Ego masih setia memeluk keduanya. Baik Ganendra maupun Faleesha sama-sama bersikeras merasa tidak bersalah, dan menyalahkan satu sama lain.
Sudah tiga hari perang dingin ini berlangsung. Ganendra masih tidur di kamar tamu, kembali di pagi hari tuk mengambil setelan kerjanya barang sekejap, lalu kembali melangkah keluar.
Pula Faleesha yang belakangan ini ahli bersikap acuh. Mereka bak dua orang asing yang hidup dalam satu atap.
Meskipun di luar nampak acuh, namun perasaan keduanya sama rapuh.
"Minum susunya." seperti malam ini, saat mereka berpapasan di dapur, Faleesha hendak mengisi botol air minumnya selepas meminum vitamin di ruang tamu, namun bertemu dengan Ganendra yang entah sejak kapan hadir disana, tengah mengaduk-aduk susu hamil anjuran dokter rasa vanilla.
Wanita itu membisu, tetap melakukan niat awalnya, acuh.
Ganendra terdiam, manik matanya tak pernah lepas dari gerak-gerik Faleesha.
"Kamu denger nggak aku ngomong?" Ganendra berseru tatkala langkah kaki wanita itu membawanya mulai keluar dari area dapur.
Faleesha menoleh, menatap suaminya dengan tatapan tak suka, lantas kembali berlalu begitu saja.
Tak menyerah, Ganendra melangkah cepat, menyusul.
"Minum dulu susunya." titahnya lagi mencekal pergelangan Faleesha.
"Kamu jangan egois gitu jadi orang. Marah ya marah aja sama aku silakan, tapi anak kita jangan dikorbanin gitu," timpal Ganendra sarat akan emosi.
Faleesha menghela nafas panjang, lelah.
"Aku udah minum tadi." akunya.
Kening Ganendra mengkerut, "Kapan? Aku nggak liat kamu minum."
"Ya karena emang udah abis. Lain kali sebelum kamu nuduh aku yang nggak-nggak, cek dulu cucian piring itu gelasnya aja masih basah."
"Tunggu disini."
Lelaki itu kembali berjalan menuju rak demi memastikan pengakuan istrinya. Dan apa yang ditemuinya menjadi bukti yang sah, meskipun dalam benaknya sedikit sangsi gelas itu sebelumnya diisi dengan apa.
Keduanya beradu pandang.
Mata Faleesha berubah sendu, senyumnya getir, "Aku nggak akan setega itu juga buat bikin susah orang yang nggak salah. Tapi kayaknya kamu lebih yakin aku sanggup deh ngelakuin itu, apalagi sama anak kita."
"Fal, nggak gitu—"
"Aku tidur dulu. Susunya taro di meja aja, besok pagi lagi aku minum."
**
Karena resah, tepat pada pukul tiga pagi, Ganendra memutuskan tuk masuk ke kamar utama guna menenangkan hatinya yang gundah.
Begitu kenop diputar, ruangan gelap total.
Hanya ada satu kilau cahaya yang menelusup di balik celah pintu kamar mandi yang dibiarkan sedikit terbuka.
Kedua alisnya tertaut, tak biasanya.
Lantas lelaki itu berjalan seringan kapas, tak ingin kehadirannya mengganggu karena tujuannya tadi hanya sekadar tuk memastikan cintanya baik-baik saja.
Matanya menyipit, mencari keberadaan Faleesha di ranjang.
Kosong.
Ranjang itu kosong.
Di tengah sunyi nan senyap, menelusup suara tangisan yang menyayat perasaan.
Pelan, Ganendra kembali membawa dirinya mendekati kamar mandi.
Tangisan itu kian terdengar jelas seiring dengan langkahnya yang semakin dekat.
Kepalanya mulai mengintip seraya mencuri dengar.
Faleesha.
Terduduk luruh di lantai yang kering, tampak begitu kacau dengan wajah yang sembab dan mata memerah.
Tangisnya sesenggukan, tanda telah menahan beban.
Mestinya Ganendra menerobos masuk, memeluk juga menenangkan Faleesha apapun yang mengganggu hatinya.
Namun hal yang dilakukannya berlawanan. Lelaki itu mengambil langkah mundur tanpa suara, lalu pergi dari kamar dengan sesak yang memenuhi dadanya.
**
Seharian ini fokus Ganendra terpecah. Apapun yang dilakukannya terasa serba salah. Hari ini ia banyak melakukan kesalahan, untungnya bukan kesalahan yang fatal.
Menepi, Ganendra lantas naik ke atap gedung kantornya.
Terik matahari membakar kulit, orang-orang yang berada di area yang sama dengan Ganendra memilih tuk berteduh. Lain hal dengan Ganendra yang tampak punya perlindungannya sendiri.
Bahkan sengatan matahari siang di pukul setengah dua belas ini tak mampu mengalahkan hatinya yang berkecamuk.
Ia merutuki tindakannya yang lebih memilih tuk kabur, dibanding menyambahi Faleesha tadi, sekadar tuk mendekap, menyalurkan dukungannya.
drrt drrt
Ponsel yang berada di saku celana Ganendra bergetar.
Sebuah pesan dari nomor tak dikenal mampir di notifikasinya.
[+6281235472636]
Siang, Mas Ganendra. Saya Tina, karyawannya Mbak Faleesha. Kebetulan nomor Mas ada di nomor emergency yang ditaro Mbak Fal di meja. Mau ngabarin, Mbak Fal demam Mas, nggak kuat bangun karena kepalanya katanya keliyengan.
Saya nggak berani ngasih obat sembarangan Mas karena Mbak Fal lagi hamil.
Barangkali Mas Ganendra tau obat yang boleh diminum sama Mbak Fal, nanti saya beliin ke apotik MasGanendra seketika disergap perasaan panik. Cepat ia mengetikkan jawaban.
[Ganendra]
Faleesha nya sekarang dimana ya, Mbak?[+6281235472636]
Mbak Fal istirahat di ruangannya, Mas[Ganendra]
Biarin dia disitu, Mbak. Saya kesana sekarang.[+6281235472636]
Baik Mas[Ganendra]
Minta tolong kalau demamnya terlalu tinggi dikompres dulu aja, Mbak. Tolong ya🙏🏻[+6281235472636]
Oh iya, Mas. Nanti saya cek berkala[Ganendra]
Oke Mbak makasih banyak yaa🙏🏻***
KAMU SEDANG MEMBACA
Teman Tapi Akad
FanfictionDulu waktu jamannya kuliah, Faleesha paling ogah berurusan sama Ganendra. Karena selain cowok itu omongannya sepedes cabe Carolina Reaper, gengsinya gede pula. Tapi hidup emang suka bercanda, mati-matian ngehindarin, eh.. ujungnya akad juga. -•-•-•...