Memasuki hari kesepuluh, Arjune memberanikan untuk mendobrak dinding tinggi yang dibuat Luna untuk menjaga jarak dengannya. Tidak tahan lagi terus menerus berdiam diri ketika dirinya hanya digantung tanpa kepastian. Ia sudah membulatkan tekad untuk mengajak Luna bicara. Bahkan tidak akan segan untuk memaksa apabila Luna tetap membisukan mulutnya.Sudah menyiapkan diri dengan segala resiko yang akan ia terima nantinya.
Ketika pulang dari kantornya, Arjune menghampiri Luna yang terlihat duduk santai sembari menonton televisi yang menyiarkan berita entah apa. Perlu dijelaskan, Arjune sudah sempat membersihkan diri dan mengganti pakaian kerjanya dengan pakaian rumahan yang lebih santai. Mendudukkan diri disamping Luna, enggan peduli meski sempat mendapat lirikan mata sinis dari istrinya.
"Lun, ayo ngobrol." Ucapnya kemudian. Meski keheningan yang menjawab, sebab Luna tak juga menjawabnya. "Kita gak bisa terus-terusan saling diam. Ayo selesaiin semuanya. Kalau kamu emang udah gak mau sama aku, ayo urus perceraian."
Tanpa menatapnya, Luna mendengus dari posisinya. "Emang kamu gak capek kaya gini terus? Hidup bareng aku, ngeliat mukaku tiap hari, padahal kamu gak cinta sama aku?""Kalaupun capek, yang capek kan aku."
"Aku juga capek."
Karenanya, Luna menolehkankan kepala menatapnya. Pandangan matanya tajam menyorotkan ketersinggungan yang mendalam.
"Aku gak mau cerai."Bagai tersambar petir, Arjune melebarkan matanya tidak percaya. Tarikan napasnya dalam seolah detak jantungnya terasa berhenti untuk beberapa saat. "Maksud kamu apa?"
"Aku gak mau cerai. Final." Ucap Luna pada akhirnya. "Udah kan? Cuma itu kan yang mau kamu omongin? Mending kamu tidur aja, aku masih mau disini."
"Gak." Arjune menentangnya. Ia tidak bisa menuruti keputusan Luna begitu saja, sementara disisi lain, dirinya sudah menjanjikan pernikahan pada Sarah beserta orang tuanya. "Maksudnya kamu gak mau cerai itu kenapa? Apa yang kamu mau dari aku? Sumpah, aku gak ngerti isi pikiran kamu, Lun." Seperti kehilangan kesabaran, namun tetap menjaga ucapannya.
"Kamu mau cerai sama aku juga kenapa? Mau nikahin Sarah? Enak dikamu lah kalau gitu! Kamu gak mikirin aku? Gak mikirin keluargaku? Sinting!"
"Ya terus bedanya sama kamu apa? Kamu nahan aku dipernikahan kaya gini biar apa? Pernah gak kamu mikirin perasaanku sekali aja? Selama kita nikah, pernah gak kamu perlakuin aku selayaknya istri memperlakukan suami? Enggak kan? Maaf kalau kata-kataku nyakitin, tapi kamu harus tau kalau kamu egois. Fokusmu cuma sama keluargamu dan diri kamu sendiri. Aku yang capek gak pernah kamu pikirin." Arjune tidak meninggikan suara, namun setiap kata yang keluar dari bibirnya terasa menusuk siapapun yang mendengarnya. Termasuk Luna yang terkesiap ditempatnya.
Mengangguk pelan beberapa kali disertai seulas senyum pahit, Luna menatapnya tak percaya dirinya akan berucap sedemikian rupa.
"Intinya kamu mau bilang kalau aku dan keluargaku nambahin beban kamu, gitu kan?"Arjune memalingkan wajahnya tak percaya. Seolah tersadar bahwa setiap kata yang Luna ucapkan benar-benar tak masuk dalam akalnya.
"Kamu masih gak ngerti ternyata." Menjeda ucapannya, ia mengusap wajahnya kasar, frustasi. "Aku cuma pengen kita cerai, gak usah melebar kemana-mana. Bisa gak sih kita fokus ke topik aja?""Ya topiknya kan itu. Kamu mau kita cerai, udah cerai kamu bebas. Gak perlu nanggung biaya hidup keluargaku lagi! Terus, bisa nikah sama Sarah, keluarga Sarah orang terpandang gak sih? Iya, bener. Papanya Sarah punya kapal pesiar, woah, kurang kaya raya apa lagi coba? Nikahin anaknya juga gak perlu keluarin duit buat biaya. Siapa yang gak mau?" Nada suara Luna terdengar mengejek. Membuatnya benar-benar tersinggung, namun tetap harus mengendalikan diri agar terpancing emosi. "Beda banget sama keluargaku yang berantakan, miskin. Nikah sama aku aja udah beban, masih ketambahan lagi biayain keluargaku. Ya pantes sih bikin capek, aku juga sadar kok."
Maka Arjune bangkit dari posisinya. Sudah hilang minat untuk melanjutkan pembicaraan lebih banyak karena Luna mulai mengungkit kekurangannya sendiri. Playing victim. Tidak fokus pada permasalahan utama, justru berbicara panjang lebar seolah dirinya adalah manusia paling menderita.
"Whatever, tapi aku cuma mau bilang, aku manusia biasa. Punya kesabaran, tapi sabarku juga ada batasnya. So, if one day i'm gone, don't regret anything, don't say anything about us, about our memories. Just don't do anything. Cause when i was alone in my darkest hours, you were the one who hurt me."
Melangkah menjauh, membawa dirinya menghilang dibalik pintu kamar yang tertutup. Membiarkan Luna terdiam ditempatnya.
Arjune merasa sudah seharusnya ia menyelesaikan semuanya. Mengakhiri pernikahannya.•
TBC

KAMU SEDANG MEMBACA
Istri Kedua
General FictionBerapa banyak orang yang menganggap pernikahan itu sakral? Sepertinya hampir semua orang memiliki pandangan yang sama mengenai pernikahan. Sakral, bukan permainan. Namun, bagaimana jika ada dua orang yang memiliki persepsi lain tentang pernikahan? ...