Sudah beberapa hari terlewat sejak Sarah menjejalinya dengan penjelasan mengenai buruknya feminazi, terlebih ketika ia menyadari bahwa Luna termasuk didalamnya, selama beberapa hari itu pula Arjune dilanda bimbang luar biasa. Tidurnya tidak pernah nyenyak sebab berbagai pertanyaan berbalu lalang mengganggu pikirannya.Mungkin ucapan Sarah memang benar. Apa yang ia harapkan dari pernikahan kosongnya? Selama ini ia hanya jatuh cinta sendirian. Seorang diri mempertahankan rumah tangga yang sebenarnya tidak pantas disebut sebagai rumah tangga. Tidak ada kehangatan didalamnya, tidak ada kasih sayang yang ia rasakan.
Apakah menyerah akan menjadi keputusan yang benar?
Jikapun memang benar, lalu bagaimana dengan keluarganya? Keluarga Luna, dan dirinya sendiri? Apa yang harus ia lakukan setelah berpisah dengan Luna? Bisakah ia menapakkan kakinya tanpa Luna?Minggu pagi, masih dengan ketidaknyamanan luar biasa, ia bangkit dari ranjang berniat mencari udara segar setelah selesai berkutat membersihkan dirinya. Dari pintu kamarnya, Arjune melihat Luna duduk bersantai didepan televisi ditemani secangkir teh hijau favoritnya. Menimang-nimang, antara tetap diam, menerima segala permasalahan dan menganggap semua adalah takdir yang ditentukan oleh Tuhan, atau harus menghampiri Luna dan mengajaknya bermusyawarah membicarakan ketidaknormalan rumah tangga mereka. Hatinya memilih untuk diam, akan tetapi otaknya tidak berhenti berteriak untuk mengungkapkan segalanya.
Maka, dengan tanpa persiapan apapun, Arjune memberanikan diri untuk menghampiri Luna. Duduk disisi istrinya dan menyapa, yang mana hanya dibalas dengan seulas senyuman oleh Luna. Ada basa basi ringan untuk memulai obrolan, Arjune berdehem pelan sebelum kemudian membawa obrolan mereka menjadi lebih serius.
"Do you love me?"
Adalah kalimat pertama yang diucapkan Arjune pada sang istri setelah ia selesai dengan basa basinya. "Please, jawab. Aku pengen tau, apa artinya aku buat kamu, Lun."
Tatapan mata Arjune begitu dalam, bukan menyalang, melainkan sebuah tatapan yang menyiratkan rasa sayang teramat dalam. Cintanya untuk Luna nyata, rasa sayangnya bukan pura-pura. Bahkan jika harus menukar nyawanya untuk kehidupan Luna, Arjune akan dengan senang hati memberikannya.Luna mengerutkan keningnya penuh tanya. Mengalihkan atensi dari layar televisi dan balas menatap suaminya. "Apa sih? Gak usah aneh-aneh, aku lagi gak pengen berantem."
"Aku gak ngajak berantem."
"Kalau gitu diem. Gak usah mancing-mancing."
Seketika Arjune terdiam. Hal yang biasa ia lakukan ketika istrinya mulai mengeluarkan nada ketus setiap membalas perkataannya. Namun, tidak jalan untuk berbalik arah sekarang, ia sudah bertekad untuk membahasnya. Apapun hasilnya, apapun resikonya biarlah menjadi urusannya. Menarik napasnya panjang, ia melanjutkan ucapan. "No. Kita harus obrolin ini."
"Gak ada yang harus diobrolin, June."
Bahkan tidak ada lagi panggilan sayang untuk satu sama lain. Hanya nama. Arjune kian terluka memikirkannya.
"Ada. Makanya pertanyaanku dijawab. Kamu sayang gak sih sama aku? Kasih tau biar aku ngerti, Lun. Biar aku gak ngira-ngira sendiri.""Ya apa yang mau dijawab? Toh, sayang atau enggaknya aku sama kamu, gak akan ngerubah fakta kalau aku istri kamu kan?" Nada suara Luna terdengar begitu dingin, tidak lagi bersahabat seperti sebelumnya.
"Jawab aja, Lun. Sayang atau enggak. Aku cuma mau denger itu aja, gak usah kemana-mana, bisa?" Ia masih sabar, seperti biasanya. Arjune Dewangga, seorang pria dengan pengelolaan emosi yang sangat baik.
Ada lirikan mata sinis Luna yang membuatnya terluka, namun ia menahannya."Tanpa aku ngomong juga harusnya udah keliatan kan." Luna mengeluarkan tawa sinis dipenghujung kalimatnya. "Bukannya dari awal pacaran aku udah ngasih warning buat kamu ya, jangan berekspektasi tinggi sama aku. Aku gak bakalan bisa ngasih kamu kehidupan yang indah kaya pangeran negeri dongeng. Aku bukan tipe orang kaya gitu."
"Kamu bisa." Arjune menyahut cepat. "Kamu bisa, Lun, asal mau nyoba. Kamu bukan gak bisa, tapi gak mau nyoba. Iya kan?"
"Excatly."
Diam. Arjune terdiam. Jawaban singkat Luna membungkamnya hingga kehilangan kosa kata. Merasa bodoh karena selalu menghempas pemikiran-pemikiran tentang pudarnya rasa cinta Luna terhadapnya. Kenyataannya selama ini ia memang denial terhadap pemikirannya sendiri.
"Aku pernah cinta sama kamu, June, tapi dulu." Luna menatap matanya, meyakinkannya bahwa ucapannya bukanlah bualan semata.
"Tapi cinta gak bikin aku bahagia. Capek, yang ada dipikiranku cuma ketakutan, takut kamu ninggalin aku, takut kamu bakal nyakitin aku kaya yang dilakuin papaku. Takut kalau aku akan bernasib sama kaya mama dan kakak perempuanku. Aku capek harus tenangin diri kalau kamu beda, oke, i know, kamu gak brengsek kaya mereka, tapi tetep aja, aku gak bisa."
Tatapan mata Luna tegas, tidak ada keraguan. Mengulurkan masing-masing tangannya untuk mengusap air mata yang mengalir dipipi suaminya, ia sedikit merasa iba.
"Cinta bikin aku sakit June. Bikin aku jadi jahat sama kamu, walaupun aku sebenernya gak mau. Aku jadi suka nuduh-nuduh kamu, maki-maki kamu. Itu semua diluar kendaliku. Walaupun aku tau kamu gak bakalan kaya gitu, tapi semua kalah sama prasangkaku.""Why, Luna, why?"
"I don't know." Air mata Luna turut terjatuh pada akhirnya. "Aku tau perlakuanku nyakitin kamu, tapi aku gak bisa berhenti curigain kamu. Ini bukan yang aku mau, tapi satu-satunya cara berhenti nyakitin kamu adalah berhenti cinta sama kamu. Disamping terapi, psikiaterku juga ngajarin buat terapin love myself first, cuma aku, aku dan aku." Jeda, Luna menghapus air matanya sendiri sembari mengulas senyum hangat. Senyuman yang sudah begitu lama tidak pernah lagi Arjune lihat. "Dan kamu tau yang kurasain setelah terapinya berhasil? Sejak saat itu aku sadar kalau cintaku ke kamu juga udah hilang. Yang ada dipikiranku cuma gimana caranya buat lebih bahagia, dan salah satu bahagiaku adalah saat prasangka buruk ke kamu udah gak ada."
Atas penuturan Luna, Arjune tidak sanggup memberi jawaban apapun. Otaknya macet. Bibirnya kelu. Tak satupun kata mampu ia keluarkan dari belah bibirnya.
Ternyata ia tak sekuat itu menerima fakta bahwa Luna memang tidak lagi mencintainya.
•
TBC

KAMU SEDANG MEMBACA
Istri Kedua
Ficción GeneralBerapa banyak orang yang menganggap pernikahan itu sakral? Sepertinya hampir semua orang memiliki pandangan yang sama mengenai pernikahan. Sakral, bukan permainan. Namun, bagaimana jika ada dua orang yang memiliki persepsi lain tentang pernikahan? ...