32. LDR

7.2K 642 11
                                    

Faleesha mengerucutkan bibir, sejak sepuluh menit yang lalu, lilitan tangannya di tubuh kokoh Ganendra tak kunjung terurai.

"Disini aja.." rengeknya memelas.

Ganendra menatap Faleesha prihatin. Sebelah tangannya terangkat, membelai ringan surai cintanya yang sedikit berantakan karena belum lama terbangun dari tidurnya, "Aku juga maunya disini aja sayang. Tapi nggak bisa." sesalnya.

"Yaudah, aku yang ikut kamu." usul Faleesha tak kenal menyerah.

Ganendra mengulas senyum, "Aku juga maunya gitu. Tapi ini, perut kamu udah gede, aku yang takut sendiri." katanya sambil mengelus perut buncit Faleesha.

Hari perkiraan lahir buah hati mereka semakin dekat. Tiga sampai empat minggu lagi maksimum. Segala persiapan pun telah rampung.

Menjelang hadirnya hasil cinta mereka, Faleesha kian bersikap manja pada Ganendra. Perempuan yang biasanya dapat terlelap di segala kondisi itu belakangan ini tak dapat tidur sebelum ada Ganendra yang menggenggam tangannya, atau Ganendra yang mengelus puncak kepalanya hingga terjun ke alam mimpi.

Ganendra pula tak melayangkan protes. Pekerjaan itu menurutnya lebih mudah ketimbang pengorbanan Faleesha yang mesti memboyong perut besarnya kemanapun dan kapanpun.

"Kalau udah selesai langsung pulang." pesannya masih tak rela.

Di pukul empat pagi ini, Ganendra dijadwalkan akan berangkat ke bandara untuk penerbangan ke Bali jam setengah tujuh nanti. Lelaki itu punya agenda bisnis selama delapan hari disana, entah mengurus apa, dijelaskan pun Faleesha tak paham.

"Iyaa sayangku, ngapain sih aku juga jalan-jalan, nggak ada kamu kan nggak seru."

Faleesha manggut-manggut.

"Jangan sedih begitu dong, masa perlu aku bolak-balik kerjanya? Nggakpapa sih, kalau kamu nggak rela, aku siap." lanjutnya tiba-tiba.

Faleesha melambai-lambaikan tangannya di udara, "Jangaan! Aku nggak sedih, nih, aku senyum."

Sudut-sudut bibirnya ditarik membentuk senyuman.

Ganendra yang gemas pun langsung meringkas jarak antara mereka, menangkup pipi tembam Faleesha, kemudian menghujaninya dengan kecupan.

"Gemes banget, rasanya mau aku selundupin di koper."

"BOLEH! AYO, MASUKIN AKU KE KOPER!" celetuk Faleesha bersemangat.

Ganendra terkekeh.

"Beneran aku yang nggak rela ninggalin kamu deh kalau gini caranya."

"Yaudah, disini aja kalau gitu."

Ganendra mendekatkan kepala hingga dahi mereka menyatu, "Nanti kurang modal kita buat lahiran sayangkuu." katanya sambil menggesek-gesekkan hidung isyarat gemas.

"Kamu di rumah aja, aku cari duit."

Tawa Ganendra meledak.

"Aku yang urus rumah ya?"

Faleesha mengangguk.

"Mas, taksinya udah di depan." tepat sebelum pembicaraan acak ini berlanjut, Yani, asisten rumah tangga yang dipekerjakan Ganendra sejak kandungan Faleesha menginjak minggu ke dua puluh empat menghampiri.

Ganendra mengangguk, "Iya, Mbak." sahutnya diiringi senyum ramah.

Wanita berumur 56 tahun itu lantas mengangguk, melenggang pergi sambil menggeret koper kecil Ganendra berwarna cokelat susu.

Ganendra menaruh kedua tangannya di atas pundak Faleesha, memutar tubuh istrinya hingga kini saling berhadapan.

"Makan yang banyak ya, jangan lupa minum susu, vitamin, jangan capek—"

"Ya ya ya, aku udah tau." sela Faleesha tersenyum lebar di akhir.

Ganendra tertawa kecil.

Sejurus kemudian, dibawa masuk Faleesha dalam dekap.

"Kalau mau kemana-mana kabarin aku, kalau aku telpon angkat, kalau aku chat dibales." pesannya seraya menenggelamkan kepala di ceruk leher Faleesha.

Faleesha menepuk-nepuk punggung lebar suaminya, "Ya. Udah, sana, bapak taksinya udah nungguin tuh di depan."

"Kok kamu jadi ngusir? Tadi nggak mau aku pergi."

"Sekarang aku berubah pikiran."

Ganendra menarik diri, menatap Faleesha penuh selidik, "Kenapa?"

Senyum miring terbit di wajah Faleesha, "Ada deeh."

**

[Faleesha]
Mas Ganen
Aku mau ke mall nyari makan

Dahi Ganendra mengkerut, merasa heran. Berulang kali ia mengerjap-ngerjap, berharap bahwa pesan yang baru saja dikirimkan oleh Faleesha itu hanya ilusi yang diciptakannya sendiri lantaran kelewat rindu.

Namun tidak. Sebanyak apapun ia berkedip, panggilan 'Mas Ganen' itu masih tetap ada di sana.

Salkir kali ya? pikirnya masih sibuk menyangkal fakta yang terjadi.

Menambahkan imbuhan 'Mas' sebelum nama itu sangat tidak Faleesha sekali.

Tak ingin ambil pusing, Ganendra lantas menarikan jari jemarinya di atas layar ponsel tuk mengetikkan jawaban.

[Ganendra]
Boleeeh
Kemana sayang?
Sama siapa?

Mungkin dia udah sadar kali ya, kalau gue ini cocok banget dipanggil Mas Ganen, batin Ganendra terkekeh geli.

Selang dua detik, pesan balasan hinggap di ponsel Ganendra.

[Faleesha]
Sama Devian😀😃😗
Yaa boleh yaaa?

Refleks, Ganendra menggebrak meja hingga menarik perhatian orang-orang di sekelilingnya.

Pantes manis banget pake Mas Ganen segala, taunya mau ngajak Devian

[Ganendra]
Berdua aja?

[Faleesha]
Nggakk, rameee kokkk sama temen kamu yg lain jugaa

[Ganendra]
Hmm kenapa kalian ngadain acara pas aku pergi?☺️

[Faleesha]
Kalau nggak diizinin nggakpapaa, aku order aja dari rumah aja makanan yg padahal aku ngidam2 bgt harus makan disana😄

[Ganendra]
Fungsi Devian apa?

[Faleesha]
Nyupir sama bawa barang😀
Aku masih boleh nyetir sendiri kah?
Kalau boleh, aku jalan sendiri gapapa gausah sama devian
Temen2 kamu yg lain bawa keluarga juga masing2, yg sedia kosong cuma devian hehe

[Ganendra]
Jadi kayak kumpul antar keluarga ya...
Suami kamu devian tapinya

[Faleesha]
Kalau nggak boleh nggakpapa

Ganendra menghela nafas panjang. Hatinya sudah memanas, diberi bahan bakar dari kabar bahwa Devian yang akan menemani Faleesha di sana.

Memang seharusnya ini tak perlu dipermasalahkan. Devian adalah teman baiknya, mungkin pergi bersama Devian adalah opsi terbaik ketimbang membiarkan Faleesha naik kendaraan umum sendirian.

Tapi dasar, cemburunya tak tahu tempat.

Ganendra lantas menyandarkan tubuhnya pada kursi, memejamkan mata barang sekejap tuk menetralkan emosi.

Hingga akhirnya...

[Ganendra]
Ya, boleh. Tapi jaga jarak, minimal 500 meter dari devian

***

Teman Tapi AkadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang