Pagi-pagi sekali, Faleesha sudah duduk di ruang televisi. Di atas meja, secangkir teh yang asapnya masih mengepul tersaji tepat di samping biskuit rasa kelapa kesukaannya. Sejak terbangun pukul tiga tadi, ia tak dapat kembali terjun ke alam mimpi.
Perasaannya gelisah.
Bola matanya berulang kali melirik Ganendra, berharap lelaki itu kan memaklumi kesalahannya.
Namun hingga tiga puluh menit berlalu, Ganendra tak kunjung berbalik. Dengkuran halus dan nafas yang teratur menandakan lelaki itu telah kembali terlelap.
Hati-hati, Faleesha lantas bangkit, hendak membunuh waktu juga rasa bosannya sambil menonton acara di channel lokal.
Sudah begitu, ternyata ia masih juga disergap bosan.
Jadilah tadi perempuan itu bergerak, membuat teh manis hangat tuk memulai harinya yang sepertinya kan berjalan lambat.
"Loh? Pantes dicariin nggak ada, disini ternyata." Saat Faleesha tengah melamun, suara bariton dari arah belakang mengejutkannya.
Kepalanya tertoleh, hadir disana Ganendra dengan kaus putih juga celana training hitamnya berdiri di undakan tangga terakhir. Rambutnya masih acak-acakan, sesekali menguap.
Faleesha tersenyum kaku.
Asli, kenapa deh gue jadi grogi begini?! Batinnya tak mengerti.
"Fal?" panggil Ganendra lagi, mendekat.
Faleesha tersentak, "Iya." Sahutnya pelan.
Ganendra geleng-geleng kepala, "Nggakpapa. Makan yang banyak." Pesannya yang langsung berlalu menuju kamar mandi, bersiap memulai hari.
**
"Lo pernah berantem nggak sih sama laki lo karena masalah sepele?" Faleesha menjatuhkan tubuhnya tepat di atas ranjang, bertanya pada seseorang di seberang sana perihal kecanggungan suasana rumah selepas insiden malam lalu.
Seseorang disana meledakkan tawanya, "HAHAHAH, LO LAGI RIBUT YA?!"
Itu Aqila, adiknya.
Faleesha menjauhkan teleponnya dari telinga. Sialan.
"Kepo aja lo. Buruan, pernah nggak? Gimana cara ngatasinnya?" desaknya tak sabar.
"Pernah. Kok lo jadi nanya gue sih cara ngatasinnya? Kan laki juga laki lo," jawab Aqila mengendikkan bahunya.
Faleesha menatap langit-langit kamarnya.
Nafas panjang dihela, "Ya gue nggak tau cara bujuknya gimana. Lagi heran, cuma sepele gitu aja kok sampe ngambek?" mengingat wajah Ganendra spontan membuatnya sebal sendiri.
Ya memang Ganendra bersikap seperti biasa. Tapi hal yang menggganggunya adalah fakta bahwa hampir seharian ini Ganendra berusaha menghindari segala topik pembicaraan yang mengarah ke kejadian semalam.
Jadi ia anggap Ganendra memang tengah merajuk, yang dibungkus rapi dengan perhatiannya.
"Emang sepele gimana?"
"ISH GAK USAH NANYA-NANYA BISA NGGAK SIH?!" decak Faleesha, kesal.
Aqila menggeram, "HISH! YA KALAU MAU DIBANTUIN GUE MESTI TAU MASALAHNYA."
Iya ya, bener juga....
"Ya gitu. Dia semalem ngambek gara-gara gue pergi nggak izin, terus lupa waktu pulang sampe dia jemput jam sepuluhan deh kayaknya."
"YEEE, KALAU NGGAK LAGI HAMIL UDAH GUE CUBIT LO. Wajar aja dia ngambek, pulang-pulang lo nggak di rumah, ngabarin juga nggak, apalagi lo lagi hamil, pasti khawatirnya ada banget lah."
Faleesha terdiam mendengarkan.
"Emang lo tuh nggak ilang-ilang ya sifat susah ngabarinnya. Dari kecil, remaja, gadis, sampe sekarang lanjut usia, kenapa sih susah banget ngirim seenggak-enggaknya text gitu?! Orang tuh jadi nggak khawatir kalau gitu."
Kenapa jadi gue yang kena omel?!
"Aduh, udah deh lo, gue niatnya nyari inspirasi cara minta maaf jadi kena semprot. Gak penting. Bye!"
Faleesha secara sepihak memutus sambungan telepon.
Ia memijit pelipisnya, pening dihantam masalah yang sebetulnya tak begitu harus dipermasalahkan, menurutnya.
**
"Ganendra."
Kepala Ganendra yang sebelumnya tengah terpaku pada buku dalam genggamannya itu kontan terangkat, menatap Faleesha dengan alis yang bertautan, "Ya?" sahutnya bersiap mendengarkan kalimat apapun yang keluar setelahnya.
"Kamu marah sama aku?"
Laki-laki yang biasanya mudah dibaca itu kini seakan kian pandai mengelola emosi.
Faleesha tak dapat mendeteksi perasaan apapun dari wajahnya yang masih sama datarnya sejak pulang ke rumah satu jam yang lalu.
Ganendra menggeleng, "Nggak. Kenapa marah?" ia malah balik melempar pertanyaan.
Faleesha mengangkat bahunya, "Nggak tau. Kan kamu yang marah, kok jadi nanya aku?"
"Nggak marah." Sahutnya singkat, memilih kembali fokus dengan buku setebal tiga sentimeter itu ketimbang beradu pandang dengan Faleesha.
Faleesha mengusap wajahnya gusar.
Lebar-lebar ia melangkah menyambahi tempat Ganendra berdiam diri.
Lelaki itu nampak terperanjat lantaran kehadiran istrinya yang tiba-tiba dengan mata yang menyala.
"Apa sih?! Kalau aku ada salah ya bilang aja, jangan sok bersikap baik tapi cuek-cuek begitu!"
Ganendra menutup bukunya, ikut bangkit.
"Aku? Sok baik?"
"Aku kan udah minta maaf semalem karena lupa ngabarin. Gitu aja dibikin panjang, sih?! Apa aku harus sekalian tunduk sujud biar kamu maafin?" emosinya meletup-letup.
Ganendra belum merespon.
"Aku tuh bosen! Kamu kayak ngurung aku, tau nggak?! Aku cuma pergi setelah sekian lama, ngecek kerjaan, nyapa karyawan-karyawan, tapi kamu ribet. Di awal juga kita sepakat buat nggak batasin perihal kerjaan kan? Sekarang kok aku ngerasa kayak dikekang?!"
Ganendra tersenyum pahit, "Aku cuma mau kamu hati-hati, nggak maksud buat ngurung kamu." Elaknya.
"Bilangnya gitu terus, tapi pas di kenyataan nggak boleh kesini, nggak boleh kesana, nanti aja, nanti nanti nantiii terus."
Ganendra memejamkan matanya sekejap, "Iya. Oke. Mulai besok kamu nggak perlu kabar-kabarin lagi kalau mau kemana-mana. Aku juga nggak akan nanya-nanya. Sesuka kamu aja. Sekarang aku capek, udah ya, cukup." Tutupnya yang langsung berlalu meninggalkan Faleesha sendirian di ruang media.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Teman Tapi Akad
FanfictionDulu waktu jamannya kuliah, Faleesha paling ogah berurusan sama Ganendra. Karena selain cowok itu omongannya sepedes cabe Carolina Reaper, gengsinya gede pula. Tapi hidup emang suka bercanda, mati-matian ngehindarin, eh.. ujungnya akad juga. -•-•-•...