"Gak usah aneh-aneh, June." Jawab ibunya tepat setelah ia mengutarakan niatnya. Raut wajahnya terlihat panik. Perpaduan antara ingin marah dan juga menahan tangis kecewa. Mungkin ibunya memang kecewa padanya. Pada keputusannya. "Luna kurang apa, mama tanya? Kamu gak mikirin keluarga Luna? Mamanya sayang banget sama kamu, kok tega kamu malah sakitin anaknya kaya gitu?""Arjune udah gak bisa sama Luna, ma."
"Gak bisa karena udah ketemu perempuan baru. Iya?!"
Disaksikan oleh adik serta kedua orangtuanya, Arjune memberanikan diri meminta restu untuk melangsungkan pernikahannya yang kedua. Namun seperti yang sebelumnya ia duga, rencananya tentu tak akan berjalan mulus begitu saja. Orang tua, terutama ibunya menentang dengan keras keinginannya menikahi Sarah. Menjadikan obrolan semakin melebar karena ia harus menceritakan perihal keretakan rumah tangganya sebagai upaya pembelaan diri.
Maka, dengan diliputi rasa bersalah luar biasa, ia terpaksa mengumbar keburukan sang istri didepan orang tuanya sendiri. Mengatakan sejujur-jujurnya tentang ketidak harmonisan yang selama ini susah payah ia tutup serapat mungkin agar tak ada pihak luar yang datang mengadu domba. Tentang sikap buruk Luna padanya, juga tentang prinsip child free yang dipegang Luna selama ini. Ibunya menangis.
Meski dirinyapun tak mengerti apa yang ditangisi."Apa gak bisa dibicarain baik-baik lagi?" Kali ini, ayahnya membuka suara. Menatapnya dalam, menjadikannya merasa kecil, terpojokkan, dan terasa seperti dihakimi. "Pernikahan bukan mainan, menikahi seseorang, artinya kamu bertanggung atas segala kelebihan dan kekurangan pasangan kamu."
"Gak bisa, pa." Jawabnya tenang, namun tegas. Berupaya untuk tidak terpengaruh segala bujuk rayu dan nasehat orang tuanya yang ia tahu tidak akan menyelesaikan permasalahan. "Aku selama ini diem, ngikutin semua mau dia, biar apa? Ya biar pernikahan kita jalan. Tapi gak bisa. Luna gak bisa diajak jalan bersisihan sama June, dia cuma mau jalan sendirian, gak terima kritik ataupun masukan. Yang selama ini kalian lihat baik-baik aja cuma topeng. Capek pa, harus pura-pura bahagia terus padahal aslinya June tersiksa."
"Ya tapi gak nikah lagi juga, June."
Ibunya masih kekeh menentang."Terus apa? Menurut mama yang terbaik buat June apa?"
Ibunya terdiam mendengar sahutannya. Terkejut atas perlawanan yang ia lakukan. Sebab, dikebanyakan hari, ia hanya mengiyakan apapun yang ibunya ucapkan. Sementara ayahnya menghela napas panjang seraya mengusap keningnya gusar. Tampak sama bingung dengan dirinya. "Sarah sama keluarganya gak banyak permintaan, mereka semua terima Arjune baik. June juga pengen bahagia, ma." Lanjutnya."Kamu kenal sama Sarah berapa lama? Jangan cuma karena merasa cocok diawal, membuat kamu yakin dia yang paling pas buat kamu, trus menyesal diakhir." Ayahnya berujar kalem. "Kamu dulu pindah kepercayaan buat nikahin Luna, sekarang balik lagi ke kepercayaan lama karena mau nikahin Sarah. Terus kalau ternyata nanti Sarah gak sesuai ekspektasi kamu, mau pindah kemana lagi? Jangan kaya gitu, kamu gak cuma mainin pernikahan, tapi juga Tuhan, June."
"Gak akan, pa. Kita kenal udah lama, dan Arjune tau Sarah gak kaya gitu."
Arjune lantas kembali menceritakan awal pertemuannya dengan Sarah, hingga kedekatannya; kecuali masa lalu Sarah yang kelam. Cukup memakan waktu, sebab ayahnyapun menanyakan banyak hal termasuk background keluarga Sarah.
Ada tarikan napas yang begitu dalam dari sang ayah yang membuatnya sedikit gelisah. Namun begitu ayahnya membuka mata dan menatapnya, ia sedikit terkejut melihat senyum yang terulas dikedua sudut bibir sang ayah.
"Ya sudah kalau itu mau kamu, cari waktu, bawa Sarah datang kesini, kenalin sama mama papa.""Pa?!" Ibunya menyela disertai sedikit bentakan. Terlihat tidak terima dengan keputusan ayahnya yang justru dengan begitu mudah memberikan persetujuan padanya.
"Udah ma, biarin aja, anak kita sudah dewasa, udah bisa ambil keputusan sendiri, dia tahu mana baik mana yang enggak. Kita sebagai orang tua cukup ngasih dukungan aja."
"Gak bisa gitu lah! Emang papa terima kalau Andin digituin juga sama suaminya nanti?"
"Kalau Andinnya mau, ya ga apa."
"Gak, pokoknya mama gak setuju! Gak ada ya nikah-nikah!"
Begitulah akhir dari percakapan mereka. Ibunya bangkit dan melangkah menjauh dengan amarah meluap-luap. Memasuki kamar dengan membanting pintu yang mrnciptakan suara gebrakan berisik, tak lagi mengindahkan panggilan darinya ataupun ayahnya. Namun, setidaknya ia merasa lega sebab ayahnya sudah memberikan lampu hijau pada awal perjalanannya.
Laki-laki tetaplah laki-laki, ayahnya memang tidak pernah mengkhianati ibunya, namun seorang ayah akan memberi dukungan terbaik demi kebahagiaan anaknya.
•
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
Istri Kedua
Ficção GeralBerapa banyak orang yang menganggap pernikahan itu sakral? Sepertinya hampir semua orang memiliki pandangan yang sama mengenai pernikahan. Sakral, bukan permainan. Namun, bagaimana jika ada dua orang yang memiliki persepsi lain tentang pernikahan? ...