Berjalan Lancar

24 2 0
                                    

"Why don't you confront if there's something wrong with her?"

"I can't."

"Why?"

"She lived with debilitating chronic pain in a system that is broken and took her own life to escape that pain."

Setelah menjawab pertanyaan dari dr.Dinda, Arjune kemudian menceritakan betapa pedih kisah hidup yang dialami istrinya. Tentang trauma dan hal-hal yang mungkin sepele, namun bisa meng-trigger istrinya pula. Membagikan kembali kisah yang sebelumnya pernah Luna bagi kepadanya. Tentang bagaimana ayahnya yang begitu jahat melepas tanggung jawab sebagai kepala keluarga, begitu tega menyakiti ibu dan anak-anak demi wanita lain yang lebih muda. Tentang kakak perempuannya yang diceraikan suaminya dengan beberapa alasan tidak masuk akal, juga tentang kakak lelaki yang berulang kali masuk bui karena melakukan tindak asusila pada perempuan-perempuan yang mabuk akan bujuk rayunya.

Semua lelaki sama. Berhati dingin, jahat, tidak berhak mendapat kebaikan. Setidaknya, itulah yang seringkali sang istri sampaikan padanya.
Karena itulah, dulu sulit baginya mendapatkan hati Luna. Butuh perjuangan panjang untuk mampu membawa Luna berdiri berhadapan didepan altar, mengucap janji setia disaksikan seluruh keluarga besar.

Ia fikir, kisahnya akan berakhir seperti pangeran yang menemukan cinderella. Trauma Luna berhenti disana dan mereka hidup bahagia selamanya. Namun ternyata salah, awal pernikahannya dibumbui dengan pertengkaran karena ketidak cocokan satu sama lain. Masa-masa beradaptasi. Terkejut nyaris tidak percaya ketika menyadari bagaimana Luna tidak mampu mengelola emosinya. Terkadang meledak-ledak, tetapi tak jarang juga menghadiahinya silent treatment yang benar-benar membuatnya nyaris gila memikirkan dimana letak kesalahannya.

Arjune juga menceritakan bagaimana istrinya kerap kali merendahkannya didepan teman-temannya ketika mereka berkumpul bersama. Mengatakan dirinya memang selalu segar dan bersih, jauh sejak masih muda, ketika salah seorang teman memuji bahwa kecantikannya sekarang sudah pasti berkat suami yang bertanggung jawab. Istrinya seolah tidak terima melihat suami disangkut pautkan dengan apapun yang terjadi pada dirinya. Selalu mengatakan bahwa pencapaiannya adalah buah dari kerja kerasnya sendiri, tidak ada kontribusi dari siapapun termasuk suaminya.

Istilah mudahnya, ada ataupun tidaknya Arjune, tidak ada pengaruh apapun bagi hidup Luna. Yang tentu saja membuat Arjune kian hari merasa kian tak berguna. Sebab, yang diucapkan Luna benar adanya. Istrinya adalah perempuan mandiri yang bisa berdiri sendiri. Bahkan bertahun-tahun menjadi leader dari kelompok feminisme yang cukup terkenal dibeberapa kalangan.


"Rasanya, saya gak punya velue sebagai laki-laki."       Lanjutnya kemudian.

Psikiaternya terlihat mengangguk pelan menanggapi curahan hatinya. Terlihat menulis sesuatu dibuku kecil yang berada dihadapannya, yang Arjune yakini adalah buku catatan untuk setiap keluhan pasiennya.
"Oke, saya paham. Jadi kakak seperti mendapat tekanan dari berbagai pihak gitu ya. Istri kakak yang tidak menghargai kakak sebagai suami, selalu curiga dan menuduh kakak selingkuh."        Arjune turut mengangguk menyetujui pertanyaan dr.Dinda yang terlihat sedang mengulitinya.          "Dan juga dari pihak kedua keluarga yang sama-sama ikut memojokkan kakak, i feel sorry for you. Tapi Apakah sudah pernah dibicarakan berdua dengan istri kakak, tentang ketersinggungan kakak dengan beberapa sikapnya?"

"Ya, beberapa kali, tetapi selalu gagal karena dia tidak pernah menerima opini saya. Dia selalu berfikir, dirinya yang paling benar, pemikirannya, perasaannya, dia hanya mengandalkan itu, tanpa mau menerima masukan ataupun protes dari saya."


"I know, dari cerita kakak, sepertinya istri kakak memang memiliki trauma yang cukup dalam, sehingga dia membuat benteng yang cukup kokoh dan tinggi untuk melindungi dirinya sendiri. She probably doesn't trust anyone, am i right?"         Ada jeda sesaat, dr.Dinda terlihat melipat kedua tangan diatas meja dan menatapnya lekat-lekat.            "But, its okay to feel sad, your feeling is valid tho."         Jeda lagi,      "Saya tahu kakak gak mau nambahin beban buat istri kakak apabila mengutarakan ketidaknyamanan kakak, oleh karena itu, kakak memilih untuk menelan semua kekecewaan kakak sendiri, tapi perlu kakak ketahui, sesuatu yang terus menerus dipendam lama kelamaan akan menjadi bom waktu yang sewaktu-waktu bisa meledak. Dan saat itu terjadi, yang terkena dampak bukan hanya kakak sendiri, bisa istri kakak, orang tua, adik, bahkan semua orang-orang disekitar kakak. Bersabar gak ada salahnya, tapi terlalu menyepelekan juga gak bagus. Terbanyak hal yang di 'yaudahin', dampaknya sangat buruk dikemudian waktu."


Rasanya seperti tertohok, Arjune hanya meremas jari jemari untuk mengusir anxiety yang mulai mengerubunginya.        "But, what should i do then?"

"Bicarakan, bagaimanapun nanti, yang terpenting kakak bicarakan dengan istri kakak, berdua, ya."


Kalimat terakhir psikiaternya terus berputar dikepala dari sepanjang perjalanan hingga dirinya membuka pintu rumah. Arjune yang biasa hanya mengiyakan apapun yang dilakukan sang istri, mendadak merasa takut membayangkan apa yang akan terjadi jika dirinya benar-benar menyuarakan ketidaknyamanan. Bayangan tentang istrinya yang murka, menatapnya dengan sorot mata tajam penuh benci, lalu mendiamkannya, menganggap dirinya tidak sedang berada satu atap dengannya.


Sekali lagi ia berpikir, haruskah melakukannya saat ini juga?















TBC

Istri KeduaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang