H12 - 25

14 1 0
                                    

Gitta sudah memantapkan diri untuk menangkap Vionna hari itu juga.

Dia menatap pantulan dirinya di cermin. Gitta memakai pakaian serba hitam seperti biasa. Gadis itu tersenyum. "Aku takut ini terakhir kalinya aku melihat wajahku sendiri."

Gitta berlalu menaiki motor barunya. Tiba-tiba seseorang duduk di belakangnya. Gitta menoleh, ternyata Xander.

"Kau mau pergi sendiri?" Tanyanya.

"Vionna keterlaluan. Selain membalas apa yang sudah dia lakukan, aku ingin pemerintah pusat membuka tempat sejarah keluarga San, sebagai imbalannya." Gitta memakai helm-nya.

"Aku ikut," kata Xander.

"Kembalilah, aku mau pergi sendiri," ucap Gitta.

"Kau mau memperbaiki nama baik San, aku mau ikut," kata Xander. "Aku juga membawa tim. Kita tidak hanya pergi berdua."

"Tim?" Tanya Gitta.

"Jalankan motornya, kita akan menemui mereka." Xander memeluk perut Gitta.

Gadis itu memutar bola matanya kemudian melajukan motornya. Sesampainya di tempat yang ditunjukkan oleh Xander, Gitta mengernyit.

Ya, bagaimana tidak. Mereka berhenti di depan markas besar ARN. Ada Rudi dan Arman di sana. Gitta dan Xander turun dari motor. Mereka menghampiri kedua pria itu.

"Aku sudah membicarakannya dengan pemerintah pusat, mereka menyetujui permintaanmu. Kau boleh menangkap Vionna dalam keadaan hidup atau mati. Pemerintah akan berterima kasih dengan membuka San History untuk umum," ucap Arman. "Anggota yang berhasil menangkap Vionna masing-masing akan mendapatkan imbalan dari negara."

Gitta tersenyum lalu mengangguk. Dia menatap Xander yang juga tersenyum senang.

"Tapi, kalian hanya memiliki waktu 12 jam untuk menangkap Vionna. Itu adalah waktu yang sudah kami perhitungkan. Jika kalian tidak berhasil menangkapnya dalam waktu 12 jam, maka kalian akan dianggap pengkhianat dan harus dihukum mati," kata Arman.

Gitta tampak berpikir. Dia sedang mempertimbangkannya. Dua belas jam itu terlalu cepat untuk menangkap Vionna dan anak buahnya.

"Aku tidak mau mengambil risiko lagi. Oleh karena itu, aku sudah mempersiapkan anggota yang kupilih sendiri," kata Rudi.

Royce, Afrizal, Marco, dan Rafa menghampiri mereka. Gitta mengernyitkan dahinya.

"Kita pernah bertemu sebelumnya waktu misi di Singapura," ujar Rizal, ketua tim AKPT sewaktu misi di Singapura.

"Kita bertemu di bengkel waktu itu," ujar Marco.

"Mungkin aku satu-satunya orang yang belum pernah bertemu denganmu. Namaku Rafa, sebenarnya aku juga anggota ARN, tapi di bagian IT. Aku tidak pernah turun ke lapangan." Rafa bersalaman dengan Gitta.

Gitta menatap Royce. "Royce?"

"Ya, aku akan turun ke lapangan. Kita bertujuh akan menangkap wanita itu," kata Royce.

Gitta melirik pada Rudi. "Bertujuh?"

"Satu orang lagi Devan. Tanpa dia, kita tidak akan tahu di mana lokasi Vionna," kata Rudi.

Gitta melirik Xander yang menganggukkan kepalanya. Gitta juga mengangguk.

Rudi mengadakan rapat perencanaan misi bersama keenam orang terpilih itu.

"Aku sudah diperintahkan Pak Andriawan Septo untuk membantu misi ini, jadi aku sudah siap dengan instruksi yang diberikan," ucap Rizal.

"Aku ingin menjadi berguna," kata Marco.

"Aku hanya ingin turun ke lapangan setelah sekian lama duduk di depan komputer," ujar Royce.

Kini semua mata tertuju pada Rafa. Pria itu tampak gugup. "Aku... aku hanya melakukan sesuai perintah. Ini pekerjaanku."

"Baiklah, dengarkan rencanaku. Kali ini kita harus berhasil. Jika tidak, misi ini akan diambil alih oleh lembaga lain," ujar Rudi.

Keenam anggota terpilih mendengarkan rencana yang sudah disusun secara matang oleh Rudi. Mereka berenam tampak serius memperhatikan. Terkadang salah satu dari mereka ada yang bertanya.

"Apakah Devan sudah tahu rencana ini?" Tanya Xander.

"Dia tidak akan menggunakan rencana ini, karena dia berada di markas Vionna. Akan ada banyak kemungkinan yang bisa saja terjadi padanya, dia tidak bisa memakai rencanaku. Dia akan menyusun rencana sendiri," jawab Rudi.

Xander mengangguk paham.

🌹🌹🌹

16.50 | 14 Maret 2021
By Ucu Irna Marhamah

H-12 : CATCHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang