19. Sendok Garpu

8.6K 681 6
                                    

Semester empat, tahun kedua jadi mahasiswa.

Faleesha menguap. Waktu masih menunjukkan pukul setengah delapan malam, tapi tubuhnya sudah kelelahan meski sedari pagi kerjanya hanya mengobservasi mahasiswa baru yang baru akan mengakhiri rangkaian ospek jurusannya besok setelah perjalanan panjang yang melintang semester.

Materi akan kembali dilanjutkan pada pukul delapan. Saat ini, para mahasiswa baru tengah berkumpul di aula, masuk di waktu ISHOMA.

Sementara mahasiswa baru di sana, panitia diberi waktu bebas. Ada yang makan, ada yang bermain ponsel, mengobrol, bahkan curi-curi waktu tidur.

Faleesha tengah sendirian di sebuah saung yang letaknya tiga ratus meter dari aula. Perutnya lapar, namun malas bergerak ke atas—karena lokasi villa mereka di pegunungan, maka banyak jalan yang menanjak.

Tak berapa lama, Devian yang baru kembali dari membeli minuman hangat di luar villa menyambahinya, dengan plastik berisi wedang ronde pesanan beberapa orang.

"Sendirian aja, awas lo kesambet," pesannya menakut-nakuti.

Faleesha menjulurkan lidah, meledek, "Sereman juga elo."

Devian mendengus, "Sialan. Yaudah, tungguin, gue nyetor ini ke anak-anak dulu, nanti gue temenin." Ucapnya berlalu, berlari kecil menaiki jalanan yang menanjak terjal penuh batu.

Semilir angin menerpa wajah Faleesha. Karena villa ini berada di kawasan dataran tinggi, maka suasananya sejuk. Gadis itu merapatkan jaketnya, memejamkan mata sambil bersender di tiang gazebo.

Baru lima menit ia memejam, terdengar suara gerasak-gerusuk seseorang yang ikut bergabung dengannya.

Awalnya, Faleesha berusaha mengabaikannya, sebelum orang yang disangka-sangkanya adalah Devian menyetel musik keras-keras, seakan tak sadar bahwa ia tengah mencoba beristirahat disini.

Faleesha menghela nafas kasar, membuka kelopak matanya, "DEV! KECIL—"

Omongannya tergantung tatkala yang hadir di hadapannya kini bukanlah Devian, melainkan seorang laki-laki berjaket hitam dengan tudung yang menutupi separuh kepala, tengah bersiap menyendokkan sesuap nasi ke dalam mulut.

Ganendra.

Duduk persis di seberangnya, baru akan memulai agenda mengisi perut.

Faleesha memaling wajah, merasa malu.

"Dev siapa?" Ganendra gagal menyuap nasi, ia kembali menaruh sendoknya di piring plastik milik Ghani—meminjam, lupa bawa.

Faleesha menggeleng.

"Jangan berisik, tolong." Pintanya memutar badan hingga kini membelakangi Ganendra.

"Udah makan?"

Faleesha terdiam, ia kembali menutup mata.

"Udah makan?" pertanyaan itu berulang.

Faleesha terusik dalam tidurnya. Nanya siapa sih?! Bukan gue sih paling, palingan dia nyapa panitia yang lewat, ucapnya dalam hati meyakini.

"Udah makan?" Ganendra untuk ketiga kalinya mengulang pertanyaan yang sama. Bedanya, kali ini ia menoel-noel lengan atas Faleesha.

Faleesha langsung terduduk, mengucek-ucek matanya akibat gangguan Ganendra, "Apa sih?!" sewotnya bersidekap.

"Udah makan belom?" tanyanya seakan tak memiliki pertanyaan lain.

Faleesha menggeleng, "Belom. Kenapa? Mau nawarin makan bareng?" gurau gadis itu, sedikit berharap akan diiyakan.

Ganendra mengangkat bahu, "Nggak. Cuma basa-basi." Sahutnya.

Faleesha menggeram.

"Nggak ada basa-basi. Gue anggap lo nawarin. Sini, join makannya." Ia ingin memberi Ganendra pelajaran, agar tak lagi menganggu waktu istirahat.

Faleesha duduk mendekat, berhadapan dengan Ganendra, piring di tengah bak pembatasnya.

"Mau makan pake apa? Sendok cuma satu." Balas lelaki itu acuh, memegang sendoknya erat-erat.

Faleesha memutar bola matanya malas, "Suapin lah!"

Ganendra menautkan kedua alisnya, sewot, "Dih?! Ogah."

Sialan, malu deh gue jadinya ditolak begitu, batin Faleesha menahan rona merah di pipinya.

"Lo laper banget emang? Kenapa nggak makan?"

Faleesha mengibas-ngibaskan tangannya di udara, "Dah dah jangan kebanyakan basa-basi. Makan aja, gue liatin lo aja biar KENYANG."

Ganendra tertawa kecil.

"Gue sebenernya ada garpu." Ucapnya meraih garpu berlapis tissue dari kantung jaket.

Mata Faleesha berbinar, "Sini! Mau dong, gue juga ikut makan ya." Pintanya meraih tangan Ganendra, yang buru-buru dijauhkan lelaki itu.

"Apaan sih? Ngapain ngambil punya gue?"

Faleesha menganga, "Pelit banget. Ada garpu, ada sendok, minjem satu kenapa sih?!"

Ganendra tak merespon dengan kata. Lelaki itu menarik pergelangan tangan Faleesha, menaruh gagang sendok yang tadi dijaganya erat-erat, meminta Faleesha untuk menyapit agar tak terjatuh, "Pake ini. Gue make garpu." Jelasnya.

Hati Faleesha seketika berdesir hangat.

Ia jarang berinteraksi dengan Ganendra dalam jarak sedekat ini. Ia cenderung akan mengajak bicara kawan-kawannya yang lain, atau siapa pun selain Ganendra jika dalam kondisi ramai, karena ada secuil perasaan di dalam dirinya yang takut tuk berhadapan dengan Ganendra. Entah apa penyebabnya.

Mungkin karena manik matanya yang kerap kali menyesatkan, menguncinya sehingga tak menemukan jalan keluar dari tersihir pesona.

Seperti malam ini, contohnya.

Bersiram sinar rembulan, berteman suara nyaring serangga, ia merasa tersesat dalam Ganendra.

Jantung Faleesha berdegup cepat.

"Makan. Jangan lupa berdoa, gue nggak mau makan ditemenin setan." Pesannya memulai agenda.

Faleesha tersentak, ditarik kembali ke realita akan Ganendra yang menyebalkan. Ganendra yang Ganendra.

Ia dalam diam mengamati lelaki yang kesulitan menyatukan nasi dalam piring.

"Bener nih nggak mau tukeran pake sendok?"

Ganendra mengangguk, "Pake aja."

Malam itu, bermodalkan sendok dan garpu, sebuah perasaan tumbuh dalam diri Faleesha. Perasaan yang selanjutnya berkembang, mendesak untuk diungkapkan namun tak pernah ia dapat keberanian tuk mengutarakan.

***

Teman Tapi AkadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang