09. Belum

12.1K 906 6
                                    

Ganendra berjalan pelan sambil menenteng plastik putih berisi bakso yang dipesan istrinya tadi sebelum ia pulang dari kantor. Mata bulatnya tak barang sedetikpun lepas dari perempuan berkaus cokelat yang tengah duduk fokus di depan televisi menghitung laporan bulanan usahanya.

Ditaruhnya bakso di atas meja makan, lalu menarik kursi dan minum untuk mengaliri tenggorokannya yang terasa kering kerontang menahan gugup yang entah untuk apa.

Mungkin karena tadi, Faleesha memanggilnya dengan sebutan sayang, juga menyeret-nyeret kata ngidam dalam pembicaraan mereka.

Ganendra pandang lekat-lekat wanitanya, mencari perubahan fisik yang mungkin saja dilewatkannya, apa ya yang berubah? Pipinya sama aja, nggak tambah gembul, batin lelaki itu meneliti.

"Loh? Udah balik?" Faleesha melepas kacamatanya, menaruh laptop yang sebelumnya berada di pangkuan ke atas meja.

Ganendra—masih membisu—mengangguk.

Perempuan itu berjalan mendekat, "Ini pesenan aku ya?" tanyanya seraya mengeluarkan isi dari plastik putih tersebut.

Ganendra manggut-manggut.

Sadar akan suaminya yang sejak tadi hanya membalasnya dengan bahasa tubuh membuat Faleesha terheran, "Kamu kenapa?"

Ganendra menggeleng.

"Aneh." Celetuknya mengangkat bahu tak peduli dan memilih untuk melanjutkan kegiatannya meracik bakso demi mengisi perutnya yang keroncongan juga memanjakan lidahnya yang sudah kepengin.

"Ini cuma satu? Kamu nggak makan?"

Ganendra menggeleng, lagi.

Kesal lantaran suaminya yang mendadak bisu, Faleesha akhirnya menangkup pipi Ganendra menggunakan satu tangannya yang masih bersih, "Ngomooong!" desaknya menekan-nekan pipi tersebut layaknya squishy.

"Nggak."

"Kamu marah sama aku karena diminta tolong beli bakso?"

"Nggak."

"Terus kok diem doang daritadi?"

"Itu... gimana?"

"Apanya?"

"Beneran ngidam?" keduanya beradu pandang. Jelas terpancar harapan dari sorot mata Ganendra.

Oh ya ampun, gara-gara dia ngira gue ngisi kali makanya tumben rapet bener tuh mulut, gumamnya dalam hati tertawa geli.

Faleesha lantas mengelus singkat puncak kepala Ganendra, "Belum. Maaf ya..." ucapnya merasa bersalah.

Ganendra mengerjap-ngerjapkan matanya, masih bungkam sampai empat detik pertama, kemudian menarik wanitanya mendekat, menenggelamkan kepalanya di diri Faleesha seraya melingkarkan lengan kokohnya di sepanjang pinggang istrinya.

"Nggakpapa, jangan minta maaf."

Faleesha mengulas senyum tipis, tangannya bergerak membelai surai hitam milik Ganendra, "Bolehnya minta apa? Minta duit boleh?" guraunya melerai momen yang sedikit banyak menyentil perasaannya itu.

Ganendra tertawa, "Itu minta aja sama pesawat!" balas lelaki itu bercanda.

**

Beberapa jam yang lalu......

Faleesha mengembuskan nafasnya panjang. Baru kali ini, ia datang bulan tapi merasa kecewa.

Ini pasti karena tadi setelah bertukar pesan dengan Ganendra via WhatsApp, lelaki itu sempat menyinggung ngidam selepas Faleesha secara detil menyampaikan pesanannya.

Karena penasaran, Faleesha pun mengecek aplikasi kesehatan di ponselnya. Lalu tersadarlah ia bahwa telah terlambat menstruasi kurang lebih dua puluh empat hari, meleset jauh dari prediksi bulanannya.

Secercah harapan muncul dalam dirinya, menjadi seorang Ibu tentu saja masuk kedalam salah satu impian hidupnya. Ia begitu mendambakan kehadiran buah hati, setelah bertahun-tahun menahan panas telinga mendengar orang-orang sekitar yang terus saja mendesaknya untuk menikah lantaran umurnya yang memasuki kepala tiga.

Tapi dua jam kemudian, ia mendapati bercak darah yang memberi tanda bahwa red day hari pertamanya dimulai.

Dan disinilah ia, di dalam toilet tengah duduk di atas klosetnya dengan bahu menurun lantaran kecewa terhempas harapannya.

***

Teman Tapi AkadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang