Ganendra betul-betul menepati janjinya.
Dua hari belakangan ini, tak ada lagi pesan maupun telepon yang mampir tuk sekadar bertanya ada rencana apa hari ini, mau kemana, lagi apa.
Seharusnya ini selaras dengan ledakan Faleesha tempo lalu.
Tapi bukan malah merasa lega, ia makin dihantui perasaan bersalah.
Di satu sisi, ia memberontak, berpendapat bahwa ia dapat dengan bebas pergi kemana saja tanpa meski dikekang. Di sisi lain, ia merasa dirinya keterlaluan. Sudah tidak minta maaf betul-betul, ditambah acara marah-marah pula.
Sikap Ganendra juga lebih dingin ketimbang biasanya.
Meski mereka terbiasa tidur tanpa berhadapan satu sama lain, tapi suasana yang kali ini tercipta terasa amat berbeda.
Wanita itu merasa tak tenang dalam tidurnya. Jadilah ia gerasak-gerusuk sendiri, mencari posisi ternyaman.
Hal ini yang kemudian membuat Ganendra ditarik dari alam mimpinya.
Lelaki itu memutar tubuh, berhadapan dengan Faleesha yang kini tengah balas menatapnya.
"Kenapa? Butuh sesuatu? Mau aku ambilin?"
Meski belakangan ini bicaranya jadi irit, namun porsi perhatiannya masih sama.
Faleesha menggeleng, "Nggak."
Ganendra manggut-manggut, "Yaudah, tidur lagi." Katanya hendak kembali berputar, yang segera ditahan Faleesha.
"Madep sini aja." Pintanya malu-malu.
Ganendra mengangguk patuh.
"Tidur lagi." Ulangnya kali ini sambil mengelus surai wanitanya lembut.
Lelaki itu kembali menutup mata. Sedang Faleesha masih setia menatap tiap inci pahatan wajah Ganendra yang dirasa hampir sempurna.
Refleks, ia mengelus perutnya yang mulai membuncit. Semoga cakepnya nular ya beb, bisiknya pada si jabang bayi.
Seakan sadar tengah diperhatikan, Ganendra lantas membuka matanya.
"Kenapa nggak tidur?"
Tangannya terangkat, mengelus bawah mata Faleesha yang gelap, "Kurang tidur nih, banyakin istirahat dong sayang."
Hati Faleesha menghangat.
"Nggakpapa mau kemana-mana juga, tapi jangan capek-capek ya." Pesannya mengulas senyum yang menentramkan.
**
Faleesha pikir, sejak obrolan ringan mereka di pagi buta tadi, Ganendra akan mulai bersikap seperti biasa.
Namun prediksinya salah.
Masih belum hadir kembali Ganendra yang kerap bertanya perihal kegiatannya hari ini.
Memikirkan kemungkinan Ganendra akan bersikap seperti ini hari ini dan seterusnya membuat Faleesha bersedih.
Ternyata terlalu bebas tak begitu menyenangkan.
Ia lebih suka diomeli Ganendra karena lupa waktu, ketimbang diberi kekuasaan sepenuhnya tuk bergerak kesana-kemari asal dapat menjaga diri.
"Beb, Mama salah ya waktu itu minta nggak usah dilarang-larang? Kangen diomelin ih sama Papa kamu," curhatnya berbicara pada buah cintanya di dalam sana.
Faleesha tertunduk lesu di sudut ruang media.
Ia berniat tuk membaca buku tadi.
Namun urung lantaran kehilangan selera.
Musik sendu mengalun lewat pengeras suara.
Hal ini tak ubahnya menambah beban hatinya.
Dan tanpa perlu waktu lama, tangis deras meluncur dari pelupuk mata.
Ia menyesali tiap kata yang keluar kala emosi menguasai, tertampar dengan salah satu ucapannya kala memberi nasihat pada Aqila menjelang hari pernikahannya, "Nikah itu berarti tandanya lo harus udah 'selesai' sama diri sendiri. Nggak boleh lagi egois, nggak boleh lagi cuma mikirin kepentingan satu sisi. Meskipun dua kepala nggak bisa disatuin, seenggaknya harus sejalan."
Dasar pinter teori doang!
"Kan! Aku cariin kamu dimana-mana, taunya disini, nyetel musik gede-gede," tiba-tiba Ganendra dengan kemeja kerja yang diloloskan seluruh kancingnya itu memasuki ruangan.
Kepalanya celingak-celinguk, mencari keberadaan sang cinta.
Lelaki itu masuk lebih dalam, "YAANG, AKU BAWA RAMEN.... KAMU KENAPA?!" buru-buru ditaruh bungkusan berisi ramen dari restoran kesukaan Faleesha di atas kursi santai ruang media, berlari kecil menyambahi Faleesha yang wajahnya sudah tak karu-karuan berurai air mata.
Ganendra menangkup wajah Faleesha di kedua sisi, "Kenapa sayang?" tanyanya sarat akan khawatir.
"Maaf."
Ganendra nampak bingung, "Maaf?"
Faleesha langsung menubruk lelaki di hadapannya, menyembunyikan wajahnya di dada bidang Ganendra, "Maaf udah ngeyel waktu itu. Jangan diemin aku lagi." Katanya sesenggukan.
Ganendra mengusap-usap punggung Faleesha pelan, "Diemin? Aku emang diemin kamu?"
Wanita itu mengangguk, "Iya. Kamu nggak lagi nanya aku mau ngapain hari ini, mau kemana, mau apa. Jangan gitu lagi. Maaf, besok-besok aku nggak akan ngeyel lagi, nggak akan lupa ngabarin atau lupa waktu lagi."
Ganendra menyenderkan kepalanya di atas puncak Faleesha, "Aku pikir kamu nggak suka lagi ditanya gitu, makanya nggak aku tanya lagi."
"Suka. Aku suka ditanya-tanya. Ayo posesifin lagi, omelin lagi, gapapa."
Ganendra tertawa renyah.
Pelukan terurai.
Keduanya saling menatap.
Senyum terkembang.
Perlahan, Ganendra menunduk, mengarahkan pandangannya pada perut Faleesha yang tengah mengandung buah cinta mereka.
Didekatkan kepalanya, menempel di perut, "Halo Adek."
"Beb manggilnya," koreksi Faleesha.
"Iya, Adek Beb. Yang, diem dulu, aku mau deep talk sama anakku."
Faleesha tersenyum geli seraya menghapus jejak-jejak air matanya. Gila ini gue kenapa jadi super sensitif sih?!
"Beb, sehat-sehat disana ya. Yang baik sama Mama. Kasih tau kalau dia mulai ngeyel, omelin aja nggakpapa, gantiin Papa. Dua hari lalu Mama kamu marah-marah, minta nggak usah ngabar-ngabarin. Eh sekarang nangis, minta diposesifin. Itu kemauan siapa Dek labil begitu? Kayaknya bukan pengaruh kamu sih ya, soalnya kan kita bestie. Jadi kamu bakal mudahin Papa kan?"
Faleesha menahan tawanya.
Ia terharu sekaligus merasa terhibur dengan monolog Ganendra.
Diusapnya lembut perut Faleesha, "Udah dulu kita curhatnya. Mama kamu suka nguping, males banget. Sampai bertemu nanti sayangku, Mama dan Papa sayang sama kamu," Ganendra menutup monolognya dengan kecupan di perut Faleesha.
"Mau juga." Rengek Faleesha mengerucutkan bibirnya.
"Mau apa? Diajak curhat?"
"Dicium. Mau dicium." Pintanya tak lagi malu-malu. Justru sekarang Ganendra yang malu.
Lelaki itu memalingkan wajahnya, "Agresif banget." Keluh Ganendra mengibas-ngibaskan tangannya di udara.
Tanpa pikir panjang, Faleesha segera menutup jarak di antara mereka.
Ditangkupnya erat-erat kedua pipi Ganendra, lantas mendekat dan mengecup bibir tipisnya singkat.
Ganendra mengerjap-ngerjap.
Tak berhenti sampai disitu. Karena selepas menyapa bibir Ganendra, Faleesha beralih menghujani tiap-tiap inci wajah Ganendra dengan kecupan-kecupan lainnya.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Teman Tapi Akad
FanfictionDulu waktu jamannya kuliah, Faleesha paling ogah berurusan sama Ganendra. Karena selain cowok itu omongannya sepedes cabe Carolina Reaper, gengsinya gede pula. Tapi hidup emang suka bercanda, mati-matian ngehindarin, eh.. ujungnya akad juga. -•-•-•...