10. Beda

11.7K 866 7
                                    

Embusan angin menerpa wajah cantik perempuan berambut sebahu yang tengah duduk di rooftop apartemennya dengan secangkir kopi kemasan dalam genggaman. Tatapannya boleh terpaku pada ruwet macet Ibukota di jam sibuknya, namun pikirannya tetap mengawang.

Sejak hari dimana ia merasa mengecewakan Ganendra, wanita itu sedikit melipir, memberi ruang bagi dirinya yang selalu diliputi perasaan bersalah karena mematahkan sorot penuh harap suaminya kala itu.

Faleesha melirik jam tangan yang melekat di pergelangan tangan kirinya.

18:00

Sudah kurang lebih satu jam ia duduk menyendiri disini. Sengaja ponselnya ditinggalkan di apartemen dalam rangka mencari ketenangan.

Pun Ganendra yang belakangan ini rajin lembur, sehingga waktu mereka untuk bertemu di rumah semakin sempit.

Lelaki itu akan berangkat kembali sebelum pukul tujuh, dan tiba di rumah pukul sepuluh.

Faleesha mencoba memaklumi, mungkin memang suaminya juga butuh waktu untuk pelan-pelan menelan pil kepahitan akibat dijatuhkan ekspetasi.

"I've been looking for you everywhere." Saat tengah asyik melamun, sebuah suara bariton yang begitu dikenalnya menelusup indera pendengaran.

Faleesha menoleh, mendapati Ganendra berdiri tak jauh disana, masih dengan seragamnya yang kini kancingnya telah diloloskan sepenuhnya sehingga nampak pula kaus hitam polos yang menjadi dalamannya.

Wanita itu mengulas senyum kecil, lalu bangkit dan setengah berlari meloncat untuk memeluk Ganendra yang telah bersiap menangkapnya.

hap!

Tangan kokoh Ganendra melingkar di sepanjang pinggang Faleesha, sedang Faleesha mengalungkan lengannya di leher Ganendra, "Kok udah pulang? Tumben?" tanyanya menatap lelaki itu tepat di manik mata.

"Kayaknya nggak suka banget kalau aku pulang cepet?" balasnya berpura-pura sewot.

"Ya sedikit nggak suka, sih. Kalau kamu rajin lembur kan duitnya nambah banyak, kalau dikit nanti duitnya—"

cup

Bola mata Faleesha melebar tatkala Ganendra tanpa aba-aba memotong ucapannya dengan cara mengecup singkat bibir tipisnya yang berwarna merah muda.

Wanita itu hendak melayangkan protes, tapi sebelumnya ia tutupi dulu bagian bibirnya menggunakan telapak tangan, "HAPHAAN HIH HNGGA JHELHAS,"

Ganendra terkekeh, "Apaan sih? Coba kalau ngomong tuh mulutnya dibuka." Ledek Ganendra mencoba menarik telapak tangan istrinya untuk menjauh.

Faleesha menggeleng kuat-kuat.

"Yaudah diem aja kalau begitu." Putus Ganendra kembali memangkas jarak diantara mereka, menenggelamkan kepalanya di perpotongan leher Faleesha seraya menghirup aroma tubuh istrinya dalam-dalam.

Faleesha bergerak-gerak kegelian, "ISH JANGAN NAFAS DISITU JUGA DONG! PANAS NIH!" omelnya lantaran selepas dihirup, Ganendra ikut mengembuskannya di tempat yang sama.

"Bawel banget, cium lagi nih?"

"Gue jambak ya ubun-ubun lu kalau sampe berani nyosor-nyosor lagi." Peringat Faleesha yang direspon dengan tawa oleh Ganendra.

**

"Cerita dong, hari ini kamu ngapain aja?"

Tangan Faleesha yang sebelumnya aktif bergerak kesana-kemari mengoleskan berbagai serum juga krim di wajahnya sebagai rutinitas malam sebelum tidur mendadak berhenti.

Kepalanya tertoleh, menatap Ganendra yang tengah menatapnya antusias.

Semenjak menikah, mereka memang punya rutinitas melakukan pillowtalk. Topiknya beragam, tapi yang paling sering diangkat adalah tentang apa saja yang masing-masing mereka lakukan di hari itu.

Baru saja mulut Faleesha hendak bercerita, Ganendra mendadak memotong ucapannya, "EH BENTAR DULU DEH, AKU MULES, SEBENTAR," pamitnya langsung berlari kecil menuju kamar mandi.

Dasar orang aneh, mau aja lagi gue nikah sama modelan begitu, batinnya geli.

Perempuan itu lantas menyelesaikan rangkaian skincare-nya sehingga ketika suaminya nanti kembali, ia dapat bercerita di atas kasur.

Tepat ketika Faleesha selesai dengan agendanya, pun Ganendra juga selesai dengan urusannya. Dengan semangat, Ganendra berlari kecil lalu melompat ke atas kasur layaknya bocah berumur enam tahun.

"Siniiii!" panggilnya menepuk-nepuk lahan kosong di sampingnya, meminta Faleesha untuk mengisi kekosongan tersebut.

Faleesha bangkit lalu berjalan pelan seraya merapikan piyamanya yang sedikit berantakan. Wanita itu merebahkan tubuhnya tepat di samping Ganendra yang menjadikan lengan berototnya sebagai bantalan.

Dalam temaram lampu, keduanya beradu tatap.

"You okay?" tiba-tiba, sebuah pertanyaan lolos dari bibir Ganendra.

Faleesha menautkan kedua alisnya, tentang apa pertanyaan ini? Ke arah mana percakapan ini?

"I... guess so?" jawabnya sedikit meragu.

Tatapan Ganendra berubah sendu, tangan sebelah kanannya terangkat membelai lembut pipi wanitanya yang ia baru sadari kian tirus, mungkin karena terlalu gila pada pekerjaannya belakangan ini.

Bukan tanpa alasan lelaki itu kerap menambah jam kerjanya belakangan ini. Ganendra sadar bahwa Faleesha merasa sedikit banyak terluka dengan peristiwa beberapa waktu lalu, tapi wanita itu begitu pintar menutupi pula mengelola emosi.

Ganendra memberikan ruang bagi Faleesha untuk menyembuhkan dirinya. Dalam pikirannya, kehadirannya yang terlalu sering mungkin bisa menambah luka bagi Faleesha. Jadi biarlah ia yang mengalah.

"Tadi kamu telponan sama Aqila bahas apa aja?" tak mau berlarut dalam kesenduan, Ganendra mencoba mengalihkan topik pembicaraan.

Raut wajah Faleesha berubah cerah, senyumnya terbit hingga matanya menyipit berbentuk bulan sabit, "Dia mau ngadain nujuh bulanan, tapi mintanya dilaksanain lusa. Kan aneh, emangnya orang-orang EO itu titisan bandung bondowoso apa yang bisa ngewujudin dalam semalem?" katanya geleng-geleng kepala.

Ganendra tertawa renyah. Adik iparnya yang satu itu memang unik, kelakuannya sebelas duabelas anehnya seperti Kakaknya, "Terus terus? Nggak jadi dong?"

"Ya nggak lah! Orang Ayah juga sampe bingung, ini anak paling gerabak gerubuk dari dulu. Kata Ayah begitu hahahaha."

"Hahahahaha, terus jadinya kapan?"

"Minggu depan atau dua minggu lagi, yang jelas persiapannya harus dimatengin lagi."

Ganendra manggut-manggut, "Eh iya, hari Minggu kamu kosong nggak?"

Faleesha terdiam berpikir seraya mengusap dagunya, "Iya, kayaknya sih kosong. Kenapa?"

"Mau nemenin aku ke nujuh bulanannya istri Mas Gilang, nggak?"

"Mas Gilang sepupu kamu?"

"Iya."

"Boleh..."

Ganendra mengangguk puas.

"EH, bukannya Mas Gilang belum lama ini ya anak keduanya lahir? Sekarang anak ke berapa?"

"Ketiga."

"Loh? Cepet amat?"

"Iya, kebobolan katanya."

"Waduh."

"Hehehehe."

"Ngapain haha hehe?"

"Hehehe, yuk."

***

Teman Tapi AkadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang