"Arjune, kayanya Luna itu feminazi deh."Pernyataan Sarah seketika membuat Arjune mengalihkan atensi dari es latte dingin yang tengah diaduknya menggunakan sedotan kertas ramah lingkungan. Seperti biasa, keduanya menikmati waktu istirahat dengan berbincang santai di cafe yang letaknya tidak begitu jauh dari kantor tempatnya bekerja. Perlu diketahui, Sarah sudah resign dari profesinya sebagai pramugari semenjak depresi menyerangnya. Sempat menyesali, namun ketika dunia mempertemukannya dengan Arjune, ia sadar bahwa kesehatan mentalnya lebih penting dibanding segalanya.
Lagipula, Arjune berkata; ia masih bisa kembali melanjutkan profesinya kapanpun ia mau. Maskapainya masih menerima kehadirannya dengan tangan terbuka.
Kembali pada suasana saat ini, Arjune menaruh atensi pada Sarah. Balik menatap perempuan yang juga tengah menatapnya, intens. "Ya emang iya kan."
"Gak, gak, maksudku bukan feminis, tapi feminazi."
Kerutan pada kening Arjune tampak kentara pertanda dirinya dilanda ketidak pahaman yang nyata. "Femi一 what?"
"Feminazi. Beda lho sama feminis."
Jeda, Sarah membuka Ipad-nya dan menunjukkan halaman yang berisi tulisan panjang, menyerahkan kehadapan Arjune untuk dibaca perlahan. "Yang kupelajari sih, feminis itu misinya perjuangin kesetaraan gender, perempuan sama laki-laki harus seimbang, harus diberi hak yang sama. Gak ada yang lebih diatas, gak ada juga yang dibawah. Intinya gitu lah. Nah kalau feminazi ini biasanya diisi sama para perempuan yang selalu merasa superior dibanding kaum laki-laki. Jadi, para perempuan ini pengen bikin posisi laki-laki berada dibawah mereka. Malah kadang para feminazi ini juga nyerang perempuan-perempuan lain yang beda pandangan sama mereka. Dulu sempet rame juga di sosial media, ada perempuan yang mutusin buat jadi ibu rumah tangga, mengabdi sama suami aja dihujat habis-habisan sama grup mereka. Dikatain ketinggalan zamanlah, bodohlah, katanya mau-maunya diperbudak lelaki. Gila banget sih.""Tapi Luna gak kaya gitu."
"I know. Dia ngehargai perempuan banget, sayang banget sama kaum perempuan, tapi point-nya bukan disitu."
Arjune mendengarkan namun tidak memberi jawaban. Pandangan matanya fokus pada layar iPad Sarah yang semula diberikan padanya. Membaca dengan seksama perihal-perihal tentang perbedaan feminis dengan feminazi yang selama ini tidak ia mengerti.
"Dari pertama denger kamu cerita soal istrimu aja aku udah mikir aneh, apalagi ngeliat sikapnya secara langsung waktu itu. Udah langsung yakin aja sih kalau dia bukan feminis. Jangan salah paham ya, aku juga pendukung gerakan feminis."Lalu, terlihat Arjune mendongakkan kepala seraya membuang napas kasar. Tampak frustasi dengan fakta yang menghajarnya. Ia bahkan tidak lagi memiliki kata-kata yang mungkin bisa dijadikan umpan balik untuk menjelaskan bahwa tuduhan Sarah mengenai Luna semuanya salah. Justru, semakin ia memikirkan, semakin pula ia tersadar jika semua itu adalah benar.
Luna selalu menyalahkannya, meski sesungguhnya kesalahan bukan disebabkan olehnya. Selalu bersikap seolah dirinya adalah pemegang kasta tertinggi dalam keluarga, sehingga Arjune hanya diharuskan menyetujui apapun yang keluar dari mulutnya. Ia bahkan tidak diberi kesempatan untuk menolak bahkan mengajukan ketidaksukaan.
Sekali waktu ia melakukannya, Luna justru mendiamkannya. Tidak sudi menatap matanya, bahkan enggan mengeluarkan suara untuk menjawab sapaannya.
"Stres banget, Sar. Gak tau lagi harus gimana." iPad dikembalikan pada pemiliknya, Arjune meraih gelas latte dan menghabiskannya dalam beberapa kali tenggak.
Semakin merasa buruk ketika dihadapannya, Sarah menatapnya iba. Hingga beberapa detik kemudian, matanya melirik kearah telapak tangannya yang digenggam dan diberi usapan halus. Membuat kepalanya berpikir lancang, kenapa harus Sarah, kenapa bukan Luna yang memperlakukannya sehangat ini.
Sekali lagi, ia menghela napas panjang. Membalik telapak tangannya untuk kemudian membalas genggaman tangan Sarah. Menjadikan tangan mereka saling mengenggam diatas meja."Sebenernya kamu sama Luna gimana sih, June? Perasaanmu ke dia? Kamu sayang?"
"Sayang lah, gila." Jawabnya cepat, "Aku sembilan tahun sama dia, Sar. Kadang emang capek, capek banget malah, tapi pas aku inget-inget lagi perjuanganku buat dapetin dia dulu, rasanya kaya, apa banget kalau aku nyerah gitu aja. Nungguin selama tujuh tahun buat ngeyakinin dia aja aku kuat, masa pas udah dapet malah kulepasin."
"Tapi kan gak semua hal harus dipertahankan. Kalau emang nyakitin, ya dilepas aja. Aku kenal Luna, June." Kedua mata Arjune melebar tak percaya. Memastikan bahwa ia tidak salah mendengar. "Gak deket, tapi beberapa kali ketemu diseminar, beberapa kali ngobrol juga. Kita sharing banyak hal, aku juga pernah cerita-cerita soal mantanku, dan dia banyak ngasih masukan. Dia cerita banyak, termasuk pandangan dia terhadap laki-laki. She hates men so much, especially her dad and her brother, including you tho."
Meski ada sedikit kebohongan mengenai ucapannya yang mengatakan bahwa dirinya dan Luna sudah saling mengenal dalam kurun waktu yang lama, namun fakta yang Sarah ceritakan mengenai percakapannya dengan Luna, semuanya real, tidak ada yang dilebihi ataupun dikurangi.
Sebab terlepas dari rasa sukanya pada Arjune, Sarah hanya ingin berniat baik, menyelamatkan lelaki itu dari jurang pernikahan yang menyakitkan.
"You deserve someone better, i know Luna orang baik, baik banget malah, tapi baiknya dia bukan buat kamu. Please, pikirin ya."
•
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
Istri Kedua
General FictionBerapa banyak orang yang menganggap pernikahan itu sakral? Sepertinya hampir semua orang memiliki pandangan yang sama mengenai pernikahan. Sakral, bukan permainan. Namun, bagaimana jika ada dua orang yang memiliki persepsi lain tentang pernikahan? ...