34. Selamat Datang

8.9K 662 3
                                    

"Kamu ngapain?"

"Aku mau ambilin kamu kursi roda dulu bentar Fal."

Faleesha terkekeh seraya melepas cekalannya di pergelangan tangan Ganendra yang kini nampak kebingungan.

"Kok ketawa?"

"Lucu soalnya."

Ganendra mendelik, "Apa lucunya sih? Orang bener juga, malah diketawain." ia memprotes, makin memperjelas diri yang dihantam gugup lantaran dalam beberapa jam kedepan, mungkin saja statusnya akan segera bertambah, dari yang hanya suami menjadi ayah.

Faleesha mengulas senyum, mengusap lengan atas Ganendra pelan, "Nggak usah sayang. Aku masih kuat jalan kok," ujarnya mencoba menenangkan Ganendra yang sorot mata khawatirnya tak pernah luruh sejak pertama ia mengaduhkan kontraksi.

Ganendra menghela nafas panjang.

Tangannya terulur.

Hampa dalam jarak antar jari jemari itu segera penuh, diisi dengan telapak tangan Faleesha hingga keduanya saling bertautan.

Ganendra menarik cintanya dekat, memberikan sebuah kecupan tepat di pucuk kepala Faleesha.

"Ayo masuk."

**

Bola mata Faleesha bergerak kesana kemari, mengikuti pergerakan Ganendra yang gatal rasanya ingin ia oleskan lem di sekujur telapak kakinya hingga pria itu dapat berdiri diam di satu tempat.

"Ganendra," panggil Faleesha akhirnya dengan mulut yang tetap aktif mengunyah apel.

Ganendra menoleh, buru-buru berjalan menyambahi istrinya, "Ya? Kamu butuh sesuatu? Udah mulai sakit banget?" ia diberondong pertanyaan.

Faleesha terkekeh lantas menggeleng.

"Butuh kamu buat diem. Nih, sini, duduk jangan mondar-mandir, aku pusing liatnya." katanya seraya bergeser, memberi tempat yang cukup di atas ranjang rumah sakit yang luas tuk Ganendra.

Ganendra tampak ragu.

"Sinii, duduk, temenin aku," perempuan itu menepuk-nepuk sisi ranjangnya, "Mau apel nggak? Nih, barengan aja ngabisinnya." timpalnya lagi menawarkan apel segar yang telah dipotong-potong kecil.

Ganendra akhirnya mendudukkan bokongnya di tempat yang disediakan Faleesha.

"Kamu kalau sakit bilang ya Fal." entah kalimat ini sudah berapa puluh kali diucapkannya sejak dari perjalanan hingga sampai di rumah sakit.

Faleesha manggut-manggut, mencoba memahami perasaan risau Ganendra, "Iyaa sayangku."

Tanpa aba-aba, Ganendra meringsek maju, melabuhkan kepala Faleesha ke dadanya, "Denger nggak?"

"Apa?"

"Aku deg-degan banget."

Faleesha meledakkan tawanya, "Denger. Udah bisa buat intro kongchu sih kayaknya nih. Ayo, kerasin terus, pake speaker sekalian biar satu rumah sakit tau kamu lagi deg-degan abiiis."

Ganendra menarik dirinya lagi, menatap Faleesha sambil mencibir, "Heran, suami lagi gugup tuh tenangin kek. Ini mah nggak, dibercandain terus kerjaannya." gerutunya mengerucutkan bibir.

Faleesha tertawa renyah, "Lagi lo apa sih yang digugupin? Yang mau berojol juga gue kan."

"Ck! Ya lo pikir gue nggak deg-degan juga? Kan lo berojol juga gara-gara investasi dari gue. Ya wajar dong kalau deg-degan? Apalagi ini kali pertama gue."

"Utututu tayangkuu."

"Kan, diledekin lagi!"

"Apa sih?! Sensi banget lo Pakmil."

**

"Ganendra... sakit."

Ganendra menggigit bibir bawahnya, menahan laju air mata yang hampir lolos dari pelupuk matanya lantaran tak kuasa menyaksikan Faleesha yang kesakitan begini.

Cintanya itu kian dekat dengan waktu mengantarkan buah cinta mereka hadir di dunia. Mungkin dalam satu atau dua jam lagi setelah semua siap, Faleesha akan segera dipindahkan ke ruang persalinan.

Ganendra mengeratkan pelukannya, mengusap-usap dari pinggul naik ke atas pinggang Faleesha yang pucat sudah wajahnya, "Iya, sebentar lagi ya sayang." katanya lembut.

"Sakit banget. Aku nggak sanggup."

"Ssshhh, jangan ngomong begitu. Bisa, kamu bisa, kamu sanggup." Ganendra menanamkan kalimat penyemangat.

Tubuh Faleesha kian melemas, ambruk dalam peluk Ganendra yang hari ini rela dijadikannya samsak hidup, "Besok-besok kamu aja yang ngelahirin." katanya disela-sela rintihan.

Ganendra tertawa, "Iya, boleh. Kalau kita bisa gantian mah ayo, aku mau."

"Aku—aww, udah, aku nggak mau banyak omong dulu deh, sakit banget."

"Semangat sayangku, sebentar lagi kita ketemu si beb."

**

Ganendra menghapus peluh yang mengalir dari dahi Faleesha yang tengah mengejan, membawa segenap nyawanya, berjuang mengantarkan malaikat kecilnya tiba di dunia.

"Push lagi, Bu, sebentar lagi."

Genggaman di tangan Ganendra kian mengetat lantaran Faleesha yang seakan membagi separuh dari kesakitan yang melilitnya.

Ganendra mendekat, mengecup kening Faleesha yang penampilannya luar biasa kacau sudah.

"Kepalanya udah keluar, Bu. Semangat, ayo, dikit lagi."

Mendengar penuturan sang suster kontan seakan menjadi bahan bakar bagi Faleesha tuk menuntaskan proses ini segera.

"Sekali lagi. Tarik nafas yang dalam, lalu push ya," sang dokter memberi komando.

Faleesha mengangguk.

Maka sesuai dengan titah yang disampaikan, dalam sekali hentakan, sukses dihantarkannya makhluk kecil yang nyaring teriakannya menjadi melodi merdu menelusup telinga yang menggema.

Air mata Faleesha seketika meleleh, beriringan dengan Ganendra yang pecah tangisnya.

"Selamat ya Pak, Bu, anaknya perempuan." dokter wanita berumur kurang lebih lima puluh tahunan itu tulus menyampaikan rasa suka cita.

Faleesha mengangguk.

Ganendra mendekat, menempelkan keningnya dengan pelipis Faleesha, membisikkan kata terima kasih berulang kali atas perjuangan Faleesha dalam membawa buah hati mereka ke dunia.

"Ini Bu bayinya, selamat ya Pak, Bu." selepas membersihkan buah cinta mereka, seorang suster menyambahi Faleesha, menempatkan sesosok makhluk kecil itu dalam hangat peluk dekapan Ibunya.

Air mata Faleesha kian melaju deras.

"Selamat datang, sayangku." bisik Faleesha masih terhanyut dalam suasana haru biru.

Ganendra mendekat, menatap sang buah hati penuh kasih sayang, "Welcome, Zevanya. We've been waiting for you. Semoga kamu selalu dilimpahi kebahagiaan juga kecukupan sampai nanti." Ganendra ikut menyambut kehadiran anak perempuan pertamanya, menyelipkan doa di antara untaian kata yang disusun sedemikian rupa agar sekiranya sudi Ia kabulkan.

Selepas menyelesaikan prosesi sesuai kepercayaan yang mereka anut, little Zeva kembali ditempatkan di boks kaca yang hangat.

"Sudah ada namanya, Pak? Bu?"

Ganendra mengangguk.

"Boleh silakan ditulis disini." pulpen juga kertas disodorkan.

Zevanya Gisha Andaru.

Begitu tulisan yang dibubuhkan di atas kertas oleh Ganendra. Nama indah hasil pemikiran keduanya, berisi harapan juga doa agar kebahagiaan selalu mengiringi langkahnya kelak.

***

Teman Tapi AkadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang