Begitu menginjakkan kaki ke dalam rumahnya, yang ia tuju pertama kali adalah Luna. Menjatuhkan tas jinjing beserta jas yang semula tersampir dilengan kirinya. Dengan air mata berlinangan, Arjune berlutut dibawah kaki Luna yang menatapnya penuh tanya. Merasa janggal dengan untaian kata maaf yang bahkan Luna sendiri tidak tahu penyebabnya."Hei, kenapa?" Luna berusaha menenangkan suaminya. Meraih kedua lengan Arjune sembari mengusap pelan menenangkan. Suaminya memanglah pribadi yang lembut, tak pernah sungkan meminta maaf, bahkan untuk kesalahan yang tak pernah diperbuat. Namun, melihatnya meracau disertai isak tangis bukanlah menjadi hal biasa yang harus ia abaikan. "June? Ada apa?"
"Maaf, Luna, maaf."
Arjune tak mampu berucap selain kata maaf. Serbuan rasa bersalah seolah menekan sistem sarafnya, menggerogoti urat nadinya, menyiksanya. Tak berdaya diserang rasa sakit yang seolah ingin mematikannya perlahan-lahan."It's okay, nangis aja kalau kamu emang pengen nangis. Gak apa."
Luna hanya berusaha mengerti. Memberi waktu suaminya mengeluarkan emosi melalui tangisan, mengusap halus punggung yang bergetar tanpa memaksa berbicara. Membiarkan suaminya menangis dibawah kakinya nyaris hingga setengah jam lamanya.Satu gelas air minum dari Luna ditenggak tanpa jeda. Arjune merasa sedikit lebih lega setelah menyelesaikan tangisannya. Jari jemarinya terus menerus bergerak, membuka dan menutup tanpa jeda. Panik, gelisah, ingin mulai berbicara tetapi tidak tahu bagaimana dan darimana harus memulainya.
"Jadi?" Luna membuka suara. Tidak cukup sabar untuk menunggu lebih lama. Ia menatap mata suaminya yang terlihat redup, tak seterang biasanya.
Arjune membalas tatapan Luna, meski tak sepercaya diri biasanya. Belah bibirnya terbuka nyaris bersuara, namun kembali tertutup karena dikalahkan oleh nyalinya. Lalu, satu hembusan napas panjang ia keluarkan. Kepalanya menunduk dalam serta memejamkan mata erat-erat berupaya mengembalikan kekuatan. Begitu membuka mata, yang pertama kali ia lihat adalah tatapan mata Luna yang jernih dan menenangkan. You can do this, Arjune. Begitulah kata hatinya memberi semangat. "Maaf."
Akan tetapi, lagi-lagi hanya itu yang mampu ia ucap. "Maafin aku, Lun. Janji kamu mau maafin aku?""Ya maaf buat apa dulu?"
"Aku," Arjune frustasi dengan dirinya sendiri. Merasa kecil dihadapan Luna yang setenang dermaga. Menurutnya, akan lebih mudah berbicara apabila Luna bersikap kasar seperti biasanya. "Kamu," Ia tergagap, menjeda ucapannya. "Kamu kemarin bilang udah gak ada rasa ke aku lagi kan? Jadi maksudku, menurut kamu, gimana kalau kita cerai?"
"Hah?"
Menatap raut terkejut Luna, seketika panik melandanya. Takut-takut ia salah bicara. "No, i mean, gak, bukan aku gak sayang lagi sama kamu, maksudku, aku pengen, kamu一"
"Kenapa tiba-tiba?" Luna menyahut, memotong perkataannya.
"Aku masih sayang sama kamu, Lun, perasaanku gak berubah sama sekali. Tapi, pernikahan kita yang kaya gini,"
Berhenti, Arjune tidak sanggup melanjutkan ucapannya. Hanya sanggup menatap Luna yang juga tengah menatapnya.Luna menggelengkan kepala setelahnya.
"Kamu jelasin dulu. Kenapa tiba-tiba ngajak cerai, perasaan, selama ini rumah tangga kita oke-oke aja. Kamu sendiri kan yang kamarin bilang mau terima aku apa adanya, kamu sendiri yang bilang gak masalah aku gak cinta lagi, asal aku masih didekatmu, masih bisa tidur seranjang sama kamu. Trus, sekarang tiba-tiba kamu gini, aneh aja gak sih?" Ada jeda sejenak sebelum Luna kembali melanjutkan ucapannya. "Apa sih? Ada yang mempengaruhi kamu? Atau, ada perempuan lain, selain aku? Ada? Jujur aja." Suara Luna tegas, setegas tatapan matanya.Arjune kembali menarik napas. Panjang dan menghembuskannya dengan kasar. Ketika kembali bersuara, Arjune menceritakan beban mentalnya. Rasa kesepian serta ketersinggungan yang sekian lama dipendam seorang diri, juga tentang sakit hatinya yang selama ini tidak pernah dihargai sebagai seorang lelaki maupun suami. Dengan kilatan emosi yang nyata, ia mencurahkan perasaannya. Sepintas rasa bersalah menyergap hatinya, namun berusaha ia tepis demi menyelesaikan semuanya. Lebih baik akhiri, jika yang sudah rusak memang tidak bisa diperbaiki. "Yang kedua."
Kemudian, hening menyelimuti. Sejenak keduanya saling diam, tak ada yang bersuara. Kedua mata indah membulat lebar tidak percaya.
"Siapa?" Tanya Luna pada akhirnya. "Kalian kenal berapa lama?""Sarah, temen SMP ku dulu." Arjune menjawab. Tanpa membiarkan Luna bertanya lebih banyak, ia menjelaskan semuanya. Dari awal mula keduanya adalah kawan satu kelas yang tidak begitu akrab semasa duduk dibangku sekolah menengah pertama. Bagaimana keduanya sempat hilang kontak dan dipertemukan kembali ketika sama-sama menjalani sesi konseling diklinik kesehatan mental yang sama. Berlanjut menuju awal keduanya berbincang hingga menjadi semakin dekat, tentang rasa nyaman yang tak pernah Arjune dapat dari orang lain, bahkan kejadian hari ini, yangmana menjadi pertemuan terakhir setelah Sarah mengungkapkan perasaan padanya.
"Sarah bilang kalian pernah ketemu."Mendengar ciri-ciri perempuan yang disebut suaminya, Luna lantas bertanya dengan segenap keyakinan yang dimilikinya.
"Kayanya aku kenal dia. Sarah Maulinda, yang diteror mantan pacarnya pakai video seks lama mereka bukan?"Arjune membenarkan. Mengingat Sarah pernah bercerita bahwa dirinya dan Luna memang saling kenal dan beberapa kali pernah berbincang. Ia kembali diam. Merasa semakin buruk karena melibatkan Sarah dalam urusan rumah tangganya. Sedikit banyak khawatir, apabila Luna akan melakukan hal buruk pada Sarah yang akan semakin memperburuk kondisi mentalnya. "Jangan salahin dia. Kalau mau marah, mau kesel, ke aku aja ya, Lun." Pintanya. Ia kemudian menjelaskan alasan mengapa sebegitu ingin menikahi Sarah. Ingin melindunginya, menjaganya dan menebus kesalahannya. Selama kedekatan mereka, Sarah selalu memperlakukannya dengan istimewa, dan tanpa sadar iapun bahagia menerimanya.
Dan itu juga alasan mengapa dirinya memberanikan diri berbicara mengenai perceraian pada Luna. Ia pikir, dengan Luna tidak mencintainya, maka perceraian tidak akan menjadi hal yang menyakitkan bagi istrinya.
"Tunggu, Arjune, tunggu. Kasih waktu buat aku cerna semuanya." Luna berbicara sembari memegang kepala. "Ngobrolnya sampai sini dulu aja. Aku masih gak bisa ngasih keputusan sekarang. Udah, kamu bersihin diri atau ngapain dulu, jangan disini. Ntar aja, kalau aku udah siap ngobrol lagi, aku bakalan kasih tau."
"Kamu gak marah?" Arjune bertanya keheranan dan Luna menggeleng sebagai balasan. Berkata bahwa dirinya masih belum bisa mencerna semua perkataannya.
"Gak tau. Masih belum bisa mikir. Jangan ngajak ngobrol aku dulu."
Luna hanya meminta jarak padanya, untuk tidak mengajaknya bicara. Ia dilarang untuk membuka percakapan, bahkan sekadar memberi sapaan. Hanya diam. Tak saling menganggap.
Dan Arjune hanya mampu berdo'a supaya Luna tidak mempersulit permintaannya. Meskipun terkesan jahat, namun tak apa. Arjune hanya ingin egois pada perasaannya, setidaknya sekali ini saja.
•
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
Istri Kedua
Ficción GeneralBerapa banyak orang yang menganggap pernikahan itu sakral? Sepertinya hampir semua orang memiliki pandangan yang sama mengenai pernikahan. Sakral, bukan permainan. Namun, bagaimana jika ada dua orang yang memiliki persepsi lain tentang pernikahan? ...