H12 - 08

22 1 0
                                    

Keesokan harinya, Gitta dipanggil ke ruangan penting di kampus. Di mana ada John di sana. Yang membuat Gitta kaget adalah keberadaan Vionna.

Gitta duduk berhadapan dengan Vionna, John, dan seseorang bernama Nicholas.

Di jarak sedekat itu, Gitta bisa melihat dengan jelas wajah cantik Vionna. Wanita itu terlihat begitu anggun dan berkharisma layaknya seorang putri yang dibesarkan di dalam istana mewah.

Namun, wajah itu juga yang mengingatkannya pada penderitaan yang begitu dalam saat dirinya kehilangan Devansa Hermawan, tunangannya.

"Dia gadis ingusan yang berani memukulku," kata John menatap nyalang pada Gitta.

Vionna tersenyum cantik. "Andini Sumawan, itu namamu?"

Gitta tidak menjawab, tiba-tiba alat komunikasinya terhubung dengan Royce.

Royce memberikan instruksi, "Katakan iya."

"Iya," Gitta menjawab Vionna.

Vionna menganggukkan kepalanya. "Apa kau tahu kau sudah berbuat salah?"

"Jangan katakan iya, tapi katakan maafkan aku," ucap Royce di seberang sana.

"Maafkan aku," kata Gitta sambil menunduk. Dia memang pandai berakting.

Vionna menunjukkan ekspresi sedih. "Kau masih terlalu muda untuk melakukan kekerasan, Dini. Apalagi terhadap dosenmu yang usianya lebih tua darimu. Bahkan dia pantas disebut ayah olehmu."

Setiap mendengar kata ayah, Gitta sangat marah, tapi kali ini dia harus menahan emosinya.

"Tetap menunduk," suruh Royce.

"Mendiang pamanku susah payah membangun universitas besar ini untuk mendidik kalian semua. Jangan sampai pamanku menyesalinya. Dia harus tenang di Surga setelah dibunuh oleh orang biadab," kata Vionna.

Vionna melihat Gitta yang tampaknya merasa bersalah sampai-sampai dia menunduk begitu dalam. Vionna menyentuh bahu Gitta. "Jangan menangis, Sayang."

Tiba-tiba Gitta mengangkat kepalanya membuat John dan Nicholas terkejut. Dia mengira Gitta akan memukul Vionna.

"Aku akan belajar dari kesalahan, maafkan aku," kata Gitta.

Di seberang sana, Royce menghela napas lega mendengar Gitta yang mengikuti arahannya.

"Minta maaflah pada John."

Gitta meminta maaf pada John di depan Vionna dan Nicholas. Dengan angkuh, John memaafkan Gitta.

"Jika sekali lagi kau membuat kesalahan, kau akan dikeluarkan dari universitas ini." Ekspresi Vionna berubah dingin seiring dengan kalimat ancaman yang dia lontarkan.

Setelah itu, Gitta kembali ke rumah Sarah. Dia merobek-robek kertas melampiaskan kemarahannya.

"Aku tidak menyangka usahamu menghajar John akan membawamu pada Vionna. Ini awal yang bagus menurutku," kata Royce di seberang sana.

"Bagus apanya?" Gerutu Gitta.

"Kau bisa memanfaatkan situasi ini untuk mendekati Vionna. Dengan begitu kau bisa masuk ke markasnya dan mendapatkan kepercayaannya, bagaimana?" Tanya Royce.

Gitta tampak berpikir. "Aku tidak mau. Itu cara yang terlalu klasik. Selain itu, tidak akan mudah memasuki markas Vionna apalagi setelah penyeranganku dan Devan waktu itu. Ini tidak semudah seperti di film."

"Baiklah, kalau begitu kita gunakan rencana B untukmu. Biarkan Xander yang melakukan dengan cara A."

Gitta mendengarkan.

Keesokan harinya, Gitta membantu Sarah menyiram bunga di halaman belakang.

"Bunga-bunga ini akan dijual setelah mereka mekar. Mediang suamiku adalah sarjana pertanian. Sedikit banyak aku mengetahui struktur tanah yang cocok untuk beberapa tanaman, terutama tanaman hias. Tidak semua tanaman bisa ditanam di tanah yang subur," kata Sarah.

Gitta mengangguk-anggukkan kepalanya. "Apakah kau pernah membuat ramuan dari bunga?"

Sarah menatap Gitta. "Sepertinya kau tahu banyak tentang ramuan."

Gitta menggeleng. "Pacarku pernah mengajariku membuat ramuan dari tanaman ini. Dia biasa menggunakannya untuk mengobati luka."

Sarah melihat rerumputan liar yang ditunjuk oleh Gitta. "Aku menganggapnya rumput liar biasa. Sekarang aku jadi tahu manfaatnya."

Gitta tersenyum. Dia menujuk beberapa bibit bunga. "Boleh aku membelinya?"

"Kau tidak perlu membayarnya, ambil saja," kata Sarah.

"Tapi...." Gitta merasa tidak enak.

"Tidak apa-apa, ambil saja. Kau pasti membutuhkannya untuk praktek di kampus, kan?" Ucap Sarah.

"Terima kasih, Nyonya Milton." Gitta mengambilnya.

Di kamar, Gitta meracik akar-akar bibit tanaman itu dan memasukkan cairan dari semua gabungan akar tanaman tersebut ke dalam botol kecil.

"Ini cukup untuk meracuni semua bodyguard Vionna," gumam Gitta.

Saat Gitta mau keluar dari kamar, dia terkejut dengan keberadaan Elina di depan pintu kamarnya.

"Apa yang kau lakukan di sini?" Tanya Gitta.

Bukannya menjawab pertanyaan Gitta, Elina malah bertanya, "Kau seorang agen mata-mata?"

Gitta tidak menunjukkan ekspresi apa pun. "Minggir, aku mau keluar."

Elina menerobos masuk ke kamar Gitta. Dia mengobrak-abrik kamar Gitta berharap menemukan petunjuk.

"Berhenti mengacak-acak kamarku!" Gitta menarik lengan Elina agar berhenti merusak kamarnya.

Mendengar suara keributan, Sarah mendatangi mereka. "Elina, Dini, apa yang terjadi? Elina, kenapa kau mengacak-acak kamar Dini?"

Elina tidak menjawab. Dia menatap curiga pada Gitta. Dia pun pergi meninggalkan mereka berdua.

"Dini, aku akan membantumu membereskannya," kata Sarah.

"Tidak apa-apa, Nyonya Milton. Aku akan membereskannya sendiri," tolak Gitta halus.

"Ada apa dengan anak itu. Dia suka sekali mengganggu orang," gerutu Sarah.

Sementara itu, Vionna sedang melihat CCTV di mana terlihat Gitta yang menarik tangan John hingga wajah pria itu membentur meja dan berdarah.

Nicholas yang berdiri di belakang Vionna meringis membayangkan rasa sakit yang dialami oleh John.

"Dia tidak terlihat seperti seorang mahasiswi. Wajahnya seperti seorang berandalan," kata Vionna. "Bodyguard!"

Dua bodyguard wanita menghampiri Vionna. "Nona."

"Cari tahu tentang gadis itu." Vionna menunjuk Gitta di layar.

"Baik, Nona."

🌹🌹🌹

18.58 | 12 Maret 2021
By Ucu Irna Marhamah

H-12 : CATCHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang