H12 - 05

16 1 0
                                    

Pagi ini Gitta masih tertidur pulas. Sinar mentari yang masuk lewat celah jendela sama sekali tidak berhasil membangunkannya. Tiba-tiba terdengar suara klik-klik dari tabletnya. Gitta segera bangkit dengan rambutnya yang berantakan. Dia membuka tabletnya.

Ternyata alat pelacak di cincin Devan menyala. Jantung Gitta berdegup kencang. Dia membeku seketika saat melihat titik merah itu bergerak.

"Devan," gumam Gitta. Gadis itu segera bangkit dan meraih jaketnya kemudian menaiki motor sport hitamnya menuju ke kantor ARN.

Gitta menemui Rudi. "Devan masih hidup, aku yakin dia masih hidup."

Rudi mengernyit melihat titik merah di tablet milik Gitta. "Bisa saja ada orang yang menemukan cincin Devan dan tidak sengaja menyalakan alat pelacaknya."

Gitta menggeleng. "Aku yakin Devan masih hidup!"

"Bukankah kau sendiri yang bilang, kau melihat tubuh Devan dilempar dari lantai 19 dan meledak lalu terbakar," ucap Rudi.

"Sepertinya waktu itu aku terlalu takut karena melihat Devan ditembak beberapa kali oleh Vionna. Aku baru menyadari kalau di kamar Vionna ada jasad Simon juga. Mungkin Vionna sengaja mengelabuiku dengan meledakkan tubuh Simon dan bodohnya aku mengira itu adalah Devan," kata Gitta.

Rudi tampak berpikir. "Baiklah, anggap saja dugaanmu itu benar. Lalu Devan masih berada di kamar Vionna. Apa menurutmu Vionna tidak akan membunuhnya?"

Gitta terdiam sesaat kemudian menggeleng. "Aku tidak tahu."

"Kondisi Devan pasti sangat lemah setelah tertembak. Vionna pasti membunuhnya," ucap Rudi.

"Tapi, bagaimana jika Devan masih hidup? Dia berada dalam bahaya karena telah menyelamatkanku," tangis Gitta.

"Kami akan mengirim orang untuk mencarinya," kata Rudi.

"Jangan orang lain, kirimkan aku kembali," pinta Gitta.

"Kau sedang dinonaktifkan. Kau tidak bisa ke mana-mana," sanggah Rudi.

"Pak." Gitta memohon.

"Gitta, kembalilah. Kau harus beristirahat. Aku tahu kau merasa sangat kehilangan Devan. Maafkan aku," kata Rudi.

Gitta pun kembali ke rumahnya dengan lesu. Dia melihat tabletnya kembali. Gadis itu mengernyit heran, karena titik merah itu menuju ke luar kota New York.

Gitta memikirkan hal terburuk yang bisa saja terjadi pada Devan. Dia menggigit kukunya karena panik.

Biggy menghampirinya dan menggonggong kecil. Gitta menatap kesal pada anjingnya. "Diamlah!"

Biggy berlari keluar dari kamar Gitta. Anjing itu takut padanya. Gitta menjambak rambutnya sendiri. Dia menangis lagi dan lagi.

Keesokan harinya, Gitta terbangun karena mendengar suara seseorang yang mengetuk pintu. Gadis itu bangun dan melihat Biggy tidur di lantai dekat ranjangnya. Gitta merasa bersalah, karena kemarin dia membentaknya.

"Anak baik, maafkan aku." Gitta mengusap kepala Biggy kemudian keluar untuk membuka pintu.

Gadis itu terkejut melihat Rudi yang menyamar dengan menggunakan pakaian tukang ojek online.

"Paket," ucap Rudi sambil memberikan sebuah kotak berukuran sedang.

Gitta ingin sekali tertawa melihat atasan sekaligus seniornya itu yang terlihat konyol, tapi dia menahannya mati-matian.

"Oh, iya." Gitta segera menerima paket tersebut. "Terima kasih."

Setelah Rudi pergi, Gitta masuk ke rumahnya lalu tertawa pelan. Gadis itu membuka kotak tersebut. Biggy tampaknya sudah bangun. Dia berlari ke arah Gitta dan melihat majikannya membuka paket. Sepertinya anjing itu juga penasaran.

Isinya sepucuk surat. Gitta mengernyit. "Hanya ini? Kotak sebesar itu isinya ini saja?"

Gitta membuka suratnya.

"Gitta, kau akan kembali diaktifkan. Aku tunggu besok di markas." Gitta menghela napas berat.

Keesokan harinya, Gitta datang ke markas. Sebelumnya dia menitipkan Biggy pada Royce seperti biasa.

"Royce tidak ada di rumah?" Tanya Gitta pada ibunya Royce.

"Royce sedang pergi," jawab wanita paruh baya itu.

Gitta membungkuk mengusap kepala Biggy. "Maafkan aku, Biggy. Jaga dirimu, ya. Jangan nakal dan menyulitkan Mamanya Royce."

Gitta pun pergi ke kantor ARN. Di sana dia melihat seorang pria yang sedang berbicara dengan Rudi. Melihat kedatangan Gitta, Rudi mempersilakannya untuk duduk. Gitta duduk bersebelahan dengan pria yang sama sekali tidak dia kenali.

"Gitta, dia adalah Xander." Rudi memperkenalkan pria itu pada Gitta.

Mereka berdua bersalaman.

"Alexander Geraldo," ucap pria itu. "Kau bisa memanggilku Xander."

Gitta mengernyit setelah mendengar nama pria itu. Dia merasa pernah mendengar nama itu.

"Brigitta Alyora, orang-orang biasa memanggilku Gitta."

Rudi melirik Xander dan Gitta bergantian. Dia menganggukkan kepalanya. "Mulai sekarang kalian berada dalam satu tim."

"Apa?" Tampaknya Gitta tidak senang dengan keputusan Rudi. "Aku rasa lebih baik aku saja yang pergi ke sana sendirian, jangan libatkan orang lain. Ini urusan pribadiku."

Xander menoleh pada Gitta.

"Ini bukan urusan pribadimu. Ini urusan ARN, Gitta. Selain tunanganmu, Devan juga anggota kami. Misi ini juga bukan hanya misimu, tapi misi kami semua," ucap Rudi penuh penekanan.

Gitta tidak berani menyanggah lagi. Dia diam. Xander mengalihkan pandangannya dari Gitta. Dia mengangguk paham.

"Kami akan menangkap Vionna, Pak. Dan... jika Devan masih hidup, kami akan membawanya kembali," ucap Xander.

Gitta beranjak dari tempat duduknya kemudian menatap Xander dengan tatapan penuh kesedihan. "Devan masih hidup, dia masih hidup."

Setelah mengatakan kalimat tersebut, Gitta pergi dari ruangan Rudi sambil mengelap air matanya.

"Dia terkadang memang seperti itu. Sangat sulit mengendalikannya," ucap Rudi.

"Aku mengerti perasaannya," kata Xander sambil bangkit dari tempat duduknya. "Permisi, Pak. Aku akan menyusul gadis itu."

Di balkon kantor, Gitta menunduk dalam. Dia sedang menangis. Dia sangat mencemaskan Devan. Dia tidak ingin kehilangan orang yang penting dalam hidupnya lagi. Pertama ibunya lalu Zega dan sekarang... dia tidak mau hal itu terjadi.

Xander menghampiri gadis itu. Dia berdiri bersebelahan dengannya. "Gitta, maafkan aku."

Tidak ada jawaban dari Gitta.

"Kembalilah ke ruangan Pak Rudi. Kita harus rapat sebelum berangkat ke New York."

🌹🌹🌹

15.18 | 12 Maret 2021
By Ucu Irna Marhamah

H-12 : CATCHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang