Keesokan harinya, Gitta bangun duluan. Dia melihat Devan tertidur dengan kepala terlelap di meja. Gadis itu memutar bola matanya. Dia melihat ke luar jendela, pemandangan kota yang sangat maju.
Setelah memesan makanan, Gitta langsung mandi dan berganti pakaian. Tampaknya Devan sudah bangun. Mereka pun sarapan bersama.
"Aku mau bersepeda, boleh, kan?" Tanya Gitta.
"Jangan lama-lama," jawab Devan.
Gitta pun pergi keluar dan bersepeda. Alat komunikasinya berbunyi, "Istriku, jangan jauh-jauh mainnya, ya. Ini pertama kalinya kau di New York, kan?"
Itu suara Devan. Gitta tersenyum mendengarnya.
Setelah puas bersepeda, Gitta kembali ke hotel. Dia tidak menemukan Devan di mana pun. Gitta agak panik. Dia menyalakan alat komunikasi di telinganya.
"David? Kau di mana?" Tampaknya alat komunikasi Devan tidak tersambung.
Karena cemas, Gitta mengaktifkan alat pelacak di cincin tunangan Devan. Dia melacak lokasinya lewat tablet. Titik merah itu sedang berada di hotel dan semakin dekat dengannya.
Gitta mengernyit. Dia menoleh ke pintu. Pintunya dibuka dari luar, Devan masuk. Gitta menghela napas lega. Awalnya dia berpikir telah terjadi sesuatu pada pacarnya itu.
Namun, tampaknya Devan merasa sedih. Gitta bertanya, "Apa telah terjadi sesuatu?"
Devan mengangguk. "Rizwan tewas."
Gitta terkejut mendengarnya. Dia menunduk dan mendo'akan ketenangan bagi Rizwan yang sudah meninggal.
"Bagaimana dengan Gloria."
Devan menggeleng. "Aku belum mendapatkan informasi mengenai dirinya. Siang ini aku mendatangi sebuah bengkel dan mendapatkan informasi bahwa Rizwan pernah datang ke sana untuk memperbaiki mobilnya. Tapi, mobil itu masih berada di sana, karena pemiliknya tidak kunjung menebusnya. Setelah aku gali lebih jauh lagi, Rizwan bergabung dengan geng api dan sepertinya dia tewas dalam markas mereka, setelah ketahuan kalau dirinya mata-mata."
Gitta merasa sedih mendengarnya. Dia mengusap bahu Devan, karena Rizwan dan Devan cukup akrab di kantor. Devan pasti merasa sangat kehilangan.
"Akan sangat berbahaya jika kita memasuki markas geng api. Mereka pasti memperketat keamanannya setelah membunuh Rizwan," ucap Devan.
"Kita harus tetap melakukannya," ucap Gitta.
"Tidak, biar aku saja yang melakukannya. Ini semua terlalu berbahaya untukmu. Lebih baik kau kembali ke Indonesia. Aku akan melanjutkan misi ini sendirian," sanggah Devan.
"Aku akan tetap bersamamu di sini, kita tim," tegas Gitta.
"Gitta, ini situasinya berbeda. Vionna itu berbahaya," ucap Devan.
Devan dan Gitta berhenti bertengkar.
Keesokan malamnya, pesta dimulai. Devan dan Gitta berada dalam pesta tersebut. Mereka memasang mata dan telinga baik-baik. Semuanya menikmati pesta. Devan dan Gitta menari bergabung dengan yang lainnya.
Beberapa menit kemudian, beberapa wanita berjas dan berkacamata hitam memasuki ruangan. Seorang gadis bergaun merah berkilau berada di tengah-tengah mereka. Tak lain dan tak bukan dia adalah Vionna. Gadis itu sangat mempesona. Tak ada satu pun orang yang tidak memandangnya.
Dia duduk di kursi utama sambil memperhatikan orang-orang yang sedang menari itu. Sesekali dia tersenyum.
Tibalah Simon Anderson bersama para bodyguard-nya. Vionna berdiri lalu memeluk pamannya dan mereka berciuman di depan semua orang.
Gitta mengalihkan pandangannya.
"Dia memiliki hubungan khusus dengan pamannya sendiri?" Gumam Devan.
Pesta berjalan dengan baik.
Setelah pesta usai, Gitta mengakses kamera yang terpasang di kamar Vionna. Dia melihat Vionna bersama Simon sedang melakukan hubungan intim. Gitta memutar bola matanya.
Sementara Devan sedang merencanakan langkah selanjutnya. "Gitta, apa yang sedang dilakukan gadis itu?"
"Dia bercinta dengan pamannya sendiri," jawab Gitta tanpa beban.
"Aku akan masuk ke kamar mereka dan membunuh keduanya," kata Devan.
"Apa? Tapi, aku rasa kau terlalu buru-buru. Apa leb...." Gitta belum menyelesaikan kalimatnya, karena Devan mencium bibirnya. Kedua pipi gadis itu memerah.
"Aku ingin segera menikahimu, Gitta. Setelah misi ini berakhir, aku akan berhenti menjadi ARN dan akan menikahimu. Kita akan hidup bahagia." Devan berlalu pergi setelah mengatakan kalimat tersebut.
Gitta merasa akan ada hal buruk yang terjadi. Dia melihat tabletnya. Vionna dan Simon tampaknya sudah selesai. Saat Simon mau pergi dari kamar Vionna, tiba-tiba bodyguard perempuan masuk dan menusuk perut Simon berkali-kali. Gitta terbelalak melihat itu semua. Dia segera bangkit dari kursinya. Dia mengambil pistol dan menyusul Devan sambil melihat tablet tersebut.
Sambil memegang alat komunikasi di telinganya, Gitta berbicara pada Devan, "Devan! Jangan masuk ke kamar Vionna! Ada bodyguard yang masuk dan membunuh Simon!"
Gitta tidak mendapatkan jawaban. Alat komunikasi Devan sepertinya tidak menyala. Gadis itu melihat tabletnya kembali.
Tiba-tiba lampu di kamar Vionna mati. Tapi, Gitta masih bisa melihat mereka semua di kamar tersebut melalui tabletnya. Salah satu bodyguard perempuan itu menyadari ada kamera tersembunyi di kamar bosnya. Gitta semakin panik. Dia berlari mencari Devan.
Para bodyguard itu mencopot kamera. Satu persatu kameranya ditemukan. Gitta melihat Devan masuk dan terlibat perkelahian dengan para bodyguard perempuan itu.
"Sialan!" Gitta berlari menaiki tangga. Tidak ada waktu menunggu lift.
Vionna mengambil pistolnya dan menembak Devan. Gitta berhenti berlari saat sudah dekat dengan kamar Vionna, karena ada banyak bodyguard perempuan yang masuk setelah mendengar suara tembakan tadi. Gitta melihat tabletnya lagi, tapi kali ini layarnya menjadi gelap. Sepertinya semua kamera sudah berhasil ditemukan dan dihancurkan oleh mereka.
Gitta pun terpaksa menerobos masuk. Dia menghajar para bodyguard itu dalam kegelapan. Saat memasuki kamar Vionna, semuanya benar-benar gelap. Gitta tidak bisa melihat apa pun. Bahkan dia juga tidak mendengar apa pun.
Apakah perkelahiannya berakhir? Apa Devan baik-baik saja?
Dor!
Gitta tersentak kaget saat sebuah tembakan yang mengarah padanya meleset. Gadis itu bersembunyi di balik lemari.
Vionna yang barusan menembak. Gitta menodongkan pistolnya. Dia juga menembak ke arah Vionna. Vionna segera menunduk di balik sofa.
Gitta menautkan alisnya. Dia keluar dari persembunyian dan akan menembak, tapi seseorang meringkusnya dan mendorongnya ke jendela.
Kedua mata Gitta terbelalak. Ternyata pria itu adalah Devan. Dia memasangkan alat seperti pelampung ke tubuh Gitta.
"Aku akan kembali, aku berjanji akan kembali," kata Devan dengan air mata berlinang.
Dor!
Dor!
Dor!
Vionna menembak punggung Devan. Darah mengalir dari mulutnya. Pria itu mendorong Gitta keluar lewat jendela. Gitta masih membeku. Air matanya mengalir membasahi pipinya. Tubuhnya jatuh dari lantai 19. Pelampung di tubuhnya mengembang semakin besar seperti kasur dan gadis itu pun jatuh di atas mobil. Alarm mobil tersebut menyala.
Gitta melihat tubuh itu jatuh ke tanah dan meledak. Dia bangkit dan melihat jasad Devan terbakar karena ledakan itu. Gitta tidak bisa berhenti menangis.
Para bodyguard segera turun dan menghampiri mobil yang berbunyi itu. Gitta sudah tidak ada di sana.
🌹🌹🌹
22.11 | 12 Maret 2021
By Ucu Irna Marhamah
KAMU SEDANG MEMBACA
H-12 : CATCH
ActionDevan dan Gitta diperintahkan ARN untuk menangkap penjahat internasional yang berkewarganegaraan Indonesia di New York, yaitu seorang gangster yang terkenal berbahaya. Mereka terjebak dalam situasi yang sulit. Di mana Devan mengorbankan dirinya unt...