Malam hari di mansion San Reino.
Gitta merasa ada beban berat di perutnya. Gadis itu perlahan membuka matanya. Ada sosok berbaju putih dengan rambut panjang duduk di perutnya. Wanita itu menatap ke arahnya.
Namun, Gitta tidak kaget atau berteriak ketakutan. Mereka berdua malah saling pandang.
Hantu wanita itu mendekatkan wajahnya pada Gitta. "Ah, tidak seru. Seharusnya kau berteriak ketakutan saat melihatku."
"Kau siapa?" Tanya Gitta.
Si hantu melipat kedua tangan di depan dada kemudian menggelengkan kepalanya. "Rupanya setelah kau masuk ARN, kau jadi sombong, ya."
Gitta mengernyit. "Kak Zega? Apa ini kau?"
"Telat." Zega ngambek.
Gitta terkekeh. "Bagaimana rasanya setelah mati?"
"Nanti kau akan tahu sendiri rasanya bagaimana," jawab Zega. "Aku ke sini untuk mengatakan sesuatu."
"Apa itu?" Gitta penasaran.
"Jangan mati." Tiba-tiba Zega menghilang dari pandangannya.
"Kak Zega? Kak Zega!"
Gitta tersentak bangun dari tidurnya. Dia mengedarkan pandangannya ke sekeliling. "Kak Zega...."
Gadis itu melihat jam dinding yang menunjukkan pukul 4 dini hari. Dia keluar dari kamarnya dan melihat Alan sedang berbicara dengan dua orang pria.
"Nona, motor yang Anda inginkan sudah ada." Alan menunjukkan motor sport hitam baru yang terparkir di depan mansion.
Gitta melihat motor tersebut kemudian tersenyum. "Terima kasih, Pengacara Alan."
Alan mengangguk hormat.
Sementara itu, Xander sedang terlelap tidur di kamarnya di sebuah apartemen. Dia tidak menyadari ada seseorang yang masuk lewat jendela dapur.
Wanita bermasker itu membuka oven dan memasukkan kaleng tuna ke dalamnya. Kemudian menyalakan oven. Saat wanita itu akan keluar lewat jendela yang sama, dia heran, karena jendelanya terkunci.
"Pagi-pagi begini?"
Wanita itu terkejut mendengar suara bariton dari belakangnya. Ternyata Xander. Pria itu mematikan oven.
Wanita itu menyerang Xander dengan pisau. Xander melawannya. "Apa kau juga yang meledakkan rumah Gitta?"
"Kupikir sudah jelas," kata wanita itu.
"Jangan berpikir aku akan lemah lembut padamu hanya karena kau wanita. Kau sudah melukai Gitta dan anjingnya yang tidak bersalah!" Xander memukul wajah wanita itu.
Saat wanita itu hendak berdiri, Xander memukul titik kesadarannya. Wanita itu pun tak sadarkan diri.
Saat dia bangun, dia berada di kantor polisi. Ada Gitta dan Xander di sana.
Gitta menepuk bahu wanita itu kemudian dia berbisik ke telinganya. Wanita itu tampak terkejut. Xander penasaran dengan apa yang dikatakan Gitta.
Xander mengantar Gitta pulang ke mansion San Reino.
"Kau bicara apa pada bodyguard wanita itu? Tampaknya dia kaget dan takut setelah mendengar apa yang kau bisikkan," tanya Xander.
Gitta tersenyum. "Tidak ada."
"Aku pikir kau akan memukulnya setelah dia membuatmu...." Xander tidak melanjutkan kata-katanya.
"Aku akan mencekiknya jika tidak ada polisi," ucap Gitta.
Xander tersenyum kaku.
"Mau mampir?" Tanya Gitta.
"Lain kali," kata Xander kemudian melajukan mobilnya meninggalkan mansion San Reino.
Saat Gitta berjalan menaiki tangga menuju kamarnya, tiba-tiba telepon rumah berdering. Gitta mengangkat panggilan tersebut.
"Halo?"
"Gitta?"
Gita mengernyitkan dahinya. Dia tidak mengenali suara pria itu. "Siapa?"
"Sekarang pria yang kau sayangi sedang berada di hadapanku. Jika kau masih ingin melihat pria ini bernapas, maka kirimkan uang 100 juta ke alamat yang kuberikan."
Gitta tampak berpikir. Pria yang kusayangi memangnya siapa? Devan? Yang benar saja, aku bahkan masih kesal padanya. Xander? Barusan dia pergi. Tunggu, memangnya aku menyayangi Xander?
"Sebenarnya kau siapa? Kau mau apa? Apa kau penipu? Aku akan lapor polisi," ancam Gitta.
"Gitta."
Kali ini Gitta mengenali suara itu. Suara pria yang sudah lama ingin dia lupakan, ayahnya.
"Dia bilang kau adalah putrinya, katanya aku harus menghubungi nomor keluarga San Reino untuk mendapatkan uang tebusan. Cepatlah buat keputusan atau aku akan menjual organ tubuhnya pada anggota geng."
Gitta menjawab, "Jika aku tidak datang dan membawa uang, kau akan membunuhnya?"
"Iya."
"Ya, sudah... bunuh saja."
"Hei...."
Gitta menutup teleponnya.
Sementara itu, di ruangan gedung terbengkalai.
Terlihat Bagas yang sudah tua duduk terikat dengan wajah yang sudah lebam. Ada beberapa pria kekar di sana.
"Sialan, gadis itu menutup teleponnya. Kau pasti mengada-ada, kan? Kau berpura-pura menjadi ayah dari seorang putri San Reino. Mana mungkin pria miskin sepertimu bisa menikahi anak keluarga kaya," kata ketua penjahat itu.
Bagas tidak menjawab.
"Jika kau tidak bisa mengembalikan uang kami, kau tidak boleh meminjamnya. Meskipun seluruh organ tubuhmu dijual, kau hanya bisa melunasi bunganya, tidak dengan hutangnya," ujar pria lain.
Tiba-tiba sebuah peluru melesat menembak lampu di ruangan tersebut. Semuanya gelap.
Bagas mendengar suara perkelahian. Sepertinya seseorang datang dan ingin menyelamatkannya. Bagas berdo'a dalam hati.
Tiba-tiba perkelahian itu usai. Sesuatu terlempar ke pahanya. Bagas yakin itu adalah uang. Terdengar suara langkah kaki yang semakin jauh.
"Siapa kau?" Tanya Bagas.
Langkah itu terhenti untuk sesaat kemudian orang misterius itu melanjutkan langkahnya.
Bagas mencoba mengambil kantong uang itu. Ternyata ada pisau dan senter juga di dalam kantong tersebut. Dengan susah payah, dia memotong tali yang mengikat tubuhnya. Pria paruh baya itu mengambil senter dan menyalakannya. Dia terkejut melihat para penagih utang itu babak belur dan terikat.
Bagas segera lari keluar dan melihat uang dolar di dalam kantong tersebut. Ada suratnya juga.
Bayar hutangmu.
Hanya itu yang tertulis di kertas tersebut.
"Gitta."
🌹🌹🌹
12.27 | 14 Maret 2021
By Ucu Irna Marhamah
KAMU SEDANG MEMBACA
H-12 : CATCH
ActionDevan dan Gitta diperintahkan ARN untuk menangkap penjahat internasional yang berkewarganegaraan Indonesia di New York, yaitu seorang gangster yang terkenal berbahaya. Mereka terjebak dalam situasi yang sulit. Di mana Devan mengorbankan dirinya unt...