H12 - 27

14 1 0
                                    

Rudi dan Rafa yang berada di markas besar ARN menghela napas berat mendengar pertengkaran Devan dan Gitta yang mempermasalahkan tentang perciuman selama beberapa saat.

"Sepertinya mereka benar-benar membicarakan masalah yang serius," ucap Rafa yang terlihat canggung.

"Aku rasa hubungan mereka sedang kurang baik gara-gara kejadian di New York," gumam Rudi.

"Apa mereka sepasang suami istri?" Tanya Rafa.

"Mereka sudah bertunangan."

"Oh."

Rudi menyalakan alat komunikasi. "Royce, Rizal, Marco? Kalian sudah siap?"

"Siap, Pak."

Rudi mengangguk. "Ayo, kita lihat."

Di tempat makan, terlihat para bodyguard wanita sedang makan siang. Salah satunya ada Royce. Gadis itu memakai pakaian serba hitam. Dia menyamar sebagai bodyguard wanita.

Royce sedang memakan mie dengan sumpit. "Pak Rudi, apa aku boleh sedikit berlebihan?"

Di seberang sana Rudi tampak bingung. "Maksudmu?"

Royce melihat CCTV di ruangan tersebut yang menyorot ke sana kemari. Royce mulai menghitung dalam hati. Saat CCTV itu menoleh ke arah lain, Royce berdiri. Ketika CCTV itu kembali menyorot ke arah semula, Royce sudah tidak ada, menyisakan para bodyguard yang bergeletakan di lantai dengan darah di mana-mana. Mereka mengaduh dan meringis kesakitan.

Royce menaiki tangga sambil mengelap sumpitnya yang berdarah.

"Kau membunuh mereka?" Tanya Rudi di seberang sana.

"Bukankah kita sudah diperintahkan untuk menembak Vionna di tempat? Begitu pun dengan bodyguard-nya. Aku hanya sedikit membalas apa yang terjadi pada Gitta dan Biggy," jawab Royce.

Rudi kehabisan kata-kata.

Royce terkekeh kecil. "Aku hanya bercanda."

Rudi menghela napas berat. "Beginikah cara bercandanya seorang mantan agen BIN?"

Sementara Rizal sudah melumpuhkan para bodyguard pria di ruangan lain. Dia menaiki tangga. Alarm bahaya berbunyi. Para bodyguard yang berjaga di wilayah Timur dan Utara segera ke wilayah Barat dan Selatan. Ternyata ledakkan di wilayah Timur dan Utara adalah pengecoh, karena Royce, Rizal, dan Marco masuk lewat wilayah Selatan dengan mudahnya dan menyamar sebagai bodyguard.

Marco menyamar menjadi bodyguard yang menyeret Gitta dan Xander.

Gitta dan Xander saling pandang saat mendengar suara alarm bahaya. Keduanya segera melepaskan tali yang mengikat tangan dan kaki mereka.

"Apa make-up ini tidak berlebihan?" Xander menunjuk luka lebam di pipinya.

"Itu terlihat seperti luka sungguhan, jangan menghapusnya," kata Gitta sambil mengeluarkan kawat dan mencoba membuka sel dengan kawat tersebut, ternyata tidak terkunci. Devan berbohong.

Gitta memutar bola matanya. "Devan."

Xander mengelap make-up di wajahnya. "Aktingnya sudah berakhir, kan?"

Gitta dan Xander segera keluar dari penjara bawah tanah dan segera mencari lokasi Vionna.

Sementara Vionna diam saja di ruangannya. Devan juga berada di ruangan tersebut. Mereka tidak melakukan apa pun meski alarm bahaya sudah berbunyi.

Tiba-tiba tembakkan terdengar di luar ruangan. Di mana Royce, Marco, dan Rizal sedang berusaha mati-matian melumpuhkan para bodyguard Vionna.

"Nona, kau tidak mau pergi? Mereka pasti sudah mengepung tempat ini," kata Devan.

Vionna menatap Devan. "Mereka? Kau tahu ada berapa orang?"

Devan terdiam.

Di seberang sana, Rudi memberikan jawaban untuk Vionna pada Devan. "Katakan saja, tidak mungkin jika penyusupnya satu orang. Mereka pasti mengirimkan banyak orang untuk menangkapmu."

"Penyusupnya pasti lebih dari satu orang. ARN selalu belajar dari kesalahan. Xander dan Gitta berhasil ditangkap, mana mungkin mereka mengirimkan dua atau tiga orang saja," ucap Devan.

Vionna menatap Devan. "Aku harap kau tidak mengkhianatiku, Dev."

Tiba-tiba pintu didobrak, ternyata Xander yang datang dengan pistol ditodongkan pada Vionna.

"Menyerahlah, tarik orang-orangmu di bawah sana dan ikut bersamaku," kata Xander.

Vionna tersenyum. "Biasanya aku mau menerima ajakan pria tampan, tapi aku menolak ajakanmu."

Gitta masuk dan menembak lengan Vionna. Wanita itu meringis lalu bersembunyi di balik rak.

"Kau tidak perlu repot-repot berbicara padanya. Kita sudah mendapatkan perintah langsung dari negara untuk menghabisinya," kata Gitta sambil terus-menerus menembaki lemari buku di mana Vionna bersembunyi.

Vionna memegangi lengannya yang berdarah akibat tembakan Gitta. Wanita ini melihat tombol di tangannya.

"Devan!" Teriak Vionna.

Gitta menoleh pada Devan. Pria itu menyerang Xander. Gitta mengernyit bingung, padahal sudah jelas mereka berhasil meringkus Vionna, tapi kenapa Devan masih berakting dan menyerang Xander?

"Kita belum selesai, dia menanam bom di ruangan ini," bisik Devan pada Xander dan Gitta.

Tentu saja itu membuat Gitta dan Xander terkejut.

Gitta melihat jam dinding di ruangan tersebut yang menunjukkan pukul 11 malam. Dua jam lagi waktu mereka habis. Jika jam 1 mereka tidak berhasil menangkap Vionna, maka mereka akan dianggap gagal oleh negara.

Gitta memasukkan peluru ke pistolnya dan kembali menembaki lemari buku. "Hei! Keluar kau!"

Vionna mengambil pistol dari laci kemudian menembak ke arah Gitta, tapi meleset. Gitta kembali menembak dan berhasil melukai tangan Vionna. Wanita itu berteriak.

Xander terpundur. "Apa yang kau lakukan? Kau bilang ini akting, tapi kau benar-benar memukulku."

"Aku benci melihat wajahmu."

Gitta menendang lemari buku hingga roboh. Gadis itu mengernyit melihat tidak ada pergerakan di bawah lemari. Dia berpikir, mungkin Vionna sudah mati tertimpa lemari tersebut.

Namun, tiba-tiba Vionna muncul dari sampingnya dan menyerang Gitta. Kedua perempuan itu berkelahi. Meskipun Vionna mendapatkan dua luka tembakan, nyatanya wanita itu masih bisa bertahan melawan Gitta.

Meskipun Gitta tidak mendapatkan luka karena penyusupannya hari itu, luka ledakkan di rumahnya masih belum pulih total. Alhasil perkelahian mereka imbang.

"Mati kalian!" Vionna menekan tombol yang sedari tadi dia pegang.

Tiba-tiba ruangan Vionna meledak.

🌹🌹🌹

17.08 | 15 Maret 2021
By Ucu Irna Marhamah

H-12 : CATCHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang