14. Let it Burn

11.7K 879 9
                                    

Seharian ini, intensitas Ganendra menghubungi Faleesha lebih intens ketimbang biasanya. Hal ini dikarenakan tak lain tak bukan pertengkaran mereka tempo hari.

Lelaki itu menawarkan wanitanya makanan, sebagai teman bagi Faleesha yang nampak akan pulang larut malam ini karena pesanan kuenya membludak menjelang hari besar keagamaan. Cepat ditolaknya ide tersebut. Selain tak ingin memperpanjang percakapan dengan Ganendra, ia juga sedang tak menginginkan apa-apa.

Ganendra kembali menawarkan diri tuk menjemput, yang tak luput dari penolakan.

Selang tiga puluh menit kemudian, Faleesha dibuat keheranan dengan pengemudi ojek daring yang mengantar beberapa jenis makanan dalam waktu berdekatan.

Ia pikir ini dari Ganendra, maka segera dibagi-bagikannya dengan para pekerja yang ikut lembur.

Selepas menandaskan semua hidangan yang tersedia, wanita itu lantas menghubungi Ganendra, bertanya kenapa lelaki itu mesti repot-repot mengirimkan meski sudah ditolaknya mentah-mentah.

Aku nggak ngirim itu

Siapa yang ngirim itu?

Namun kedua kalimat itu yang menjadi balasannya. Faleesha mengernyit heran menatap layar ponselnya, bercanda?

Ia terus mendesak Ganendra tuk mengaku, namun lelaki itu kukuh dengan jawabannya.

Lantas tamatlah ia.

Ganendra adalah sosok laki-laki sempurna, menurutnya, kecuali perihal kesulitannya mengontrol rasa cemburu.

Sudah begitu, sejak dulu.

Faleesha membasahi bibir bawahnya, gugup.

Kembali ia mengirimkan pesan kepada cintanya.

[Faleesha]

Bisa jemput aku nggak?

[Ganendra]

Nggak. Sekarang aku ngantuk.

Dan begitu dibalas, lelaki itu telah mematikan ponselnya sehingga balasan membujuk dari Faleesha tak sampai pada Ganendra.

Faleesha memejamkan matanya sambil menjenggut rambutnya, salah sudah ia ambil langkah.

**

"Mbak Leesha, itu di depan ada suaminya." kala Faleesha tengah fokus mengerjakan laporan keuangan hariannya, salah seorang perempuan muda berambut pendek bernama Vivi menepuk pundaknya.

Faleesha, yang sebelumnya tenggelam dalam lantunan lagu yang mengalir dari airpods yang menyumpal kedua telinganya sontak melepaskan benda tersebut, "Hah? Apa Vi?" ia meminta gadis muda itu mengulang perkataannya barusan.

"Itu, Mbak, di depan ada suaminya." ulang Vivi mengarahkan dagunya ke daun pintu berkaca transparan. Kontan, Faleesha mengubah arah pandangnya sesuai dengan arah kemana kepala Vivi mengarah.

Ganendra.

Di sana, berdiri seraya mengibas-ngibaskan air yang menempel di payung merah hatinya.

Faleesha mengangguk sambil tersenyum, "Makasih, Vi. Mau pulang kamu?" tanya nya menengok penampilan Vivi yang telah membungkus tubuhnya dengan jas hujan warna hijau neon.

"Hehehe iya, Mbak. Pamit pulang yaa, Mbak." katanya seraya membungkuk singkat.

"Yuk, sekalian aku ke depan." Faleesha berniat mengantar Vivi sampai ke pintu, hitung-hitung sekalian menyambut Ganendra.

Kepala Ganendra tertoleh tepat setelah Vivi membuka pintu berkaca bening yang di atasnya ditempatkan kerincingan sehingga menimbulkan kebisingan tiap ada seseorang yang masuk maupun keluar dari toko.

Teman Tapi AkadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang