11. Layu

10.8K 884 25
                                    

Faleesha merapatkan diri pada Ganendra. Lengannya ia kaitkan erat-erat dengan lengan atas suaminya. Suasana rumah besar yang berlokasi di salah satu perumahan elit di kawasan Tebet itu ramai dipenuhi kendaraan roda empat dari tamu-tamu yang hadir di acara nujuh bulanan dari Laras, istri Gilang, sepupu Ganendra.

Perempuan yang usianya dua tahun lebih muda dari Faleesha itu dari kejauhan masih nampak sibuk mengasuh bocah berumur lima tahun yang merupakan anak pertamanya, sedang anak keduanya terlelap anteng di pelukan Gilang, sang Ayah yang duduk tepat di sampingnya.

Ganendra melepaskan lilitan tangan wanitanya, untuk digenggam seraya berjalan masuk. Hari ini, keluarga besarnya dari Jogjakarta turut hadir memenuhi undangan tuan rumah. Tak terkecuali Budhe Ajeng, yang sempat absen kala hari pernikahannya tempo lalu lantaran tengah menemani putri bungsunya mendaftar kuliah di luar kota.

Wanita berjilbab hitam panjang dengan lipstick merah bata itu berjalan menyambahi keduanya, "Nendra," panggilnya dengan logat yang kental.

Faleesha melirik suaminya, meminta jawaban karena ini kali pertamanya melihat wanita bertubuh gempal itu, "Budhe Ajeng." jawab Ganendra yang direspon dengan anggukan oleh Faleesha.

Keduanya lalu mencium tangan Ajeng seraya membungkuk sebagai tanda sopan santun.

"Ini istrinya Nendra ya? Sopo ya jenenge? Lali aku. Fanisa? Farisya?"

"Faleesha, Budhe." koreksi Faleesha mengulas senyum tipis.

Ajeng lantas tertawa sambil menepuk-nepuk pundak Faleesha heboh, "Oh iya, itu lah. Piye kabare, nduk? Wis isi durung?"

Faleesha kembali menoleh ke arah Ganendra, menuntut translate lantaran dirinya tak mengerti dengan bahasa yang digunakan Ajeng.

"Budhe, pake bahasa indonesia aja. Istriku kurang paham, bukan orang jawa soalnya," jelas Ganendra.

Faleesha disampingnya tersenyum kikuk.

"Ohh, nggak jadi tho sama yang kemarin mau dikenalin Eyang? Yang orang Utara itu,"

Kening Faleesha berkerut, hah?????

Bola mata Ganendra membesar, raut wajahnya mulai panik, "Nggak, Budhe. Ini temen kuliahku." jelas Ganendra buru-buru menyudahi topik yang digiring Ajeng.

Wanita itu lantas mengangguk, "Gimana kabarnya, nak? Sudah isi belum?" tanya Ajeng mengulang pertanyaannya dengan bahasa yang dipahami Faleesha.

"Ohh, baik alhamdulillah Budhe. Belum, kebetulan belum dikasih rejekinya."

Sebenarnya, Faleesha lelah tiap kali setelah ia menikah, pertanyaan yang sama selalu berulang.

Dulu sebelum ia menikah, orang-orang gemar mengajukan pertanyaan 'kapan nikah?' Sekarang, setelah ia menikah, pertanyaan 'kapan punya anak?' pun terulang lagi seakan menjadi pertanyaan basa-basi untuk membuka percakapan.

"Jangan ditunda-tunda, nduk. Nendra juga nikah lama, udah tua umurnya baru menikah. Kamu umur berapa?"

"Aku tiga puluh, Budhe."

"Nah kan, kamu juga udah tua. Jangan karir-karir terus, pikirin suamimu, mertuamu itu kepengin banget cucu dari Nendra, Eyangnya juga nunggu. Disegerakan yah, nanti keburu layu."

Faleesha meneguk ludahnya seraya mengangguk. Layu.

"Budhe dulu seumur kamu anaknya sudah lima, ini kamu satu aja belum gimana tho. Perempuan itu setinggi apapun pendidikannya, ujungnya di dapur aja, nduk. Sudahi lah cita-cita ketinggian, urus suami, berbakti."

Dada Faleesha naik turun menahan amarah dalam dirinya yang perlahan menyentuh puncak. Ia disini untuk menghadiri syukuran nujuh bulanan, bukan untuk diberi ceramah yang isinya terus memojokkan begini.

Teman Tapi AkadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang