36. Pulang

7.9K 617 20
                                    

Bokong Faleesha baru saja menyentuh bantalan sofa yang empuk sebelum tangisan yang memekakan telinga terdengar dari kamar utama yang hanya berjarak seratus meter dari tempatnya mengistirahatkan diri. Wanita itu menghela nafas panjang, memejamkan mata seraya memijit pelipisnya pelan.

Ia tidak tahu bahwa menjadi Ibu akan seberat ini.

Penderitaannya pun bertambah tatkala Ganendra—yang semestinya hadir menemani hari sembari ia menyesuaikan diri—itu pergi untuk urusan bisnis, juga Ibunya dan Ibu mertua yang batal datang lantaran mesti melaksanakan isolasi mandiri.

Hanya ada ART yang membantu meringankan pekerjaannya sedikit. Hanya sedikit, karena Faleesha merasa tak enak hati merepotkan wanita paruh baya yang sejak pagi buta itu sudah melanglang ke pasar pagi demi memenuhi menu rancangan Ibu mertuanya yang khusus diperuntukan bagi ibu menyusui.

Faleesha lelah secara fisik, yang berdampak panjang hingga berpengaruh pada psikis. Sudah lima hari dilaluinya dengan kekurangan tidur, kewalahan mengurus Zevanya sendirian.

Hampir setiap malam, wanita itu luruh di atas lantai, menangis tersedu-sedu, merasa tak mampu menjalani peran sebagai ibu. Tiap waktu dibisiknya pada sang jelita akan keras usahanya esok hari. Namun kian hari berganti, yang dirasa hanyalah usaha yang berujung sia-sia.

Faleesha menutup telinganya rapat-rapat, tak ingin mendengar tangisan yang hari ini melodinya terdengar berantakan layaknya instrumen yang dimainkan seseorang minim pengalaman.

"Fal! Astaga, itu anaknya nangis kok malah didiemin aja?!" selang beberapa saat, seruan yang disusul tepukan di pundak menarik Faleesha yang tenggelam dalam palung ciptaannya sendiri.

Itu Ganendra, yang tak lagi Faleesha ingat kapan akan kembali.

Dia disini.

Langkah kaki Ganendra terburu dibawa ke kamar.

"Iya sayang, kenapa nangis? Udah ya nak, ini ada Papa." Ujarnya mengusap-usap dada Zevanya lembut.

Kepala Ganendra menoleh, memaku pada Faleesha yang menatap kosong ke arah dinding.

Penampilannya luar biasa kacau. Kantung mata yang hitam, rambut yang dicepol asal-asalan, bibirnya yang pucat. Wanita itu seakan direnggut kilaunya.

Ganendra mendesah pelan, digerogoti perasaan bersalah lantaran membiarkan Faleesha disini sendirian.

Setelah tangis Zevanya mulai mereda, Ganendra mengembalikan buah cintanya itu kembali dalam boks.

"Main disini dulu disini ya sayang. Papa nyamperin Mama dulu." Kata Ganendra membiarkan putrinya yang terjaga itu mengeksplorasi dengan mata bulatnya.

Lelaki itu lantas kembali menyambahi Faleesha yang seperti raga tanpa jiwa.

"Fal?" panggilnya sekali.

Faleesha bergeming.

"Faleesha?" lagi, ia berupaya.

Masih sama.

"Faleesha? Sayang?" kali ini diiringi usapan pada lengan atas Faleesha.

Usaha itu berhasil, karena Faleesha langsung mengarahkan netra sesuai sumber suara.

"Kamu kenapa? Kok bengong aja? Anaknya daritadi nangis, untung aku pulang, kalau nggak mau berapa lama dia nangis disana?"

Matanya berkaca-kaca, "Maaf." Lirih terdengar suara.

"Kamu sampe tutup telinga tadi, kenapa sih? Itu ganggu kamu? Kan disamperin sebentar, ditenangin, baru mau ngapain lagi aja terserah. Jangan begitu dong Fal, kamu udah jadi Ibu sekarang, jangan pentingin diri sendiri aja."

Teman Tapi AkadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang