kata Gitta.

"Kemana?"

"Aku ada urusan dengan Xander. Dia merasa heran karena kau tidak memberikan komando apa pun selama kami di sini," kata Gitta.

"Karena kalian belum bisa melakukan apa pun selain mengikuti arahan dari map coklat itu," kata Royce.

"Baiklah, aku harus pergi."

Komunikasi mereka pun terputus. Sebenarnya Gitta sedang malas bicara dengan siapa pun. Bertemu dengan Xander adalah alasan. Hari masih siang di mana dia masih memiliki sedikit waktu untuk menenangkan diri.

Gadis itu ke luar dari kamarnya. Dia melihat Anna sedang mengerjakan PR. Tapi, remaja itu sesekali mengucek-ngucek matanya.

"Anna?" Gitta menghampiri gadis itu.

Anna menoleh. "Dini? Kau sudah pulang? Ini masih siang."

"Ya...." Gitta enggan menceritakan masalahnya. Dia duduk di samping Anna dan memperhatikannya.

"Mataku bermasalah, aku tidak bisa melihat dengan jelas tulisan di papan tulis yang hanya berjarak 6 langkah dari tempat aku duduk," ucap Anna.

"Kenapa tidak memeriksa matamu? Kau akan mendapatkan kacamata minus setelah diperiksa oleh dokter mata," kata Gitta.

"Ibu tidak memiliki cukup uang untuk itu. Aku tidak ingin merepotkan ibuku." Anna terlihat sedih.

Gitta merasa prihatin.

Sore harinya, Gitta menemui Xander di cafe.

"Nyalimu besar juga. Kau menghajar seorang dosen saat dalam penyamaranmu?" Ucap Xander setengah bertanya.

"Jangan meledekku, ehmmm... rasanya lidahku memendek setelah berbicara bahasa Inggris selama di sini," gumam Gitta.

"Tentu saja, kau bicara bahasa Indonesia hanya saat bersamaku dan Royco," ujar Xander.

"Namanya Royce." Lagi-lagi Gitta membenarkan cara pengucapan nama Roycelyn.

"Lidahku suka terpeleset," kata Xander.

Gitta menatap Xander dengan intens. "Kau berasal dari mana?"

"Aku? Aku berkewarganegaraan Indonesia, aku orang Indonesia," jawab Xander.

Jawaban Xander tidak membuat Gitta percaya, karena jelas sekali wajah pria itu tidak ada Indonesianya.

"Memangnya kenapa? Kenapa kau tiba-tiba bertanya begitu?" Tanya Xander penasaran.

Gitta menggeleng.

"Ada kode etik di mana kita tidak seharusnya membocorkan indentitas asli masing-masing, kan?" Kata Xander.

Gitta mengangguk. "Maafkan aku."

Xander menunjukkan denah yang semalam dia buat pada Gitta. "Ini adalah denah yang aku buat semalam. Kita akan menjebak Vionna di ruang bawah tanah."

"Kau benar-benar akan membunuhnya?" Tanya Gitta setengah berbisik.

"Tentu tidak. Kita menangkapnya dengan cara menjebaknya di dalam bawah tanah ini. Tapi, para bodyguard Vionna selalu mengikutinya kemana pun. Ini menyulitkan kita nantinya," ujar Xander.

"Biar aku yang mengurus bodyguard Vionna," kata Gitta dengan polosnya.

"Kau akan memukul mereka sendirian?" Tanya Xander.

"Aku akan melumpuhkan mereka tanpa menyentuh sama sekali," jawab Gitta sambil tersenyum penuh ambisi.

Xander menunjukkan denah kedua. "Aku sudah membuat duplikat denah yang tidak mencantumkan ruangan bawah tanah ini."

Gitta mengangguk. "Bagus, ini sesuai dengan misi. Kapan bangunan ini selesai?"

"Secepatnya, aku akan mengusahakan agar bangunan ini segera selesai," jawab Xander.

Gitta menunduk. "Semoga Devan baik-baik saja. Tunggu aku, Devan."

Xander mengusap kepala Gitta dengan lembut. Gitta mendongkak menatap Xander yang tersenyum tulus padanya. Hal tersebut membuatnya kembali teringat pada Devan.

🌹🌹🌹

18.01 | 12 Maret 2021
By Ucu Irna Marhamah

H-12 : CATCHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang