37. Cerita

10.3K 646 6
                                    

Ganendra menyesap jeruk hangat yang dibuatnya dalam diam. Pandangannya teliti, fokus terpaku pada sosok Faleesha yang kini tengah duduk di sofa ruang televisi dengan Zevanya dalam dekapnya. Lelaki itu mencoba menerawang, menerka apa yang terjadi pada cintanya sehingga bersikap bak seonggok daging tanpa jiwa.

Apa ada sesuatu yang terjadi saat ia tak disini?

Pertanyaan itu bolak-balik mandir di kepala Ganendra, mendesaknya memaksa minta segera ditemukan jawabannya.

Tapi tiga hari berlalu sejak insiden Faleesha yang nampak takut pada tangis buah cintanya sendiri, perempuan itu masih bungkam.

Kerap Ganendra dengar tangisan dini hari yang menyayat hati.

Jarak pun seakan dibentang Faleesha, menciptakan tembok pertahanan yang sukar digapai apalagi dihancurkan.

Ganendra menarik nafasnya dalam sebelum berjalan menyambahi Faleesha, berniat mendekat karena ini bukanlah pertanda yang baik jika dibiarkan berlarut.

"Sayang udah makan?" Ganendra menyapa, membelai ringan surai Faleesha yang terkesiap akan kehadirannya.

Faleesha menggeleng, "Belum kayaknya."

"Mau aku ambilin? Aku ambilin ya? Biar makan."

"Nggak usah. Nanti aja aku makan sendiri." Tolak Faleesha merasa tak enak hati jika mesti merepotkan Ganendra yang baru pulang kerja lima belas menit yang lalu.

Ganendra mengulas senyum tipis, "Nggak ngerepotin. Aku juga mau makan. Bareng ya kita makannya?"

Keduanya beradu pandang. Tersurat tatapan ragu dari kilat bola mata Faleesha yang segera ditepis Ganendra, "Nggakpapa. Sepiring berdua aja, biar kayak jaman masih kuliah dulu, ya nggak?" goda Ganendra menaik-naikkan kedua alisnya.

Faleesha terkekeh, "Boleh."

"Oke. Tunggu ya. Kali ini sendoknya satu aja, soalnya udah sah." Katanya diakhiri dengan kerlingan genit.

Sejurus kemudian, lelaki itu kembali dengan sepiring penuh nasi bertemankan lauk pauk berupa ayam goreng, telur dadar ditambah sayur capcay.

Senyum mengembang di wajah Ganendra sekembalinya ia dari dapur, "Enak banget keliatannya kan? Kamu pasti laper."

"Aku nggak bisa nyuap tapi, ini lagi gendong Zeva."

"Ada aku."

"Kamu mau gendong?"

"Nggak. Aku bisa nyuapin kamu maksudnya."

Faleesha tertawa renyah. Sudah lama sekali sejak keduanya melontarkan kelakar semacam ini. Sudah lama pula ia rasa tenggelam sendiri dalam ruang sesak yang gelap tanpa sinar.

"Baca doa dulu yang." Titah Ganendra mulai membaurkan kuah capcay dengan nasi putih.

Faleesha mulai memejamkan mata, bersiap merapalkan doa.

"Yang maksudnya sekalian diucapin, biar aku aminin sekalian."

Faleesha mendelik, "Haish! Si repot ini!"

Ganendra nyengir, "Marah-marah muluuu, cium juga nih!" ancamnya yang dihadiahi sentilan di dahi.

"Cium aja itu wortel!"

"Emang nggak kangen apa cium aku?"

"Aku mau mulai doa."

"Sok-sokan mengalihkan, biasanya juga paling getol masalah gini."

"Ganendra." Faleesha berucap penuh penekanan.

Ganendra terkekeh, "Iya, iya, udah mulai ayo berdoa."

Faleesha lantas merapalkan doa, sebagai rasa syukur atas karunia Tuhan yang dilimpahkan kepadanya.

Selepas berdoa, Ganendra pun mulai menyendokkan sesuap nasi beserta lauk pauk ke dalam mulut Faleesha.

"Makan yang banyak ya Mama." Celetuknya tersenyum cerah.

Faleesha balas tersenyum.

"Kamu juga makan."

"Iya, nanti abis kamu."

"Maksudnya apa abis aku?"

"Ya ini jatah kamu."

Faleesha terbelalak, "Ganendra jangan macem-macem deh! Itu nasi lima centong kamu suruh aku makan sendirian?!"

"Kamu kan lagi menyusui Fal. Kata Mama sama Bunda, makannya harus banyak, biar asinya lancar, biar kamu banyak tenaga juga."

"Ya tapi nggak segitu juga dong aku sendirian makan."

"Duh bawel banget. Yaudah nih aku bantuin." Lerai Ganendra yang segera menuntaskan tuntutan cacing-cacing dalam perut.

Faleesha menarik sudut-sudut bibirnya membentuk senyum kecil. Tangan sebelah tangannya terangkat, membelai lembut pipi Ganendra, "Makan yang banyak."

Semburat merah sontak muncul di pipi Ganendra. Buru-buru pria itu mengalihkan pandangan, merasa malu karena masih saja salah tingkah diperlakukan demikian.

"Dih saltingan banget."

"Ya kamu jangan tiba-tiba gitu dong!"

"Tadi aja kamu begitu aku biasa aja tuh."

"Y-Ya kita kan beda!"

"Zeva, Papa kamu ternyata masih aja saltingan, udah kayak abege puber. Btw, kalau diinget-inget, dulu Papa kamu tuh paling lempeng tau mukanya dibanding temen-temennya yang lain. Pokoknya dia nggak asik deh, nggak ekspresif." Faleesha beralih mengajak Zevanya yang tengah terlelap bicara.

Ganendra melotot, "Aku ini bukan lempeng! Tapi cuma mau terbuka sama orang-orang tertentu!" elaknya memberi alasan.

Faleesha memutar bola matanya malas, "Dengerin tuh pembelaan nggak jelas Papa kamu. Jelas-jelas dia nggak asik dulu, mana kerjaannya suka ngajak ribut Mama terus. Haduh pokoknya Mama tuh dulu sering ngucap minta ampun sama Tuhan biar nggak dapet pacar macem Ganendra."

"Kasian, doanya diabaikan Tuhan." Cerocos Ganendra tersenyum mengejek.

"Nggakpapa. Kalau Tuhan ngabulin doa Mama, Zeva nggak akan ada disini." Sahut Faleesha menatap malaikat kecil dalam dekapnya penuh cinta.

Wanita itu seakan kembali menemukan makna setelah sebelumnya sempat ditelan risau akan ketidakmampuan lagi ketidakpercayaan akan diri sendiri.

Sorot mata Ganendra melunak, "Fal,"

"Hmm."

"Kalau ada apa-apa, cerita ya. Aku mungkin nggak bisa ngasih solusi terbaik buat kamu, tapi seenggaknya jangan pendem semua sendiri. Sedih kamu, marah kamu, seneng kamu, itu tanggungan aku sejak hari aku jabat tangan Ayah dan janji di hadapan Tuhan atas kesanggupan pemindahan tanggung jawab yang sebelumnya ada di pundak Ayah."

Faleesha terdiam.

"I can't promise you nothing but I'll try my best, okay?"

Faleesha masih tetap bungkam.

"Sekarang buka dulu mulutnya, ini makan lagi,"

Faleesha menatap Ganendra lurus tepat di manik mata.

Tangan Ganendra berada di udara, telah siap meluncurkan sesuap nasi masuk dalam mulut Faleesha.

"AAAAAA." Ajak Ganendra membuka mulut lebar-lebar.

"Bentar, aku mau ngomong." Faleesha memundurkan kepalanya.

Kedua alis Ganendra bertautan, "Ngomong apa?"

"Apalagi kalau bukan aku sayang kamu."

"ABA-ABA DULU KENAPA SIH KALAU MAU BEGITU?!"

"Sengaja. Tuh, sekarang gak cuma pipi yang merah, nambah telinga." Celetuk Faleesha santai dan kembali memenuhi mulutnya dengan nasi beserta lauk yang dipotong kecil-kecil oleh Ganendra.

***

Teman Tapi AkadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang